Namaku Pelangi. Aku lahir di antara matahari dan hujan. Ibu dan ayahku sangat bahagia menyambut kelahiranku. Kata mereka, tangisku seperti lantunan melodi yang dinyanyikan seribu malaikat. Mereka berdoa, semoga hidupku selalu penuh warna-warni layaknya pelangi yang tampak indah menghiasi bumi.
***
Langit sore ini tampak kelabu. Tak ada cahaya matahari yang biasanya membias di langit sore ibukota. Hanya ada awan yang menumpuk berdesakan menutupi sang surya. Mendung. Sepertinya akan turun hujan. Kuseruput kopi yang sejak tadi kudiamkan dalam genggamanku. Dingin dan pahit. Sepertinya aku lupa memasukkan gula. Ada apa dengan hari ini? Aku terlalu banyak melamun.
Kulihat jam di dinding. Sudah pukul setengah enam sore rupanya. Jam kerja sudah selesai sejak pukul empat sore tadi. Tapi aku masih disini, melamun di meja kerja sembari menatap langit kelabu di luar jendela. Rasanya enggan pulang ke apartemenku. Apartemen kami maksudnya.
“Ris, lobelum pulang juga? Udah mau jam 6 lho!”, Reno mengangetkanku.
Seketika aku tersentak dari lamunanku dan kopi di gelas yang kugenggam tumpah sedikit. Aku hanya bisa menggerutu sembari membersihkan percikan kopi yang hampir membasahi dokumen-dokumen di meja kerjaku.
“Apaan sih lo, No! Bikin kaget orang aja! Ini juga gue udah siap-siap mau pulang”, sahutku.
“Siap-siap apanya? Daritadi juga gue liatin lo bengong-bengong terus liatin jendela. Emang si Bas nggak jemput? Lagi berantem ye?”, ujar Reno menggodaku.
“Ah, resek. Ini gue pulang sekarang”, aku membalas dengan ketus.
“Ooooh, pasti berantem lagi ya? Atau lo mau nemenin gue lembur hari ini makanya nggakpulang juga? Hahahaha”, Reno kembali menggodaku.
“Bodoamat. NO COMMENT”