Belum lama ini, Indonesia memiliki Presiden baru yaitu Presiden Prabowo Subianto yang telah resmi menjabat sejak 21 Oktober 20204. Setelah menjabat sebagai Presiden, beliau menerapkan berbagai program unggulan salah satunya program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang telah digadang-gadang sejak masa kampanye yang lalu. Program ini menjadi sebuah upaya dalam meningkatkan status gizi di Indonesia dengan sasaran peserta didik, ibu hamil dan menyusui, serta anak balita dalam asupan gizi harian yang cukup. Usulan dan ide program ini hadir dari tingginya kasus stunting dan kekurangan gizi di Indonesia. Menurut Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), 21,6% anak di Indonesia mengalami stunting. Menurut Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2023 adalah 21,5% (Rahim et al., 2023). Data-data ini menunjukkan bagaimana status pemenuhan gizi di Indonesia belum terealisasi dengan optimal dan masih memerlukan bentuk sosialisasi dan edukasi terhadap pemenuhan gizi harian yang cukup.
Presiden ingin mengurangi kesenjangan gizi, meningkatkan kualitas hidup anak-anak Indonesia, dan membentuk sumber daya manusia yang mampu bersaing di masa depan melalui program MBG ini. Program MBG membantu dalam memenuhi kebutuhan gizi harian yang membantu dalam menyongsong peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pertumbuhan fisik, kecerdasan, produktivitas, daya tahan dan menekan angka kematian. Program makan bergizi digolongkan dalam multiple goals dalam konteks pencegahan stunting upaya untuk memanfaatkan pangan lokal untuk pemenuhanya dalam gizi seimbang. Perpres No 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan stunting juga dikaikan dengan program MBG (Radjulaeni et al., 2024). Asupan gizi yang baik, akan memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan nasional dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Akan tetapi, harapan dalam implementasi program berbeda dengan realisasi yang sudah berjalan sejak tanggal 6 Januari 2025 kemarin. Dalam pelaksanaan program ini, masih banyak titik lokasi yang belum mendapatkan menu optimal yaitu dengan anggaran MBG sebesar Rp 10 ribu. Contohnya, beberapa daerah tidak mendapatkan susu yang menjadi menu pelengkap dengan alasan susu hanya didapatkan bagi daerah yang memang memiliki produksi susu. Pada kasus di Kebumen misalnya, program MBG justru tidak terlaksana karena Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) belum dimiliki dan ditunjuk oleh Badan Gizi Nasional (BGN).
Terlepas dari permasalahan yang terjadi dalam realisasi program MBG, terdapat ancaman besar dalam implementasinya jika dilakukan dalam jangka waktu yang panjang karena berpotensi terjadi defisit APBN dan korupsi. Jika program ini terus berlanjut maka defisit anggaran APBN hingga angka 3,34% dari PDB pada tahun 2029 nantinya dan potensi korupsi dengan anggara yang dimiliki dalam skema sentralistik yang dilakukan. Implementasi program MBG tidak akan mampu mengupayakan kesetaraan gizi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia karena hanya dengan memberukan makan bergizi satu kali saja di sekolah bagi siswa sekolah.
Perbaikan dan pencegahan gizi buruk serta stunting memang dilakukan dengan pemenuhan asupan gizi yang cukup, akan tetapi makna cukup ini saja tidak dapat mencakup seluruhnya karena harus seimbang terhadap pemenuhan protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral dalam tiap harinya (Sartika et al., 2024). Jika hanya satu kali makan saja, maka tidak mampu mewujudkan peningkatan gizi seimbang bagi generasi muda bangsa karena hanya mengenyangkan dalam satu kali makan tersebut dan justru menjadi sebuah potensi dalam gejolak implementasi ekonomi negara dengan ancaman negatif yang dapat terjadi.
Penerapan Makanan Bergizi Gratis (MBG) bukan solusi yang tepat jika menginginkan pencegahan dan penurunan angka gizi buruk serta stunting di Indonesia. Perlu pemberdayaan ekonomi yang meluas dengan edukasi masyarakat sebagai sebuah wadah merealisasikan pemahaman akan pemenuhan asupan gizi bagi keluarga dan diri sendiri dengan kesejahteraan yang sudah didapatkan dalam kehidupan sehingga pemenuhan gizi harian dapat dilakukan.
 
REFERENSI
Radjulaeni, N. A. A., Masriadi, & Ahri, R. A. (2024). Implementasi Percepatan Penurunan Stunting Menurut Perpres No 72 Tahun 2021 di Kabupaten Banggai Laut , Sulawesi Tengah , Indonesia. Journal of Aafiyah Health Research (JAHR), 5(2), 224–235.
Rahim, A., Darussalam, R., & Ramadhanti, Y. (2023). Peran Pemerintah Daerah Dalam Menanggulangi Gizi Buruk di Kabupaten Indramayu. Management Studies and Entrepreneurship Journal, 4(April), 2361–2367.
Sartika, D., Munawarah, M., & S, M. I. (2024). Pengaruh konsumsi makanan bergizi pada balita terhadap stunting. Journal of Nursing Practice and Educatio, 5(01), 1–9. https://doi.org/10.34305/jnpe.v5i1.1370