Mohon tunggu...
Natasya Puspita Dewi
Natasya Puspita Dewi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi S1

Menyukai fiksi dalam berbagai genre, cukup tertarik dalam dunia penulisan, menyukai musik dan dunia perfilman.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kenapa Hidup Bisa Menderita?

5 November 2022   23:33 Diperbarui: 5 November 2022   23:42 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Sabbe sankhara dukkha ti, yada pannaya passati. Atha nibbindati dukkhe, esa maggo visuddhiya." 

Berartikan, "Segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha (derita). Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian." (Dhammapada, Syair 278)

Kita semua pasti pernah merasakan hidup yang penuh penderitaan. Dan ya, hidup memang adalah sebuah derita. Dimana kita akan mengalami banyak hal tak terduga dan hal itu tidak sesuai dengan kesukaan atau kemauan kita. Dimana apa yang kita inginkan bisa saja tidak sesuai dengan kenyataan, kita mengalami perpisahan yang membuat kita sangat merasa sedih. Tapi sebenarnya, kenapa kita bisa merasakan penderitaan itu? Penderitaan itu datang dari mana?

Di dalam ajaran agama Buddha, ada yang namanya Updna atau jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah kemelekatan. Dimana kita melekat atau terikat, pada sesuatu yang kita sayangi atau sukai. Baik itu sebuah benda maupun jiwa. Sifat melekat ini memang tidak dapat di elak. Setiap manusia pasti pernah merasa melekat pada sesuatu atau seseorang. Sehingga saat orang atau benda tersebut hilang, kita kan merasa kehilangan, merasakan perasaan sedih yang beragam tingkatnya.

Sama seperti kita yang berharap atau berekspektasi terlalu tinggi ada dan tiadanya hal pendukung. Kita akan merasakan kekecewaan dengan berbagai macam tingkatan yang berbeda tergantung seberapa tinggi yang kita harapkan. Karena semakin tinggi kita naik atau terbang, maka jatuhnya juga akan semakin sakit. 

Penderitaan memang tidak dapat dihilangkan atau diberhentikan, kecuali jika seorang manusia itu meninggal. Tapi penderitaan dapat dikurangi sedikit dengan cara tidak terlalu terikat atau melekat pada sesuatu. Tidak melekat pada harta, tidak melekat pada benda, juga tidak melekatkan diri pada seseorang. Dan dengan ini, buka berarti manusia tidak membutuhkannya. Tapi ini tetap opsional. Jika kamu tetap ingin melekat pada sesuatu, maka dipersilahkan. Karena ini hidup mu, hanya kamu yang dapat mengaturnya. Bukan orang lain. 

Karena dari itu, kita harus dapat mengendalikan diri dengan baik agar dapat mengurangi penderitaan. Jangan takut saat berbagi, karena dengan berbagi, kita menunjukkan pada diri sendiri kalau kita tidak melekat dengan harta benda. Dengan berbagi juga, kita jadi dapat membantu sesama yang membutuhkan. Penderitaan akan hilang, ketika pikiran kita tenang dan tidak melekat. Melekat adalah pisau kecil yang siap menyakiti diri kita kapan saja dan dimana saja. 

Mari tetap berpikir positif tanpa terlalu meletakkan harapan kepada sesuatu, segala seuatunya yang ada didunia ini hanya titipan belaka bukan?

Sumber Referensi:

https://kemenag.go.id/read/hidup-adalah-penderitaan-benarkah-9n4lo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun