Mohon tunggu...
Humaniora

Brain Drain: Tinta Hitam Sebuah Negara

3 September 2017   14:31 Diperbarui: 1 Maret 2018   12:32 3014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada era globalisasi, dikenal istilah brain drain yaitu aksi oleh Sumber Daya Manusia berkualis yang memilih untuk meniti karir di negara lain dibandingkan negaranya sendiri. Istilah tersebut pertama kali dikemukakan oleh British Royal Society pada tahun 1950-1960. Brain drain memiliki arus migrasi yaitu dari negara berkembang ke negara maju.

Munculnya istilah brain drain pada abad ke-19, diawali oleh penelitian British Royal Society pada negara Amerika dan luar Amerika. Pada penelitian tersebut, didapati Amerika meraih keuntungan karena banyaknya tenaga kerja ahli dari negara lain yang bekerja di negara Paman Sam tersebut. Sedangkan pada beberapa negara, terutama negara di Benua Afrika harus mengeluarkan bahkan meminjam banyak uang ke negara lain untuk membayar tenaga ahli asing. Pelaku brain drain didominasi oleh dokter, profesor dan para pakar.

Di dalam fenomena brain drain dikenal banyak istilah asing, misalnya brain gain.Istilah brain gain diartikan sebagai daerah tujuan para pelaku brain drain. Kemudian, ada juga brain bank yaitu keadaan dimana negara membebaskan bangsanya untuk bekerja di negara lain dengan harapan dapat mensejahterakan keluarga yang ditinggalkannya. Selain kedua hal tersebut, terdapat brain in the drain. Meskipun memiliki nama yang hampir sama, brain in the drain memiliki makna yang berbeda dengan brain drain. Brain in the drain adalah aksi oleh Sumber Daya Manusia berkualitas yang memilih untuk berkarya di negaranya sendiri.

Brain drain dapat terjadi karena beberapa faktor. Faktor klasik penyebab terjadinya brain drain adalah faktor ekonomi. Perekonomian negara maju yang meyakinkan, membuat para tenaga ahli lebih suka berkarya di negara tersebut. Tak dapat dipungkiri, gaji yang didapatkan juga lebih besar. Dengan demikian, faktor ekonomi mempengaruhi kesejahteraan yang merupakan tujuan seluruh umat manusia. Faktor kedua yang mempengaruhi terjadinya brain drain adalah sarana dan prasarana.

Sarana dan prasarana atau fasilitas menjadi penunjang utama seseorang dalam bekerja. Fasilitas yang lebih canggih dapat mempermudah seseorang untuk berkarya. Faktor ketiga adalah alasan politik. Kebanyakan dari mereka pelaku brain drain mengatakan bahwa negara asal menolak diri mereka untuk berkarya. Mereka berkata tentang sulitnya mendapatkan surat izin apabila mereka bukan bagian dari orang dalam suatu pemerintahan.

Dibalik alasan-alasan tersebut, brain drain menimbulkan beberapa masalah bagi negara yang ditinggalkan. Permasalahan yang pertama yaitu negara menjadi kekurangan tenaga ahli. Seperti halnya Ghana yang mengalami kematian besar karena kurangnya penanganan medis pada pengidap virus HIV. Kemudian, masalah kedua adalah semakin banyaknya biaya yang harus dikeluarkan oleh suatu negara. Hal tersebut dapat terjadi karena negara harus mendatangkan banyak tenaga ahli dari negara lain untuk mengatasi permasalahan yang sedang ada. Selain itu, masalah lain yang ditimbulkan adalah terhentikannya pembangunan dalam negeri. Pembangunan menjadi terhenti karena pemerintah harus fokus pada permasalahan yang sedang terjadi akibat kehilangan banyak tenaga ahli.

Kebanyakan negara yang menjadi korban brain drain adalah negara berkembang, salah satunya Indonesia. Indonesia memiliki banyak sekali generasi muda yang berkualitas. Sebagai contoh adalah B.J Habibie dan para pegawai IPTN. Mereka pernah berkarya di Indonesia pada abad ke 19. Salah satu karya yang terkenal adalah Pesawat N-250. Akan tetapi tidak mencukupinya biaya pada saat itu, membuat pemerintah Indonesia harus mengehentikan proyek pembuatan Pesawat N-250. Sejak dihentikannya industri pesawat tersebut, para pegawai IPTN melakukan migrasi dan beberapa diantara mereka bekerja di Airbus S.A.S  dan Boeing Company. Sedangkan B.J Habibie melanjutkan karirnya di Jerman setelah itu.

Semakin lama, semakin banyak tenaga ahli melakukan brain drain. Mereka melakukannya karena alasan yang berbeda-beda. Meskipun mengakibatkan pengaruh besar pada negara, aksi brain drain merupakan hak setiap pribadi. Globalisasi juga menjadi faktor pendorong terjadinya brain drain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun