[caption id="attachment_303772" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]
Satu pesan yang selalu saya ingat “senantiasalah berlaku baik dan peduli, karena setiap kebaikan dan kepedulian akan berdampak pada kita sendiri. Sebagaimana setiap perilaku yang tidak baik dan ketidakpedulian juga pasti berdampak pada kehidupan pribadi kita”. Pesan ini disampaikan secara langsung oleh Bapak Artidjo Alkostar pada saat saya kuliah di Magister Hukum Universitas Islam Indonesia Jogjakarta tahun 2004. Saya yakin beliau tidak mengingat saya, disebabkan ribuan mahasiswa yang telah beliau didik.
Nama Artidjo Alkostar pun sekarang menguak dan menjadi perhatian di media massa, bahkan media infotainment ikut mewawancarai beliau hanya karena Putusan Mahkamah Agung untuk terpidana Angelina Sondakh yang menjatuhkan Pidana jauh lebih tinggi dibandingkan kedua putusan peradilan di bawahnya. Angelina Sondakh yang notabene dikenal sebagai Putri Indonesia, artis, dianggap cerdas dan politisi Partai Demokrat dengan kasus hukum yang menghebohkan menjadi magnet sendiri bagi media untuk mengulasnya.
Vonis 12 tahun penjara, hukuman denda sebesar 500 juta rupiah dan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp12,58 milyar dan 2,35 juta dollar Amerika Serikat subsider 5 tahun penjara bagi Angelina Sondakh (yang akrab dipanggil Angie) membuat publik terhenyak. Pro kontra atas putusan tersebut pun bermunculan. Bagi penggiat anti korupsi pastinya menyambut dengan sukacita putusan tersebut, mengingat putusan pengadilan atas perbuatan korupsi di Negara ini banyak yang melukai hati masyarakat. Tetapi bagi pendukung Anggie, putusan ini hanya dianggap sebagai aksi mencari popularitas bagi hakim yang menangani kasus nya dan upaya mendulang tepuk tangan bagi MA.
Saya tidak mengenal hakim lainnya pada kasus Angie (bukan untuk mengecilkan peran hakim lainnya), akan tetapi saya menyorot bagaimana dalam kasus ini peran Bapak Artidjo layak untuk diapresiasi dikarenakan inilah momen untuk melihat bagaimana beliau selama ini bekerja sebagai hakim yang jujur dan adil. Seminggu yang lalu saya membaca Koran Kompas (lupa tanggalnya) yang membahas putusan-putusan atas kejahatan Narkoba yang sampai ke tangan Bapak Artidjo, kemudian kita bisa mengingat Kasus Pollycarpus (Kematian Munir), Kasus Joko Tjandra, Kasus Zen Umar dan Kasus Tommy Hindratno dan lain sebagainya.
Bapak Artidjo yang dikenal adalah sosok yang mengutamakan rasa keadilan dalam putusan-putusannya. Dia bukanlah manusia yang haus akan jabatan, popularitas, kekayaan atau keinginan tepuk tangan publik akan kinerja Mahkamah Agung. Yang beliau pedulikan hanyalah hukum yang berkeadilan dan beradab, karena dia pada akarnya sangatkonsisten pada nilai-nilai hak asasi manusia. Sebagai pribadi yang sangat sederhana, sehingga darinya kita tidak pernah mendengar tuntutan akan fasilitas dan gaji yang besar sebagai hakim agung dan beliau tidak juga menuntut bagi hakim yang lain untuk mengikuti langgam hidupnya.
Dan bangsa ini, membutuhkan lebih banyak lagi sosok-sosok seperti beliau, untuk membuat bangsa ini menjadi jauh lebih baik menjadi bangsa berprikemanusiaan yang adil dan beradab. Bagi kita… meniru kesederhanaan beliau, konsistensi pada nilai-nilai kejujuran dan keadilan, komitmen yang tinggi pada profesi adalah sesuatu yang wajib untuk dilakukan sesuai dengan peran dan posisi kita masing-masing di masyarakat.
Bagaimana pentingnya prinsip keadilan dalam suatu putusan hukum bagi beliau, saya sangat yakin dengan yang diungkapkan dalam bukunya Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradaban, “keadilan dalam pengadilan adalah suatu proses sosial untuk mendidik rakyat untuk menghargai diri mereka sendiri, rekan warga lainnya dan komunitas manusia secara keseluruhan”.
Sabtu, 23 November 2013
Iin Parlina, Pelajar Kehidupan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H