Nadiem Anwar Makarim akhirnya memperkenalkan konsep "Pendidikan Merdeka Belajar" di acara Hari Guru Nasional. Konsep ini dimaksudkan sebagai respon terhadap kebutuhan sistem pendidikan pada era revolusi indstri 4.0. Beliau selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mengatakan bahwa merdeka belajar adalah kemerdekaan dalam berpikir yang ditetapkan oleh guru. Â Di masa kini, guru paham betul bahwa potensi dari seorang siswa sulit diukur hanya dengan melihat performanya di ujian, namun demikian guru juga memiliki perang dengan angka yang merupakan desakan dari orang yang lebih memiliki kuasa. Guru memahami setiap siswa memiliki kemampuan serta kebutuhan yang berbeda-beda, namun guru tidak memiliki ruang untuk melakukan inovasi (Nadiem Makarim dalam Kemendikbud.go.id, 2019).
Beberapa poin dari konsep "Merdeka Belajar" menurut R. Suyanto Kusumaryono (2019) yaitu:
- Konsep "Merdeka Belajar" merupakan jawaban dari masalah yang dijumpai oleh guru dalam melaksanaka perannya dalam proses praktik pendidikan.
- Beban guru berkurang dengan adanya keleluasaan yang merdeka dalam menilai siswa dalam belajar dengan berbagai instrumen penilaian, pembuatan administrasi yang merepotkan, mempolitisasi guru dan sebagainya.
- Kita dapat mengetahui kendala yang dihadapi oleh guru seperti kendala dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) secara zonasi, adminstrasi dalam persiapan mengajar (RPP), proses belajar mengajar, serta masalah evaluasi berupa ujian (UN dan USBN).
- Pentingnya untuk membangun suasana belajar yang menyenangkan di kelas.
- "Merdeka Belajar" bukan hanya gagasan melainkan kebijakan yang harus segera dilaksanakan.
Jika kita telaah, sebenarnya konsep ini berpusat dan bertujuan untuk memanusiakan manusia dalam pendidikan yang "memerdekakan". Guru bukanlah satu-satunya sumber kebenaran namun memiliki hubungan yang bersifat kolaboratif dengan siswa. Hubungan ini diperuntukkan sebagai cara bagi guru maupun siswa untuk mencari sebuah kebenaran. Kurikulum dengan nama yang sama kemudian dikembangkan sebagai kerangka kurikulum yang memusatkan materi pada hal yang mendasar serta memfokuskan pada pengembangan kemampuan setiap siswa. Kurikulum ini dibuat dengan maksud demi  pemulihan pembelajaran dari pandemi COVID-19. Salah satu dari rangkaian Merdeka Belajar oleh Kemendikbud adalah program sekolah penggerak. Sekolah penggerak sebagai katalis dibuat sebagai cara untuk mencapai cita-cita bangsa yaitu pendidikan Indonesia yang menghasilkan output Profil Pelajar Pancasila. Perwujudannya diawal dengan kepala sekolah dan guru yang memfokuskan pengembangan hasil belajar siswa secara holistik. Program sekolah penggerak memusatkan kepala sekolah sebagai elemen yang vital untuk pembenahan tata kelola dan menjadi akar agar setiap satuan pendidikan dapat mencurahkan segala upayanya demi terlaksananya peningkatan kualitas pendidikan (Zamjani, 2021: 38).
5 Intervensi Program Sekolah Penggerak adalah
- Pendampingan Konsultatif dan Asimetris
Program kemitraan antara Kemendikbud dan pemerintah di mana Kemendikbud memberikan pendampingan implementasi Sekolah Penggerak.
- Penguatan Sumber Daya Manusia di Sekolah
Penguatan Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, Penilik, dan Guru melalui program pelatihan dan pendampingan intensif (coaching) one to one dengan pelatih ahli yang disediakan oleh Kemdikbud.
- Pembelajaran dengan Paradigma Baru
Pembelajaran yang berorientasi pada penguatan kompetensi dan pengembangan karakter yang sesuai nilai-nilai Pancasila, melalui kegiatan pembelajaran di dalam dan luar kelas.
- Perencanaan Berbasis Data
Manajemen berbasis sekolah: perencanaan berdasarkan refleksi diri satuan pendidikan.
- Digitalisasi Sekolah
Penggunaan berbagai platform digital bertujuan mengurangi kompleksitas, meningkatkan efisiensi, menambah inspirasi, dan pendekatan yang disesuaikan.
Menurut Giroux (2011), secara universal, konsep reformasi pendidikan memiliki kecenderung disodorkan demi mengubah pendidikan, namun bukan pengaruh baik yang menjadi hasil tetapi justru pendidikan mengalami penurunan nilai. Hal inilah yang kemudian membuat pendidikan menjadi semakin otoriter dan membuat cangkang bagi siapa saja yang mencarinya. Pedagogi kritis yang merupakan rumusan Giroux memiliki keinginan besar untuk melawan hal tersebut. Pandangan ini mengajak kita untuk melihat pendidikan sebagai suatu hal yang mendasar dalam upaya peningkatan demokrasi. Karena pada dasarnya demokrasi mustahil terbentuk jika tidak ada budaya pendidikan yang membangkitkan keinginan warga untuk berpikir kritis, reflektif, berwawasan luas, dan paling penting untuk bertanggung jawab.
Salah satu cara Giroux dalam membangun hubungan antara belajar dan mengajar adalah dengan membedakan bahasa kritik (language of critique)Â dan bahasa kemungkinan (language of possibility). Giroux mengedepankan pentingnya penggunaan bahasa kemungkinan sebagai bagian dari apa yang membuat seseorang menjadi kritis. Tujuan pedagogi kritis harus mmenumbuhkan ambisi, keinginan, dan harapan nyata bagi setiap orang yang memiliki keinginan untuk menganggap serius masalah perjuangan pendidikan dan keadilan sosial (Hidayat, 2013).
Jika kita kaitkan dengan pelaksanaan program sekolah penggerak, maka kepala sekolah, sebagai pondasi, harus mempunyai semangt juang dalam tercapainya sekolah lebih maju. Kepala sekolah diharapkan bisa memberi arahan dan inspirasi semua anggota sekolah untuk terlibat demi terlaksanya kegiatan belajar menuju pendidikan yang lebih baik dan terarah. Yang perlu dipahami, sekolah penggerak tidak bisa diartikan sebagai sekedar sekolah yang mempunyai fasilitas yang lengkap dan memadai. Karena pada kenyataannya, semua sekolah bisa menjadi sekolah penggerak jika pemimpinnya adalah kepala sekolah yang sudah mengikuti rangkaian pelatihan sekolah penggerak dan memiliki kemauan dari dirinya sendiri untuk memajukan pendidikan. Maka tidak jadi hal yang tak mungkin jika sekolah "kecil" sekalipun bisa dianggap sekolah maju dan menjadi agen perubahan karena kepala sekolahnya berorientasi kepada keberhasilan pelaksanaan pendidikan.
Selain kepala sekolah, guru adalah faktor yang sangat esensial dalam penerapan kurikulum merdeka di sekolah penggerak. Demi maksimalnya dampak dari program ini, guru dituntut untuk mampu menjadi seorang tutor, fasilitator dan menjadi seseorang yang membangun keinginan belajar siswa melalui inspirasi bagi muridnya(Savitri, 2020 & Mulyasa, 2021). Hal ini menjadi sangat penting karena guru sebagai aktor yang paling dekat dengan siswa adalah orang yang banyak membangun motivasi siswa. Pembangunan motivasi ini tidak hanya sekedar memberikan nasihat saja, namun guru harus memiliki kemampuan untuk mengolah materi sedemikian rupa agar menjadi lebih menarik. Hal ini dimaksudkan agar suasana belajar menjadi lebih kondusif namun tidak meneganggakan, menyenangkan tapi tetap memberikan manfaat. Tentu saja, dalam hal ini penggunaan teknologi menjadi hal yang sangat penting demi menunjang proses belajar mengajar.
Penilaian dalam kurikulum merdeka di sekolah penggerak dilakukan secara menyeluruh dan diharapakan dapat mengobarkan semangat siswa untuk memiliki suatu kompetensi yang sesuai dengan bakatnya serta minat serta mengembangkannya tanpa menyulitkan posisi mereka sebagai siswa dengan skor minimal yang perlu dicapai. Dengan kata lain, KKM dihapus. Jika KKM dihapus, maka guru yang "merdeka" bisa lebih leluasa dalam memberikan penilaian dengan catatan, tidak menyalahgunakannya. Dalam kurikulum dan program ini, maka tidak akan sulit untuk membuat siswa berpikir bahwa mereka adalah satu-satunya orang yang tahu nilai apa yang mereka layak dapatkan atas upayanya dalam memaksimalkan potensi diri dan pendidikannya. Jika murid termotivasi, guru menjadi lebih semangat dalam mengajar, kepala sekolah sebagai pemimpin bisa lebih memaksimalkan performa sekolah secara menyeluruh. Dengan begitu tujuan program sekolah penggerak dan pedagogi kritis terlaksana dengan baik.
Refrensi:
Giroux, H. (2011). On Critical Padegogy. London: The Continuum International Publishing Group.