Menggali Makna Toleransi di Pesantren Al-Furqon
“Tidak ada perdamaian tanpa toleransi, dan tidak ada toleransi tanpa dialog.” Kutipan dari Paus Yohanes Paulus II ini menyiratkan pentingnya keterbukaan hati untuk saling memahami dalam keberagaman. Pesan tersebut terasa nyata selama kunjungan ekskursi kami ke Pesantren Al-Furqon, sebuah perjalanan yang membuka mata kami tentang makna toleransi dan hidup bersama.
Pesantren Al-Furqon, yang terletak di tengah lingkungan asri, bukan hanya sekadar lembaga pendidikan agama Islam, tetapi juga tempat lahirnya nilai-nilai humanisme dan kebersamaan. Memasuki kompleks pesantren, kami disambut dengan keramahan yang tulus. Sapaan hangat para santri dan pengurus pesantren mencairkan kekakuan awal dan memberikan kesan mendalam.
Sebagai seorang pelajar Kanisian, saya sempat bertanya-tanya bagaimana dua tradisi yang tampaknya berbeda—Kanisius yang berakar pada nilai Katolik dan Pesantren Al-Furqon yang Islami—dapat menemukan titik temu. Namun, sejak percakapan pertama dengan para santri, semua kekhawatiran itu sirna. Mereka berbicara dengan semangat, memperkenalkan keseharian mereka dengan kebanggaan sederhana.
Menemukan Kebersamaan dalam Perbedaan
Saat kami mengikuti salah satu sesi diskusi bersama para santri, salah satu santri berkata, “Kami belajar untuk hidup sederhana dan berbagi dengan sesama.” Kalimat ini menggambarkan inti kehidupan pesantren: disiplin, ketulusan, dan rasa hormat terhadap sesama. Diskusi itu menjadi salah satu momen yang memantik refleksi mendalam bagi kami.
Kami juga diajak melihat bagaimana para santri menjalani rutinitas mereka, mulai dari salat berjamaah hingga belajar kitab. Kesederhanaan terlihat dalam setiap sudut pesantren, dari tempat tidur santri yang bersahaja hingga dapur kolektif tempat mereka memasak bersama. Namun, dari kesederhanaan ini muncul rasa syukur yang mendalam, yang tercermin dalam cara mereka berbicara dan bertindak.
Narasi Harmoni dalam Keberagaman
Malam itu, saat kami berkumpul di aula pesantren untuk sesi refleksi, salah satu pengurus pesantren berbagi pengalaman hidupnya. Ia bercerita tentang bagaimana pesantren ini membuka pintunya bagi siapa saja, tanpa memandang latar belakang agama atau suku. “Kami percaya bahwa agama mengajarkan cinta dan perdamaian, bukan kebencian,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
Mendengar cerita itu, saya merasa betapa pentingnya peran institusi seperti Pesantren Al-Furqon dalam membangun jembatan antaragama. Tidak hanya sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai ruang dialog yang mendorong pemahaman.
Refleksi Pribadi