Mohon tunggu...
Iin Parlina
Iin Parlina Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pelajar Kehidupan...\r\nBerdoa sepenuh hati dan Bekerja sepenuh jiwa.\r\nBiarkan semesta bekerja dan Lihatlah bagaimana Tuhan menjelma dengan Indah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tidak Ada Kriminalisasi Dokter

27 November 2013   11:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:37 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak Ada Kriminalisasi Dokter

Dokter tidak dapat dipersalahkan apakah pasiennya mati atau tidak sembuh, dokter hanya bertanggung jawab pada standar operasional prosedur medis dan hukum yang berlaku”.

Hari ini tepatnya tanggal 27 November 2013 dikampanyekan sebagai satu hari tanpa “dokter” (tidak semua dokter mogok kerja) yang digulirkan sebagai bentuk aksi solidaritas dokter. Aksi solidaritas diwujudkan dengan tidak berkerja/berpraktik, demo di beberapa tempat, memakai pita hitam tanda berduka. Solidaritas yang lahir sebagai reaksi atas putusan Mahkamah Agung yang menyatakan dr. Ayu Cs bersalah dan harus menjalani hukuman 10 bulan penjara.

Setiap Vonis hakim akan sebuah kasus hukum pastinya selalu akan memunculkan perdebatan filosofis, sosiologis dan yuridis. Dan yang paling berperan penting dalam memainkan dan membentuk pemikiran masyarakat dalam memberikan penilaian atas kasus adalah media massa. Peran media yang seringkali tidak objektif dan tidak akurat seringkali menjadikan kasus menjadi pemberitaan yang simpangsiur penuh ketidakjelasan dan cenderung mengarahkan masyarakat untuk menghakimi pihak-pihak tertentu tanpa alasan yang kuat.

Kasus dr. Ayu cs pada saat ini menjadikan isu malpraktik menguat kembali dan terkesan kasus ini seakan-akan sebagai symbol dari kriminalisasi dokter dan seakan-akan vonis hakim MA atas kasus ini pasti dijadikan yurisprudensi. Seharusnya masalah ini dipandang secara kasuistik dan dilihat secara komprehensif bagaimana fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi. Sejak pro kontra kasus ini mulai bergulir saya menanti dan sangat berharap salah satu stasiun televisi menghadirkan dr. Ayu, Hakim yang mengadili, Saksi Ahli, Wakil Korban, Wakil dari Perlindungan Konsumen Kesehatan dan Wakil dari Kementerian Kesehatan untuk memaparkan secara lengkap dan pandangan mereka atas kasus ini. Sehingga khalayak ramai mampu menilai dengan lebih baik. Mari dipahami dengan benar defenisi malpraktik.

Karena Kasus dr. Ayu cs harusnya menjadikan dokter dan masyarakat selaku pasien untuk intropeksi diri. Bayangkan oleh masyarakat apa yang harus mereka lakukan jika tidak ada dokter. Dokter tidak akan pernah bisa ditandingi oleh Google kemampuannya untuk mengobati. Adalah omongkosong jika anda sakit gigi dan akan sembuh secara kausatif tanpa ke dokter gigi. Adalah bualan jika anda sakit jantung akan sembuh cukup berobat dengan informasi mesin pencari yahoo. Kita masyarakat membutuhkan dokter yang handal, professional dan tidak materialistic untuk mengobati penyakit kita dengan benar. Sementara jika anda dokter, apalah arti seorang dokter tanpa pasien. jika seorang dokter berkerja dengan tulus untuk pasiennya, maka seorang dokter bahkan tidak memerlukan seorang pengacara untuk membelanya. Karena pasiennya lah yang pertama kali akan membelanya.

Saya menemukan banyak kasus yang pasiennya begitu menghargai dokternya. Bahkan saya secara nyata menyaksikan bagaimana seorang dokter diberikan sejumlah uang yang cukup besar secara pribadi dikarenakan telah berhasil mengoperasi pasiennya. Saya bahkan menyaksikan seorang dokter gigi yang diantarkan beberapa kali makanan (mungkin terlihat sepele karena hanya makanan) sebagai ucapan terima kasih karena telah memperlakukan pasiennya secara berkualitas.

Sebagaimana saya juga menemukan ada dokter-dokter yang hanya mendapat gelar dokter karena berasal dari keluarga kaya sehingga kompetensinya diragukan (terbukti tidak memiliki STR tapi anehnya bisa praktek) dan dokter yang terbelit kerjasama dengan perusahaan farmasi sehingga keobjektifannya dalam pemberian obat diragukan. Kasus malpraktik adalah nyata dan tidak bisa pungkiri kenyataannya.

Kita juga menyaksikan bagaimana pasien-pasien yang tidak tahu diri, contohnya berobat ke dokter hanya karena capek habis berwisata ke puncak dan marah-marah hanya karena sekali minum obat masih merasa capek. Atau marah ke dokter hanya karena pemeriksaan yang tidak lengkap padahal karena fasilitas rumah sakitnya yang tidak memadai.

Dan yang paling penting ini adalah sebuah peringatan bagi pemerintah, khususnya yang menangani bidang kesehatan. Pemerintah yang paling bertanggung jawab atas rendahnya kualitas pelayanan kesehatan public sehingga menyulitkan dokter bekerja dengan professional dan membuat pasien tidak mendapatkan pelayanan yang layak. Masyarakat tidak hanya membutuhkan pelayanan kesehatan yang gratis tapi juga membutuhkan pelayanan yang berkualitas. Tanggung jawab atas pengawasan sekolah-sekolah kedokteran yang sesuai dengan standar dan mutunya. Dukungan untuk tenaga medis dalam bentuk payung hukum yang jelas dan tentunya tidak melupakan hak para dokter dan paramedis untuk mendapatkan kehidupan yang mensejahterakan.

Semoga peristiwa ini menjadikan dokter-dokter dan masyarakat saling menghargai dan saling memperlakukan dengan penuh rasa hormat. Dan pemerintah sadar akan kewajibannya untuk mendukung dokter mampu bekerja semakin tulus dan professional.

Rabu, 27 November 2013

Iin Parlina, Pelajar Kehidupan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun