Urbanisasi fenomena “mainstream” terjadi di suatu negara, khususnya negara-negara berkembang layaknya Indonesia. Urbanisasi terjadi karena faktor-faktor pendorong dan penarik yang menyebabkan masyarakat melakukan perpindahan , yang didominasi oleh masalah ekonomi. Dengan alasan meningkatkan perekonomian, masyarakat berpindah dari satu daerah ke daerah lain yang mampu menyediakan sumber-sumber perekonomian yang baik. Fenomenas ini terjadi pada masyarakat desa yang melakukan migrasi ke perkotaan, khususnya adalah kota-kota besar yang diharapkan menyediakan lapangan pekerjaan yang cepat dan beragam, dengan harapan penghasilan ekonomi yang lebih baik.
Data BPS (1995, 2005) menunjukkan bahwa proporsi penduduk perkotaan di Indonesia makin membesar, yakni 22,3% pada 1980 menjadi 30,9% pada 1990 dan melonjak tajam menjadi 43,1% pada 2005, bahkan kini sudah lebih dari 50%. Pertumbuhan kota-kota di Tanah Air ini juga terkait pertumbuhan ekonomi dunia. Menurut Cohen (2006), pada awal abad XX hanya ada 16 kota di dunia yang berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa, namun sekarang ada sekitar 400 kota.
Bahkan tahun 2017 diperkirakan, urban area akan lebih menonjol dibanding rural area. Diper-kirakan pertumbuhan penduduk pedesaan menurun dari 3,3 miliar jiwa (2003) menjadi 3,2 miliar jiwa (2030). Kalau tahun 1950-an ada sekitar 1,8 miliyar orang yang tinggal di pedesaan atau rural area, tahun 2000 jumlah itu akan menjadi 3,2 miliar jiwa. Pada sisi lain, dalam 30 tahun jumlah penduduk kota bertambah 2 miliar jiwa.
Dengan melonjaknya jumlah penduduk perkotaan tentunya mengalami banyak masalah yang akan menjadi bom waktu untuk pembangunan negeri ini, kepesatan pembangunan di negeri ini dengan kondisi urban bias berakibat kota-kota mengalami permasalahan lebih berat, yakni makin membesarnya jumlah penduduk di satu sisi, serta penyediaan lapangan kerja dan daya tampung kota makin terbatas yang berunjuk pemerintah kota kesulitan menyediakan sarana dan prasarana umum serta pelayanan sosial yang baik.
Selain dari masalah masalah bom waktu kependudukan masalah urbanisasi membuat pemerintah kota sulit memecahkan masalah kesehatan. Dari masalah itu akhirnya pemerintah sulit mengendalikan laju kependudukan yang akhirnya bermuara pada kesehatan.
Para kaum urban tidak semuanya mempunyai skill yang cukup untuk bersaing di kehidupan perkotaan, di pihak lain tidak mudah untuk mendapatkan perumahan legal diperkotaan dengan kondisi ekonomi yang minim, dengan segala keterbatasan ini mereka mendiami tempat atau tanah yang sudah selayaknya ilegal untuk dihuni seperti pinggiran sungai, kolong jembatan, pinggir kereta api. Perhatian utama penghuni permukiman ini adalah kerja keras mencari nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari untukbertahan hidup. Sehingga tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan dan kesehatan, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan.
Kondisi itu menyebabkan mereka mudah terserang penyakit menular. Perkampungan kumuh ini umumnya sangat minim sarana dan prasaran, seperti air minum, listrik, fasilitas pelayanan mandi, cuci, kakus (MCK), sistem pembuatan sampah, fasilitas kesehatan dan sebagainya.
Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2007), menunjukkan hanya 65,7% penduduk perkotaan memiliki WC dengan septic tank, dan hanya 42,7% yang menggunakan sumber air minum dari sumur/ledeng yang terlindung. Sulitnya mendapatkan pelayanan air bersih yang murah mendorong penduduk perkotaan yang bermukim di tepi sungai menggunakan sungai untuk mandi, cuci, kakus, dan tempat membuang sampah. Keadaan ini diperburuk oleh ulah industriwan yang membuang limbah di daerah aliran sungai (DAS).
Penelitian dari Adair (2005) menunjukkan tingkat kematian anak dari golongan miskin kota di wilayah pinggiran megaurban Jakarta lebih tinggi dibanding tingkat kematian anak di pedesaan. Yulinawati (2005) juga menemukan fakta bahwa Jakarta mengalami degradasi lingkungan luar biasa. Warga miskin kota justru mengeluarkan dana lebih besar untuk mendapatkan pelayanan air bersih.
Badan Kesehatan Dunia, WHO (2002) juga melaporkan lebih dari 3 miliar penduduk dunia kekurangan kalori, nutrient dan vitamin, serta menderita malnutrisi, dan sebagainya hingga rawan terkena penyakit (Cassils,2004). Di India, Chandrasekhar (2007) juga menyebutkan bahwa tingkat konsumsi dan distribusi rumah tangga miskin kota terhadap private goods dan public goods yang tinggal di daerah non-slum, ternyata tidak lebih baik jika dibanding mereka yang tinggal di kawasan kumuh dan liar. Hal itu mengingat derajat kesehatan mereka sangat rendah.
Apabila permasalahan urbanisasi ini tidak segera ditangani dengan regulasi yang konkrit maka masalah urbanisasi dan kesehatan akan terus menjadi tantangan bagi pemerintah kedepannya, apalagi masalah kesehatan penduduk bukan lah masalah yang ringan. Karena menangani masalah kesehatan penduduk perlu fokus dan terintegrasi. Bukan hanya satu instansi namun juga kepekaan masyarakat terhadap lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H