Mohon tunggu...
Natan Cahyo Adi
Natan Cahyo Adi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Seminaris Seminari Mertoyudan Magelang

Seminaris yang diberikan pena untuk menulis banyak tulisan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Akankah Digitalisasi Pendidikan Membawa Efek dalam Pembentukan Generasi Strawberry?

27 September 2024   11:37 Diperbarui: 27 September 2024   11:44 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Transformasi dalam berbagai bidang kehidupan sudah kita rasakan di zaman 5.0 ini. Tentu transformasi ini bukan tanpa tujuan. Transformasi banyak digerakkan oleh para pemimpin dan juga elit bangsa untuk kemajuan negara dan kehidupan dunia modern ke depannya. Digitalisasi ini diharapkan bisa masuk ke segala aspek bidang kehidupan baik dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pendidikan juga menjadi hal yang fundamental untuk tersentuh dalam digitalisasi. Sebab proses digitalisasi juga lahir dari proses pendidikan dan pembelajaran baik secara langsung atau tidak langsung. Bagi kami (atau kita) sebagai generasi Z, digitalisasi tidak lagi asing bagi kita. Begitu lahir, perkembangan pesat teknologi sudah sangat massif, bahkan geraknya selama dua dekade terakhir ini menjadi sangat gencar. Berbagai teknologi sudah bisa kita nikmati sekarang. Tentu teknologi ini bertujuan untuk membawa manfaat bagi hidup kita sehari-hari terutama terkait alasan praktis, cepat, dan efisien.

Bagi mereka yang berada dalam taraf generasi yang lebih senior di atas kita, pasti juga harus menyesuaikan agar tidak ketinggalan arus dunia. Mungkin bagi mereka ini adalah hal baru. Namun apa salahnya juga untuk terus belajar demi perkembangan zaman ke depan? Toh juga digitalisasi ini menjadi tugas bersama. Kebanyakan juga, para pengembang pendidikan dan digitalisasi juga dipegang oleh generasi yang senior. Tentu mereka bisa juga dan hal ini juga perlu integrasi dengan semua kalangan generasi agar tidak menjadi ketimpangan dan menjadi hal yang saling menguntungkan. Seperti yang sudah dikatakan diatas, digitalisasi sudah masuk dan dikembangkan di berbagai bidang, salah satunya pendidikan. Digitalisasi dalam dunia pendidikan bisa kita lihat di depan mata. Bagi instansi pendidikan, sekarang digencarkan semua sekolah sudah harus memiliki media computer. Ini mudah bagi instansi pendidikan yang berada di perkotaan, namun masih menjadi PR bagi kawan-kawan kita yang ada di pedalaman. Digitalisasi pendidikan semakin dipercepat seiring adanya pandemic covid-19. Ketika pandemic covid-19, kita merasakan bahwa kita sama-sama belajar antara memproyeksikan teknologi dan pendidikan. Hingga pada akhirnya kita terbiasa dengan hal itu dan terus kita bawa sebagai bekal walaupun tidak ada pandemic lagi. Sekarang, pendidikan juga lebih banyak dijalankan secara hybrid. Artinya campur antara pendidikan tatap muka dan pendidikan jarak jauh. Hal ini juga bisa menjadi dukungan dalam percepatan digitalisasi pendidikan, entah dari pengajar, murid atau mahasiswa, dan bagi orang-orang yang bergerak di belakang layar.

Proses digitalisasi tentu membawa efek baik positif dan negatif. Ini juga yang perlu disikapi oleh semua elemen pendidikan baik murid dan mahasiswa, guru dan dosen, para guru besar, dan pemerhati serta peneliti pendidikan. Tentu efek ini sudah banyak kita rasakan pula dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja dampak positif seperti efektivitas pembelajaran jarak jauh, keleluasaan dalam pencarian sumber belajar terutama online, dan metode penilaian yang makin variatif sehingga pembelajaran tidak membosankan seperti contohnya penggunaan quizizz, kahoot, dan sebagainya.

Namun di sisi lain, dampak negatif juga sangat terasa ketika maraknya penggunaan media online sebagai media pembelajaran. Misalnya soal berkurangnya nilai integritas dalam setiap siswa, penurunan budaya literasi karena menuntun kita untuk langsung baca tanpa mengerti maknanya secara mendalam, dan juga membentuk pribadi yang ingin serba instan tanpa memperhatikan proses.

Hal lain pula, ketika pandemi dan maraknya digitalisasi ini, muncul istilah baru untuk menamai generasi atau kebanyakan orang muda yang memiliki kecenderungan negatif diatas. Generasi strawberry namanya. Apa maksudnya? Menurut Renald Kasali dalam bukunya, generasi strawberry merupakan generasi yang mempunyai banyak gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan sakit hati. Kita perlu berhati-hati. Akankah digitalisasi pendidikan yang membantu mengoptimalkan proses belajar mengajar dengan banyaknya sumber belajar, platform pemantik kreativitas, malah membuat kita memiliki sikap menjadi tidak tangguh, bangga akan kepuasan itu sehingga ketika kita terkena kritik dan tanganga, kita akan mudah jatuh.

Dari situlah saya mencoba mengulik lebih dalam, apakah digitalisasi yang kita harapkan akan membawa dampak negatif justru malah menciptakan monster bagi sikap generasi sekarang dan memperbanyak jumlah generasi strawberry. Di sini pula, saya menawarkan beberapa alternatif penanggulangan agar pembentukan generasi strawberry ini dapat kita cegah percepatannya. Justru yang kita ciptakan dalam digitalisasi ini adalah pribadi yang tangguh dan mampu bijaksana dalam penggunaan teknologi.

Pertama, mari kita bahas terlebih dahulu kecenderungan yang ditimbulkan dari digitalisasi pendidikan. Beberapa diantarnya sudah saya sebutkan dalam contoh di atas, dan mari kita perdalam lebih lagi. Pertama, digitalisasi membawa dampak kepada berkurangnya nilai integritas pada setiap siswa. Mengapa saya dapat mengatakan hal demikian? Sebab dengan pemindahan pola pembelajaran ke jaringan internet baik proses belajar dan mengajar, penilaian, dan juga segala proses lainnya, akan menciptakan celah besar bagi ketidakjujuran dapat masuk. Misalnya ketika penilaian dilakukan secara online di Google Form, dalam satu device dimungkinkan untuk membuka dua tab sekaligus. Tab pertama membuka soal, tab kedua membuka platform pencarian jawaban. Inilah yang diuji, sehingga esensi dari penilaian bukan untuk menguji melainkan hanya untuk mencari sebuah angka. Kejujuran juga akan terabaikan di sini.

Kedua, menurunnya budaya literasi juga bisa disebabkan karena dampak negatif dari digitalisasi. Bisa jadi, para siswa tidak betul-betul membaca sumber belajar yang begitu
banyak, tapi malah mencari sumber instan atau jawaban singkat yang langsung menjawab pertanyaan, bukan untuk mendalami. Menurunnya budaya literasi juga disebabkan karena banyaknya clickbait dalam kehidupan sehari-hari, entah di media sosial, dan di platform lainnya. Ya, kecenderungan menurunnya literasi disebabkan karena keinginan untuk langsung mendapatkan informasi secara instan. Hal ini pula yang mendorong keinginan untuk terus kepada hal-hal instan.
Hal-hal diatas adalah kecenderungan yang bisa membentuk atau juga memperparah fenomena terjadinya generasi strawberry. Sesuai dengan ciri yang ada di arti dari generas strawberry, justru digitalisasi apabila tidak disikapi dengan bijak, akan menjadi bumerang bagi kita. Padahal niat kita adalah menjadikan itu sebagai sarana dalam pendidikan agar relevan dengan zaman modern ini, bukan malah memperkeruh zaman ini. Hal-hal atau kecenderungan negatif di atas yang menjadi sorotan terbentuknya generasi strawberry. Lantas, mengapa bisa menimbulkan perspektif bahwa digitalisasi justru memperparah terbentuknya generasi strawberry? Tentu dengan disclaimer terlebih dahulu, hal itu bisaterjadi apabila dalam penggunaannya kita tidak bijak dan tidak memahami apa konsep sebenarnya dari proses dan belajar. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa kecenderungan ingin instan, akan membuat kita terlena dan termudahkan dan tidak menjadikan kita berkembang.

Justru hal yang lebih parah adalah pembentukan generasi yang jika dari luar tampak tangguh, kuat, dan menarik, namun ketika dihadapkan dengan tantangan, proses, dan kritikan atau tekanan akan mudah rapuh. Hal ini sangat dipengaruhi oleh mindset teknologi juga. Sebab, dari situ kita diajak untuk mau praktis saja, dengan proses yang cepat, dan langsung mendapatkan jawabannya. Hal ini membuat kita Dari hal-hal yang sudah disebutkan di atas, mari kita mencoba untuk mengubah dan membenarkan mindset tentang penggunaan teknologi terkhusus dalam digitalisasi pendidikan. Tentu hal ini tidak hanya di bidang pendidikan saja. Hal-hal berikut juga bisa menjadi acuan dan dasar dalam kita bertindak dan berjalan bersama teknologi di kehidupan sehari-hari. Agar nantinya, teknologi yang sebagai saran aini betul-betul menjadi sarana, bukan menjadi tuan atas diri kita bahkan yang menciptakan karakter generasi strawberry yang ada pada diri kita.

Pertama, mari kita menguatkan terlebih dahulu pendasaran soal moral kehidupan. Hal ini penting untuk penyadaran bahwa kita adalah sungguh benar-benar manusia seutuhnya. Apabila kita sudah menyadari moral seutuhnya sebagai manusia, kita akan paham bagaimana kita akan betindak dan menyikapi bagaimana teknologi menjadi sarana bagi hidup kita, dalam pendidikan, dalam peningkatan efektivitas dalam berbagai bidang. Pendidikan moral ini juga menjadi tugas bagi semua tenaga pengajar dan terutama seluruh keluarga. Setiap anak atau setiap siswa menjadi tanggung jawab keluarga dan sekolah dalam pendidikan moralnya. Hal ini terkait dengan kebijaksanaan dalam menggunakan teknologi dalam pendidikan, ada rasa untuk mau berproses dan menghargai proses itu, juga soal orisinalitas karya. Karena dari digitalisasi ini pula, rawan bagi kita untuk dapat menyalin jawaban-jawaban dari internet atau sumber-sumber yang lain sehingga dapat dikatakan sebagai aksi pencurian karya orang lain atau yang kerap disebut sebagai plagiasi. Kedua, pihak sekolah atau pemerhati pendidikan juga perlu mengontrol gerak dan proses digitalisasi dalam dunia pendidikan. Dengan adanya kemudahan dan kepraktisan, artinya kita juga harus memperketat pengamanan agar tidak ada celah untuk siswa dapat membobol cara-cara curang. Misalnya dalam penggunaan platform Google Form atau quizizz, para siswa mungkin dapat mencari celah untuk mendapatkan kunci jawaban secara ilegal dari laman lain tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Sebagai solusi lain pula, misalnya sekolah atau instansi pendidikan menciptakan sebuah laman khusus yang aman untuk melakukan gerak pembelajaran secara daring. Penggunaan e-  , learning management system, dan lainnya juga bisa menjadi alternatif dari pengamanan ini.

Solusi yang ketiga, mari kita sebagai pribadi membentuk diri kita sebagai pribadi yang
tangguh agar sikap sebagai generasi strawberry ini tidak lekat atau tidak ada dalam diri kita.
Teknologi dan digitalisasi memang membawa dampak yang amat besar. Tetapi sikap kita pun
juga perlu mengerti untuk menghadapi dampak yang besar itu. Hal ini menjadi tugas bagi
semua elemen kehidupan untuk menciptakan generasi selanjutnya menjadi generasi yang
tangguh. Agar nantinya, antara kreativitas yang tanpa batas juga diimbangi dengan
ketangguhan dalam proses belajar, dalam kehidupan di dalam jaringan, dan dalam berkarya di
dalamnya.
Tentu untuk membangun sikap diatas, kita perlu bertanggung jawab dalam penggunaan
digitalisasi ini. Hal itu yang menjadi kunci dan pengatur gerak kita untuk bijak dalam
penggunaan teknologi belajar. Parameternya apabila kita sudah bias bijak dan bertanggung
jawab dengan baik dalam digitalisasi pendidikan adalah penggunaan mesin pencarian hanya
untuk mencari, bukan menjadi satu-satunya sumber jawaban. Kedua, apabila kita sudah bisa
untuk melihat proses demi proses dan tekun dalam proses itu. Tidak lantas menjadikan kita
pribadi yang ingin terus instan dan ingin cepat. Selanjutnya, mari kita gunakan AI sebagai
platform untuk memantik ekspresi, kreativitas, dan ide saja, bukan semata-mata menjadi
sumber utama kita dalam berkarya dan jawaban kita.
Pada akhirnya, digitalisasi membawa dampak positif yang tentu amat membantu bagi
kita dalam segala bidang kehidupan. Termasuk dalam pendidikan, hal ini perlu digencarkan
dan menjadi kesetaraan antara proses belajar mengajar dengan zaman yang ada. Tentu dari
situ, digitalisasi juga tidak terlepas dari dampak positif dan negatif. Dampak positif inilah
yang akan kita kembangkan dan jadikan batu loncatan dalam proses kita berikutnya. Dampak
negatif inilah yang perlu kita waspadai agar tidak membentuk kita menjadi pribadi seperti
strawberry. Mari menjadi pribadi yang memiliki kreativitas tinggi, unik, penuh inovasi juga
selaras dengan modernisasi dan menjadi pribadi yang tangguh pula di dalamnya. Agar kita
nantinya sungguh menemukan keotentisitasan dalam diri kita dalam belajar, proses, dan
karya, terutama dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kehidupan dalam jaringan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun