Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan melakukan beberapa teknik pengumpulan data seperti, observasi, wawancara dan studi pustaka yang dijabarkan secara deskriptif.
Tahap pengumpulan data diawali dengan observasi, dengan mengunjungi Taman Wijaya Brata yang berlokasi di Umbulharjo dan Museum Dewantara Kirti Griya secara langsung. Tahap selanjutnya, studi pustaka berupa arsip buku dari perpustakaan di sebelah museum berjudul “Mengenal Taman Wijaya Brata Makam Pahlawan Pejuang Bangsa”. Buku ini digunakan untuk menggali informasi mengenai sejarah pembangunan makam Ki Hajar Dewantara. Sedangkan, pada tahap wawancara peneliti membuat pertanyaan dan menanyakannya kepada juru kunci makam, Bapak Sumanto. Tujuannya untuk mengetahui sejarah lengkap kijing makam Ki Hajar Dewantara, memahami lebih mengenai simbol yang terdapat di kijing makam, serta bertanya lebih dalam mengenai informasi yang sudah tertera pada buku.
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes. Menurut Roland Barthes, kajian semiotik dijabarkan sebagai denotasi, konotasi. Denotasi merupakan makna sesungguhnya yang dapat terlihat dengan panca indera. Konotasi merupakan makna yang terkait dengan konteks sosial dan budaya dalam sebuah tanda (Prasetya, 2019:14).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Makam Taman Wijaya Brata adalah makam untuk keluarga Tamansiswa yang berlokasi di Celeban, kelurahan Tahunan, Umbulharjo, Yogyakarta (Nayono, et al., 1996:13). Di tempat ini terdapat makam tokoh pendidikan Indonesia sebagai pendiri perguruan Tamansiswa, yaitu Ki Hajar Dewantara, serta para pendiri lainnya yang dikebumikan. Ide untuk mendirikan makam keluarga Tamansiswa pertama kali disampaikan oleh Ki Soedarminta, Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa, pada Kongres Tamansiswa tahun 1952.
Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1959, dalam usia sekitar 70 tahun. Pemakamannya dilaksanakan dengan upacara kenegaraan yang dipimpin oleh Kolonel Suharto (Wiryopranoto S., Herlina N., M. S, Marihandono D., Tangkilisan Y. B., 2017). Majelis Luhur membentuk Panitia Pembangunan Makam yang terdiri dari Ki Hertog, Ki Sindusisworo, Ki Suratman, dan Ki Suprapta, yang berfungsi sebagai pemikir dan pelaksana. Pembangunan makam dimulai pada tahun 1959 (tahap I) dengan rencana pembuatan candi dan nisan untuk Ki dan Nyi Hajar Dewantara, serta pembangunan pagar keliling dari tembok.
Proses pembangunan dan pembuatan batu nisan Ki dan Nyi Hajar Dewantara telah melibatkan banyak campur tangan dari berbagai kalangan masyarakat. Disini terjadi sebuah praktik adat gotong royong yang merupakan nilai dari sila estetika keempat, tata nilai dan tata kelola peradaban. Tim yang bertanggung jawab atas pembuatan batu nisan Ki dan Nyi Hajar Dewantara menggunakan batu dari bukit di desa Brejo, Godean. Batu ini berwarna hijau muda dan memiliki kepadatan yang baik untuk dipahat. Setelah hampir 1 tahun pengerjaan di kediaman Ki Sindusisworo, batu tersebut berhasil diubah menjadi nisan yang artistik oleh para seniman dan tukang kijing profesional. Batu dari Brejo, Godean Sleman merupakan jenis andesit, dengan karakteristik yang telah diuji di laboratorium Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Batuan andesit adalah nama salah satu jenis batuan beku luar (ekstrusif) yang tersusun atas butiran mineral yang halus (fine-grained). Selain teksturnya yang halus, ciri ciri batuan andesit yang lainnya adalah ringan dan berwarna abu-abu, putih, hingga agak gelap (Gheos, 2016). Pemilihan material dalam pembuatan batu nisan Ki dan Nyi Hajar Dewantara, memperhitungkan ketahanan di masa depan. Pemanfaatan bahan dari batu yang tidak mudah gempil membuat nisan tidak lekang dimakan zaman. Maka hal ini sesuai dengan sila estetika kedua, tentang masa depan dan kebaruan.
Pada 30 Januari 1962, bertepatan dengan 1000 hari wafat Ki Hajar Dewantara, diadakan upacara peletakan batu nisan di makamnya. Upacara tersebut dihadiri oleh anggota Majelis Luhur, warga Tamansiswa, serta keluarga besar Tamansiswa di Yogyakarta, termasuk Sri Paku Alam VIII dan pejabat pemerintah.
Makam Ki Hajar Dewantara memiliki bentuk segi delapan dengan ukuran 10 x 8 meter. Tinggi latar makam mencapai 0,80 meter, sementara nisan berdiri setinggi 1,30 meter, menjadikan keseluruhan tinggi makam 2,10 meter. Struktur ini dirancang untuk merepresentasikan penghormatan terhadap Ki Hajar Dewantara, sebagai tokoh pendidikan nasional. Di atas nisan, terdapat maejan atau kepala batu nisan yang menampilkan lambang Tamansiswa, yaitu Cakra Garuda di sebelah utara dan Cakra Kembang di sebelah selatan.
Analisis Semiotika Roland Barthes pada Kijing Ki Hajar Dewantara