Anemia, yang juga dikenal sebagai kekurangan sel darah merah, merupakan kondisi medis di mana pada tubuh manusia yang tidak memiliki cukup sel darah merah. Kekurangan asupan oksigen pada darah dapat menyebabkan anemia, serta menyebabkan kelelahan, kelelahan, dan tidak bersemangat. Data World Health Organization (WHO) bahwa pada tahun 2015, ada 40-88% remaja putri yang terkena anemia, serta data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018 menunjukkan bahwa 23,7% remaja putri di Indonesia mengalami anemia. Oleh karena itu, disarankan agar bisa mengurangi prevalensi anemia di Indonesia.
Remaja putri sering mengkonsumsi tablet tambah darah karena anemia, yang dapat menyebabkan kelelahan dan mengganggu konsentrasi belajar dan aktivitas. Menurut penelitian Elisabet et al. 2022, remaja perempuan membutuhkan bantuan untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang pentingnya mengonsumsi tablet tambah darah. Data Riskedas tahun 2018 menunjukkan bahwa 76,2% remaja putri di Indonesia menerima tablet tambah darah di sekolah, dan 80,9% dari mereka mengonsumsinya. Tetapi hampir 1/3 remaja putri yang jarang mengonsumsi tablet tambah darah berisiko tinggi terkena anemia, yang dapat memengaruhi prestasi belajar mereka dan aktivitas sehari-hari mereka.
Salah satu penyebab yang dapat memengaruhi anemia pada remaja putri yaitu menstruasi. Remaja putri lebih rentan terhadap anemia dibanding remaja putra karena adanya siklus haid tiap bulannya. Penelitian yang dilakukan Nofianti et al. 2021, remaja putri dengan anemia sebanyak 52,8% dan remaja putri dengan siklus menstruasi tidak normal sebesar 49,4%. Ditemukan juga adanya hubungan siklus haid dengan anemia pada penelitian lain (Utami et al., 2019), dan hasilnya diperoleh (OR=5,769). Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan  anemia dan siklus menstruasi pada remaja putri.
Selain itu, anemia pada remaja putri juga sering dikaitkan dengan hasil belajar karena remaja putri yang terkena anemia juga mengalami masalah konsentrasi, yang dapat mengurangi prestasi mereka dalam belajar. Penelitian oleh Ketut Ayu et al. 2019 menemukan bahwa remaja putri dengan anemia memiliki hasil belajar yang kurang baik sebesar 5,3% dan prestasi belajar yang baik sebesar 3,5%. Dari hasil ini, dapat disimpulkan bahwa anemia terkait dengan prestasi belajar remaja putri yang lebih rendah.
Pola gaya hidup remaja putri juga merupakan salah satu penyebab anemia. Pola gaya hidup yang tidak sehat, seperti begadang, kurang aktif bergerak, pola makan yang buruk, merokok, dan mengonsumsi alkohol, akan berdampak pada remaja putri dan membuat mereka lebih rentan terkena anemia. Karena, penelitian Apriliani dan Istiyati 2018 menemukan bahwa 41,7% remaja putri yang mengalami anemia memiliki pola gaya hidup yang kurang baik atau buruk. Penelitian lain (Utami dkk. 2019), ditemukan hubungan pola hidup dan anemia pola gaya hidup dan anemia, dan menemukan OR 5,400. Ada korelasi antara pola gaya hidup yang buruk dan kemungkinan anemia di remaja putri. Oleh karena itu, remaja putri dengan pola gaya hidup yang baik tidak mengalami anemia. Â Â
Pengendalian asupan zat besi yang mempengaruhi kadar hemoglobin selain gaya hidup yang tidak sehat. Pembentukan darah, terutama sintesis hemoglobin, dan penyimpanan zat besi yang berlebihan sebagai feritin dan hemosiderin di hati dan sumsum tulang belakang adalah mekanisme yang mendorong peningkatan konsentrasi hemoglobin. Kadar ferritin dapat turun dalam kondisi darah yang kekurangan zat besi, yang dapat menyebabkan penurunan saturasi transferrin atau peningkatan protoporfirin, yang pada gilirannya menyebabkan anemia defisiensi zat besi. Â Tidak ada korelasi yang signifikan konsumsi zat besi dan kadar hemoglobin dalam penelitian yang dilakukan oleh Istina Putri et al. (2017), tetapi uji statistik menunjukkan hubungan yang positif (p=0,323). Namun, dari informasi ini dapat disimpulkan bahwa asupan zat besi yang cukup dapat meningkatkan kadar hemoglobin sekaligus mengurangi risiko anemia.
Salah satu penyebab anemia pada remaja adalah minimnya pengetahuan tentang betapa pentingnya asupan zat gizi, terutama zat besi. Remaja wanita yang tidak memahami pentingnya kebutuhan Hasil studi yang dilakukan oleh Fresthy et al. 2020 menunjukkan bahwa, dengan nilai signifikansi p hanya 0,04, terdapat korelasi antara pengetahuan tentang konsumsi zat besi dan jumlah kasus anemia terkait. Pengetahuan rendah tentang konsumsi zat besi meningkatkan risiko terkena anemia menjadi 13,5 kali lipat. Remaja perempuan yang tidak memahami apa yang diperlukan tubuh mereka cenderung memiliki pola makan yang tidak seimbang, yang dapat menyebabkan kekurangan zat besi. Zat besi juga diperlukan untuk membuat hemoglobin dalam darah, oksigen yang diangkut ke seluruh tubuh. Remaja putri mungkin tidak memprioritaskan konsumsi makanan yang tinggi zat besi jika mereka tidak tahu tentang hal itu. Akibatnya, tubuh dapat mengalami defisiensi zat besi, menyebabkan penurunan produksi hemoglobin dan meningkatkan risiko anemia.
Selain berperan dalam penyerapan zat besi, Vitamin C juga dapat mendukung pembentukan sel darah merah dengan memengaruhi mekanisme hemoglobin dalam darah. Menurut penelitian, dari total 70 siswi yang masuk kategori kekurangan asupan vitamin C dan 5 siswi masuk kategori asupan vitamin c cukup. Dari 70 siswi tadi yang kekurangan asupan vitamin C, terdapat 25 siswi yang masuk kategori anemia dan 45 siswi lainnya pada kategori tidak terkena anemia. Dan pada 5 siswi yang masuk pada asupan cukup ada 2 siswi yang terkena anemia dan 3 siswi lainnya tidak terkena anemia. Meskipun penelitian menunjukkan bahwa asupan Vitamin C tidak memiliki korelasi statistik dengan kejadian anemia, data menunjukkan bahwa siswi dengan defisiensi asupan zat besi memiliki kecenderungan 1,7x lebih tinggi untuk bisa terkena anemia. Oleh karena itu, meskipun tidak secara langsung terkait dengan anemia dalam penelitian ini, konsumsi Vitamin C tetap penting dalam membantu penyerapan zat besi serta mencegah anemia.
Faktor sosial ekonomi dapat menjadi penyebab anemia pada remaja putri, karena hal tersebut berpengaruh pada kualitas asupan makanan dan aksesibilitas. Remaja perempuan dari keluarga berpenghasilan rendah mungkin menghadapi kesulitan untuk mendapatkan makanan yang banyak kandungan zat besi dan nutrisi penting lainnya. Keterbatasan ekonomi juga dapat membuat mereka lebih mungkin memilih makanan yang kurang bergizi. Karena kurangnya konsumsi makanan yang kaya nutrisi, anemia dapat menyebabkan kekurangan zat besi, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lili et al. pada tahun 2020, dari hasil uji chi-square menunjukkan adanya hubungan sosial ekonomi antara insiden anemia pada remaja putri. Nilai p adalah 0,00. Dengan pendapatan tinggi ada 97 responden dan pendapatan yang rendah 65 responden. Oleh karena itu, faktor sosial ekonomi memainkan peran signifikan dalam kejadian anemia pada remaja putri, menekankan pentingnya upaya untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap makanan bergizi sebagai strategi pencegahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H