KIP-K (Kartu Indonesia Pintar-Kuliah) merupakan salah satu program atau upaya yang dilakukan pemerintahan Indonesia agar masyarakat yang kurang mampu secara finansial dapat mengakses pendidikan tinggi. Pendidikan merupakan satu hal yang sangat penting terutama dalam memajukan suatu bangsa melalui anak-anak muda bangsa. Sehingga, Dengan adanya program KIP-K ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin bagi mereka yang telah lulus dalam program ini.
Tujuan utama program KIP-K sendiri adalah untuk mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan kesempatan belajar bagi semua anak di Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya pembagian dana KIP-K di Indonesia masih terdapat hambatan dalam hal ketidakmerataan. Dengan menggunakan teori konflik yang dikembangkan oleh Karl Marx, bahwa masyarakat terbagi menjadi kelompok-kelompok yang saling bersaing satu sama lain untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas. Jika dilihat dalam konteks pembagian KIP-K, ketidakmerataan tersebut sangat menggambarkan bagaimana ketimpangan yang ada dalam masyarakat kita dan ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya ini yang dapat menyebabkan konflik.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ketidakmerataan pembagian dana KIP-K. Pertama adalah karena faktor perbedaan geografis yang ada Indonesia. Masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan umumnya mendapatkan akses yang lebih baik terhadap lembaga pendidikan. Sementara untuk daerah pedesaan atau daerah terpencil sangat berbanding balik, karena sering kali terpinggirkan. Keterbatasan didaerah yang terpencil inilah yang membuat pembagian dana KIP-K menjadi tidak merata. Faktor kedua adalah karena pengaruh kekuasaan. Hal ini dikarenakan orang yang memiliki kekuasaan mempunyai akses yang lebih besar terhadap sumber daya. Mereka mempunyai pengaruh yang kuat sehingga mendapatkan alokasi dana yang lebih besar dibandingkan yang tidak memiliki kekuasaan. Dalam kaitan ini, teori konflik menekankan pada
konflik kepentingan antara kelompok yang berkuasa dan kelompok tidak berkuasa, yang berkontribusi pada distribusi KIP-K yang tidak merata.
Ketidakmerataan pembagian dana KIP-K ini tentu saja menimbulkan konflik sosial di dalam masyarakat. Kelompok yang tidak mendapat dana KIP-K tentu saja dirugikan dan tidak puas. Mereka akan menganggap sistem pembagian dana KIP-K ini tidak adil. Akibatnya, konflik sosial bisa muncul melalui protes, demonstrasi bahkan bisa sampai ke kekerasan. Untuk itu harus ada solusi atau langkah-langkah dari pemerintah untuk kasus ketidakmerataan pembagian KIP-K.
Jika dilihat menggunakan teori struktural penyebab ketidakmerataan pembagian dana KIP adalah karna kurangnya fasilitas pendidikan yang ada di beberapa daerah. Karena jika suatu daerah yang tidak mempunyai fasilitas pendidikan yang lengkap tentu saja dapat menghambat dan mempersulit dalam memperoleh dana KIP-K.
Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah menganalisis dan mengevaluasi sistem pembagian dana KIP-K. Tujuannya adalah agar bisa mengidentifikasi pembagian dana KIP yang telah dilaksanakan serta menentukan penyebabnya. Langkah kedua adalah transparansi terhadap pembagian dana. Tujuannya adalah untuk mengurangi konflik yang muncul, sehingga dapat membantu membangun kepercayaan dan mengurangi tuduhan ketidakadilan. Langkah ketiga adalah penambah kuota setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya kuota pembagian dana KIP-K di setiap daerah. Untuk itu, pentingnya penambahan kuota setiap tahunnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H