“Hei Shelly, kamu apa-apa’an sih? Kamu bukan Shelly yang aku kenal. Ada apa dengan kamu kenapa akhir-akhir ini kamu sangat berubah??” Tanya Edo sambil menghalangi jalanku.
“Aku Cuma butuh sendiri. Tolong jangan ganggu aku!” Kataku sinis menjawabnya.
“Hei, aku sahabat kamu Shel, dari awal kita sahabatan kita selalu shar, kita terbuka satu sama lain. Tapi kenapa sekarang sikap kamu seperti ini. Aku salah apa sama kamu?” Kata Edo terdengar sedikit emosi padaku.
“Kamu gak salah apa-apa Do’. Udah deh, please sekarang biarin aku pergi. Ok?” Kataku sambil menatap paksa kedua mata Edo.
Edo tak menjawab, dia hanya tetap berdiri menatapku dengan penuh kekecewaan. Dia membiarkan ku pergi tanpa memanggil namaku dan tanpa mengejar diri ini yang telah membuatnya kecewa meski sesungguhnya ia tak berhak merasakan kekecewaan itu. Dia hanya menjadi korban dari hatiku yang sedang risau, sedih dan hampa.
Edo maafkan aku. Aku tau apa yang sudah kulakan pasti sangat menyiksa hatimu, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa untuk kondisi hatiku saat ini. Masalahku terlalu besar Do’, aku belum bisa shar dengan kamu. Entah sampai kapan aku akan merasakan semua ini, meski berat aku yakin aku bisa menghadapi semua ini sendiri. Tolong jangan tanya apapun padaku, hargailah keputusan ku. I believe you Edo. Thank you!
Pukul 08.00 malam ku kirim pesan itu lewat e-mail kepada Edo sahabat terbaikku. Lima menit kemudian Edo membalas e-mail ku padanya.
Apapun yang terjadi Edo akan selalu bersama Sherly. Aku disini untuk kamu, meski berat melihat sahabat terbaik sedih dan tak mau sharing denganku, tapi don’t worry aku akan tetap bersamamu, aku akan tetap menjagamu. Senyum dan sedihmu sudah menjadi hidupku Sherly. Aku yakin bahagia masih selalu menaungi persahabatan kita.
Membacanya air mataku meleleh dari dua bola mataku, Edo benar-benar sahabat terbaik, dia membuatku sadar bahwa dia sangat berharga untukku. Dia bukan pacarku juga aku tidak mencintainya tapi aku sangat menyayanginya sebagai seorang sahabat. Tapi benar kata orang bilang bahwa persahabatan adalah lebih dari cinta.
Ku berdiri disamping jendela kaca kamarku dan ku tatap langit malam yang indah dengan gemerlap bintang yang bertaburan nan indah menghiasi malam. Tak terasa air mataku membasahi pipi ini, semakin aku teringat semakin tak bisa aku menahan tangisan ini. Hatiku begitu sakit dan nafasku terasa sesak saatayahku memutuskan untuk menikah lagi dengan sekretaris barunya padahal ibuku masih bersamanya. Ibuku menjadi drop, penyakit jantungnya kumat dan harus dirawat dirumah sakit sejak mengetahui keputusan ayahku. Sebentar lagi aku akan ujian semester disekolah, semua itu membuat kondisi psikiskudrop dan sangat drop.
Di pagi hari di teras kamarku, ku duduk di kursi ayunan dengan pandangan kosong jauh menyentuhlangit. Air mata tak henti-hentinya membasahi pipiku, sampai mataku terasa bengkak. Sebagai sedikit hiburan untukku, kupasang airphone di telingaku dan kudengarkan music klasik kesukaan mama. Tanpa kusadari seseorang telah duduk disampingku, baru kuterasa bahwa seseorang duduk bersamaku ketika ayunan terasa lebih berat dari sebelumnya.
Kepalaku bergerak menoleh melihat siapa itu. Saat melihat wajahnya hatiku terasa lebih tenang, dia tersenyum padaku dan kubalas senyumnya. Edo, dialah yang duduk disampingku. Edo menghadapkan mukaku padanya, dia menatap dalam kedua mataku. Air mataku kembali meleleh dan edo mengusapnya dengan penuh rasa sayang. Aku tak kuat lagi menyimpan semua ini sendiri, secara gamblang dan berurai air mata kuceritakan semuanya pada Edo.
“Aku takut kehilangan mama Do’ tapi aku tidak mungkin melarang ayah. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan Do’?” Kataku mengakhiri cerita.
“Ya sudah kamu tenang dulu ya, kita akan cari jalan keluarnya bersama. Sherly, seorang ayah pasti bisa mengerti anaknya, dia akan mendengarkan apa yang kamu katakan padanya. Ayah kamu adalah manusia biasa Sher, dia bisa saja berubah pikiran demi putri tunggalnya dan demi keluarga kecilnya agar tetap utuh. Kamu harus yakin bahwa keluarga kecil kamu akan tetap utuh dan tidak akan pernah terpecah oleh apapun dan siapapun.” Edo berusaha menenangkanku.
“Keluargaku memang punya segalanya Do’, tapi apa gunanya uang kalau kita miskin kebahagiaan Edo. Hanya akan menimbulkan bencana bagi keluarga ku sendiri.”
“Kebahagiaan itu sederhana, kapanpun dan dimanapun semua orang bisa memutuskan dirinya untuk bahagia. Ayo, ikutlah denganku akan kutunjakkan sesuatu padamu!”
“Kemana?” Tanyaku pada Edo.
Edo tidak menjawab dia langsung menarik tanganku hingga kita berdua sampai diluar rumah, lalu dia memboncengku dengan sepeda motornya, melewati jembatan dan melewati kebun-kebun yang hijau. Aroma natural begitu menyengat dan segar menusuk hidungku, bau alam yang sudah langka untuk kurasakan.
Sampai dibukit kecil, Edo mengajakku berdiri dan menyaksikan sebuah rel kereta api yang disampingnya berjejeran rumah-rumah kardus yang kecil dan sempit. Tak sedikit manusia yang bertempat tinggal disana, mereka makan apapun yang bisa dimakan meski harus mengambil bekas orang lain yang sudah dibuang di tempat sampah dan sudah tak layak untuk dikonsumsi. Sungguh membuat hatiku sangat iba pada mereka.
“Kamu lihat itu Sher, anak-anak yang tinggal dipemukiman itu. Mereka semua tidak sekolah, tidak pernah mengenyam pendidikan sekalipun. Mereka juga tidak pernah tau apa itu kemewahan harta yang bisa membuat manusia punya kehormatan dimata manusia yang lain. Yang mereka tahu hanyalah ngamen dijalanan agar mereka bisa membantu ayah dan ibunya untuk bisa makan. Tapi mereka bahagia meski kehidupan sehari-hari mereka seperti itu.
“Tak sedikit dari mereka yang tidak punya ayah dan ibu. Mereka hidup seorang diri sejak kecil bahkan ada diantara mereka tidak pernah tau siapa ayah dan ibu mereka, tapi mereka enjoy dan menikmati kehidupannya. Mereka juga manusia dan mereka juga seorang anak yang terlahir dari ayah dan ibunya. Mereka tidak berarti bagi orang tuanya, hanya dengan ini (Edo meletakkan tanganku di dadaku) dengan hati ini mereka kuat, tegar dan nyaman dengan dirinya sendiri.”
Aku menatap kedua mata Edo, ketulusan terlihat jelas dimatanya. Aku tahu, dia hanya ingin agar aku kuat dan tegar dan dia juga mengingatkan aku bahwa aku tidak sendirian, Edo ada bersamaku.
Aku dan Edo duduk berdua diatas batu di bukit kecil itu, Edo tidak mengajakku bicara. Saat aku memperhatikan dirinya, ada satu hal yang sangat ingin kutanyakan padanya.
“Do’, aku ingin bertanya satu hal sama kamu?”
“Soal apa, pasti karena aku memakai seragam ya? Aku memang sengaja kabur dari sekolah karena aku ingin ketemu kamu Sher. Ya aku minta maaf aku memang salah tapi kamu jangan marah sama aku karena ini ya?” Edo terus berkata tanpa memberikan aku sedikit kesempatan untuk melontarkan pertanyaanku padanya.
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Sherly. Ko’ kamu senyum sih, kenapa?” Tanya Edo heran melihatku.
“Kamu tuh lucu Do’, sikap kamu tetep aja gak berubah dari dulu. Aku belum sempat nanya eh kamu udah nanya sendiri pake dijawab-jawab sendiri lagi. Hehehe”
“Ow.. sorry, aku tidak menyadarinya!!”
“Do’, kamu percaya gak kalau persahabatan itu lebih dari cinta?”
“Iya, aku percaya karena aku bisa merasakannya. Hehehe”
“Kamu merasakan apa Do’?”
Edo menatapku, wajahnya semakin dekat dan semakin mendekat padaku, entah apa yang kurasakan hatiku bergetar hebat. Matanya menatapku dalam seakan penuh dengan makna, aku merasa lemah karenanya, aku lemah karena segala kebaikan dan ketulusannya yang telah menghipnotis diriku sehingga aku percaya padanya dan aku tak mau kehilangan sosok sahabat seperti Edo.
“Rahasia!” Jawab Edo sembari tiba-tiba mengambil jaketku yang kupegang.
Edo berlari sambil berteriak “Ayo sini ambil kalau berani!.” Dia membuatku seperti banteng yang harus datang pada matadornya. Dia memang bisa membuatku kaget, membuatku dag dig dug dan dia bisa membuatku tertawa diantara masalah yang sedang menghimpitku saat ini. Aku memperhatikannya dari kejauhan, hati kecilku berkata “Sahabat macam apa dia, kenapa dia begitu baik padaku, kenapa dia terlalu tulus padaku. Kenapa dia telah menggoreskan makna persahabatan yang sangat dalam dihatiku sampai aku tak ingin kehilangannya?” Aku tersenyum dan hanya tersenyum melihatnya.
Setelah pulang, Edo tidak menghubungiku sama sekali hingga malam. Dia membuatku cemas, tapi dari sikapnya aku merasa salah jika aku mencemaskannya karena dia selalu bilang padaku “Apapun yang terjadi dalam hidup ini. Look into future goodness. Karena dengan begitu, energi dalam diri ini akan positif, hati akan tetap tenang dan jika hati sudah tenang maka pikiran kita akan memngatakan bahwa semua baik-baik saja. Jika sudah begitu pastilah kenyataan akan sama dengan apa yang kita pikirkan karena Tuhan akan bertindak sesuai dengan apa yang kita pikirkan.” Sekali lagi dia telah menghipnotisku dengan kebijakannya dalam kesederhanaan itu.
Sampai pukul 09.00 malam, semua sms yang kukirim pada Edo belum juga dibacanya dan ku telpon dia tapi selalu “Sorry, your number is calledbusy. Request to await or leave word.” Membuatku sangat kesal.
Kuputuskan untuk berdiam diteras kamarku, sambil kupasang headsate dan kubawa satu bantal kotak, siap ku duduk tapi mataku mengalihkan diriku. Aku terus berjalan melihat halaman didepan rumah, ada seseorang yang sedang duduk sendiri di atas kursi kayu panjang dihalaman rumahku. Aku memperhatikan orang itu, tiba-tiba music yang kudengarkan berubah menjadi nada dering telpon. Segera kuangkat.
“Kesini donk, ngapain melihat aku dari atas sana. Lebih baik pandang aku dari dekat. Cepat turun!”
Suara itu tidak lain dan tidak bukan adalah suara Edo. Lagi-lagi dia membuatku kaget dan tersenyum, kenapa dia jail padaku seperti itu. Entahlah, tapi semua orang pasti tau jawabanya. Aku segera turun dan duduk bersamanya. Beberapa menit kita terdiam, hanya suara jangkrik yang kudengar. Edo memecah kesepian itu dengan narasi yang dia katakan padaku.
“Sherly, kalau memang aku dan kamu tidak bisa menghentikan ayah kamu untuk menikah lagi, apa boleh buat? Biarkan saja, toh semua orang berhak mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Yang penting kamu dan mama kamu harus tetap bahagia, meski itu berat tapi aku yakin kamu dan mama kamu bukanlah sosok wanita yang lemah. Kalian berdua pasti biasa!”
“Tak ada lagi kata-kata yang bisa ku ungkapkan untuk menjawab kenyataan ini. Aku hanya seorang anak yang dilihat kecil oleh ayah, semua yang kukatakan tidak akan berharga untuknya. Hatiku resah dan pikiranku sudah lelah sampai tak ada lagi kata untuk mengiaskanya. Tapi aku memandang semuanya baik-baik saja, sehingga aku tidak perlu cemas. Iya kan?”
Mendengar kata-kataku Edo tersenyum. Matanya mengatakan bahwa dia bangga padaku. Aku bersandar di bahu Edo, baru kali pertama itu aku melakukannya selama tiga tahun aku bersahabat dengannya, mulai dari kelas 1 SMA sampai kelas 3 sekarang. Aku tahu yang terjadi tidaklah seperti biasanya dimalam itu.
“Aku tahu kamu sangat lelah dengan sandiwara ini, dengan begini kamu akan sedikit melepas penat di hati kamu.” Kata Edo sambil menggenggam tanganku.
Pandanganku kosong melihat langit, yang kurasakan hanyalah damai bersama Edo.
“Sher, kamu tahu kenapa ayah kamu bersih kukuh akan menikahi sekretaris barunya itu?”
“Aku tidak mau tahu.” Jawabku singkat dan sinis.
“Namanya Hesy. Dia hamil.”
Kata-kata terakhir Edo membuatku tercengang hebat, mataku terbelalak melihat Edo, hatiku sakit dan sangat miris aku merasakannya. Aku menatap tajam kedua mata Edo dan dengan sangat pelan bibirku berkata “Ayahku bajingan. Dia menghamili wanita itu Do’? Ayahku benar-benar keterlaluan!”
Aku beranjak pergi dari halaman rumah, segera kuambil kunci mobil dari dalam kamarku. Edo menungguku tepat didepan pintu rumahku, ku pikir Edo akan bersamaku ternyata dia malah menghalangi langkahku untuk menemui ayahku.
“Sherly. Dengerin aku dulu, aku belum selesai menjelaskannya!” Edo berkata sambil mengejarku.
Dia menarik tanganku tapi aku berusaha lepas darinya, dia berusaha menjelaskan sesuatu padaku tapi aku bersih keras tidak mau mendengarkannya. Aku berjalan meninggalkan Edo.
“Sherly. Berjam-jam aku bicara dengan ayah kamu, dan ayah kamu sudah mengatakan yang sebenarnya padaku. Bukan ayah kamu yang menghamilinya tapi orang lain, hanya ayah kamu tidak mau Hesy keluar dari perusahaannya karena prestasinya baik untuk kemajuan perusahaan ayah kamu. Hanya dengan menikahinya nama Hesy akan tetap baik di kantor sehingga dia tidak akan di drop out! Kamu egois Sherly, kamu tidak menghargaiku. Itu tandanya kamu tidak percaya lagi padaku. Kamu keterlaluan Sherly, kamu keterlaluan!!”
Edo berteriak menjelaskan itu semua, pada akhirnya dia marah padaku karena aku terus berjalan dan tidak mau mendengarkannya. Langkahku terhenti saat nomor mama memanggilku.
“Halo Sherly. Mama sudah baikan sayang, ayah kamu sudah menjelaskan semuanya kepada mama dan mama bisa menerima jika ayah akan menikah lagi. Tapi mama lebih bisa menerima jika ayah tidak akan menikah lagi. Dan sekarang laki-laki yang menghamili sekretaris ayah sudah datang untuk bertanggung jawab nak, itu tandanya cinta ayah tidak akan terbagi. Keluarga kita akan tetap utuh sayang. Besok mama akan pulang.”
Suara mama begitu sangat menusuk jantung ini. Sesaat aku merasa sedih dan hampa, sesaat aku merasa sangat marah seperti singa yang hendak menerka mangsanya, dan sesaat aku merasa sangat lega haru dan bahagia. Menit-menit dimalam itu begitu sangat menghujam diri ini, seakan dunia sedang mempermainkan ku.
Aku berbalik. Edo berdiri menyaksikan diriku yang payah ini, aku malu padanya karena tak percaya dengan semua yang dikatakannya sesaat lalu. Aku berjalan menghampirinya, dia tersenyum padaku. Dia membuatku heran kenapa masih saja dia bisa memberikan senyuman kepada orang yang sudah membuatnya bukan untuk sekali saja ia menjadi kecewa.
Dia memandangku, dan kubalas dengan menamparnya. Aku memukulinya dengan kedua tanganku sambil ku bicara “Kenapa kamu lakukan semua ini padaku, aku sudah berkali-kali membuat kamu kecewa. Kenapa kamu masih saja ada untuk aku hah? Kamu apa-apa’an sih Do’? semua yang telah kamu lakukan telah membuat aku tidak ingin kehilangan sahabat seperti kamu. Kamu egois Edo!”
“Hei hei, berhentilah memukuliku. Untuk berterima kasih bukan seperti ini caranya, apa perlu aku juga yang mengajarkannya?” Jawab Edo dengan sikapnya yang suka berguarau sehinggamembuatku tersenyum.
Dia melihatku dengan penuh senyuman, aku tersenyum tanpa bisa menahan air mata yang keluar membasahi pipiku. Aku jatuh dipelukan Edo, dalam pelukanya Edo berkata “Semua ini aku lakukan untuk kamu. Aku menghilang beberapa jam lalu itu karena aku sedang bicara dengan ayah kamu, aku harap kamu bisa mengerti itu.”
“Apa kamu juga yang menyuruh ayahku untuk menjelaskan semuanya kepada mama?”
“Tanpa aku suruh ayah kamu sudah akan bicara Cuma dia takut mengganggu kondisi mama kamu yang sedang sakit. Aku hanya memaksanya untuk segera bicara!”
“Seandainya lelaki itu tidak datang pasti ayahku jadi menikah lagi. Iya kan?”
Edo melepas pelukan kita, dia mengajakku melihat langit dan ia menunjukan jari telunjuknya dengan sangat tegap menunujuk kelangit malam itu.
“Dia-lah yang mengatur semuanya Sher, Tuhan lebih tahu daripada kita. Dia-lah yang mengatur semua skenario hidup ini. Dia yang memberi masalah dan juga memberi jalan keluarnya, hanya Dia. Kita hanya menjalankan skenario yang sudah ditulis oleh-NYA.”
Sekali lagi dia telah menggoreskan kebanggaan dihatiku yang semakin menambah rasa hormatku padanya sebagai seorang lelaki muda yang menjadi sahabatku. Keimanannya semakin mengikat persahabatan kita bahkan bukan hanya itu, dia juga mengikat kuat kehadiran dirinya dalam diriku.
Aku kembali memandangnya, dan kukatakan padanya dengan sangat jelas “What do you love me?” Dia diam sejenak, lalu tersenyum kecil padaku dan dengan sangat ramah dia menjawab “Yes I do.”
Malam itu menjadi malam terindah bagiku, aku dan Edo yang selama ini setia menjadi sahabat kini ia membuktikan bahwa sahabat dengan mudahnya menjadi cinta. Kini mulai sekarang kita tetap sahabat, sahabat dalam cinta.
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H