Mohon tunggu...
Money

Industri Film Indonesia, Potensi Berharga yang Sering Terabaikan

24 Januari 2017   00:34 Diperbarui: 24 Januari 2017   10:10 3413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Joko Anwar, salah satu sutradara terkenal di Indonesia pernah mengatakan bahwa “ Film adalah bagian penting dalam hidup manusia.” Hal itu bisa jadi benar adanya, bahkan mungkin tidak hanya penting untuk sekedar hiburan individual belaka. Industri perfilman bisa menjadi lahan potensial dalam memajukan bangsa kita baik dalam segi perekonomian, ilmu pengetahuan, dan bahkan menjadi salah satu medium untuk melestarikan budaya Indonesia.

Jika dilihat dari jumlah penduduk nya, Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk terbanyak di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa. Hal ini bisa diartikan apabila jumlah penduduk suatu negara itu banyak dan semakin bertambah dari tahun ke tahun, maka  bisa jadi minat dan permintaan terhadap film semakin besar dan hal ini akan memicu perluasan pasar dan permintaan terhadap film lokal.

Kondisi penduduk Indonesia yang sebagian besar di dominasi oleh kelas menengah yang paling sering melakukan konsumsi otomatis akan memunculkan lebih banyaknya permintaan akan film – film lokal. Akan tetapi besar nya potensi pasar industri perfilman Indonesia seakan tidak di manfaatkan dan didukung dengan baik oleh pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan masih sedikit nya jumlah bioskop yang ada di Indonesia, kurangnya perawatan yang memadai bagi arsip – arsip film lokal lama, rendahnya kualitas perekaman film – film lama, dan kurangnya dukungan modal dari pihak lokal seperti pemerintah terhadap para sineas muda Indoneisa.

Mengenai jumlah bioskop yang ada di Indonesia, petinggi salah satu rumah produksi terbesar di Indonesia MD Entertainment, Manoj Punjabi mengatakan bahwa “Jumlah bioskop di Indonesia yang hanya 1.117 layar tidak dapat mengimbangi permintaan film lokal dari besar nya jumlah penduduk yang ada di Indonesia.”Selain sedikit, penyebaran bioskop juga tidak merata di seluruh daerah Indonesia. Mayoritas bioskop hanya berada di kota – kota besar sehingga tayangan bioskop hanya bisa dinikmati segelintir orang saja.

Jika kita bandingankan, Di Jakarta sendiri ada sekitar 50 bioskop yang tersebar di berbagai lokasi dan ini pun baru bioskop yang dinaungi oleh Cineplex 21 Group,belum di tambah oleh jumlah bioskop lainnya yang ada di bawah naungan jaringan yang berbeda seperti Blitzmegaplex. Sedangkan, di kota lain seperti Semarang hanya terdapat 3 bioskop saja, bahkan masih ada kota di Indonesia yang sama sekali belum memiliki bioskop seperti Singkawang, Palu, dan Mataram. Hal ini tentunya sungguh di sayangkan melihat besar nya peluang dan antusiasme para penduduk untuk menikmati hiburan film di bioskop.

Tidak hanya sampai pada persoalan sedikitnya jumlah dan tidak meratanya penyebaran bioskop di Indonesia, persoalan lain dalam perindustrian film Indonesia datang dari masih kurang memadainya perawatan bagi penyimpanan arsip – arsip film lokal lama. Kurang memadainya perawatan yang ada membuat banyak film – film lama yang rusak diakibatkan oleh jamur, bahkan banyak yang sudah begitu rusaknya sehingga tidak dapat diselamatkan lagi. Lantas apa yang menyebabkan sampai hal itu terjadi? 

Kepala Sinematek Indonesia, Adi Surya Abdi menuturkan bahwa “Untuk merawat film sebagaimana arsip film di luar negeri, kita membutuhkan peremajaan dari sumber daya manusia dan equipment. Nah, itu yang sampai hari ini tidak pernah bisa terwujud. Kenapa? Karena kepedulian pemerintah terhadap arsip film itu rendah.” Rendahnya perhatian dari pemerintah dari segi finansial inilah yang pada akhirnya menuntun ke banyaknya kerusakan arsip – arsip film yang ada.

Lebih lanjut Adi menambahkan dengan mencontohkan seperti apa proses dan keperluan yang di butuhkan guna merawat arsip – arsip film tersebut. Beliau menuturkan bahwa dalam merawat film – film tersebut di butuhkan alat dan cairan pembersih pita film positif dan negatif kemudian dengan dilanjutkan dengan di butuhkan nya mesin pemindai seluloid film untuk mengalihkan film ke media digital dan alat – alat komputerisasi lainnya. "Itu sudah menelan biaya miliaran. Kalau mau melangkah ke restorasi, lebih besar lagi biayanya. Kami perlu alat-alat itu. Pertanyaannya, siapa yang mau kasih? Pendonor ya paling CSR, tapi kan harus dikoordinasikan dengan pemerintah karena inikan perintah Undang-Undang," katanya.

Lanjut Adi, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, seharusnya pemerintah tetap hadir meski Sinematek Indonesia bukan milik negara sepenuhnya. Dalam Pasal 38 ayat 5 menyebutkan bahwa, "Pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat dukungan pemerintah dan/atau pemerintah daerah'. Kemudian, Pasal 51 berbunyi, "Pemerintah berkewajiban memberikan bantuan pembiayaan apresiasi film dan pengarsipan film". Maka jika merujuk dari undang – undang tersebut seharusnya pihak sinematek tidak perlu lagi meminta kepada pemerintah, tapi pemerintah sendiri lah yang dengan sadar memberi pendanaan untuk perawatan film – film tersebut.

Adi menambahkan bahwa ia merasa sebenarnya pemerintah pastilah sudah tau akan pentingnya perawatan akan arsip – arsip film, akan tetapi kepeduliannya lah yang masih kurang. Sungguh amat disayangkan karena apabila hal ini terus terjadi maka arsip – arsip film seluloid yang memilki rekaman – rekaman vital tentang sejarah budaya bangsa akan ikut lenyap dan tidak dapat disaksikan oleh para generasi muda, padahal rekaman – rekaman itu sangatlah penting baik sebagai dokumentasi ataupun sarana pembelajaran mengenai budaya bangsa dan pembelajaran penting bagi industri perfilman itu sendiri.

Selain oleh buruknya perawatan pengarsipan film, faktor lainnya yang menyebabkan para generasi muda kesulitan untuk menikmati film lokal lawas adalah jeleknya kualitas rekaman film yang di jual di pasaran. Jeleknya kualitas rekaman film lama yang beredar di pasaran disebakan oleh proses mastering yang tidak memadai dan penyimpanan perekaman yang kurang baik. Dulu, pemindahan film kedalam format CD yang harusnya dilakukan melalui proses restorasi yang panjang demi menjaga kualitas film hanya di lakukan dengan cara merekam gambar dan suara yang ditembakan dari proyektor ke dinding putih. Hal ini dilakukan semata – mata karena cara ini dianggap sebagai cara pemindahan yang paling cepat dan murah sehingga para pelakunya dapat mengantongi keuntungan yang jauh lebih besar ketimbang harus melalui proses panjang yang lebih memakan biaya. Tanpa mereka sadari, mereka telah merusak harta yang sangat berharga bagi kelangsungan industri perfilman itu sendiri kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun