Dalam proses peradilan di Indonesia tentu tidak terlepas dari pembuktian saat di persidangan untuk membantu hakim dalam mencari kebenaran.Â
Indonesia yang menganut sistem civil law menggunakan sistem pembuktian undang-undang secara negatif yang berarti hakim dalam mengambil Keputusan didasarkan pada undang-undang secara positif dan atas dasar keyakinan hakim berdasarkan alasan yang logis (conviction raisonee).
Untuk membantu hakim dalam mengambil Keputusan maka diperlukan alat bukti.Â
Salah satu alat bukti sebagaimana termaktub di dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah keterangan saksi.Â
Pasal 1 ayat (27) KUHAP yang isinya "keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri".
Kata yang digarisbawahi ialah frasa yang ditambahkan setelah putusan MK No.65/PUU-VIII/2010, ini berkaitan dengan bunyi pasal 185 ayat (4) KUHAP yang pada intinya menyatakan bahwa saksi bukan hanya saksi fakta yang berada/di dekat lokasi saat kejadian, melainkan juga saksi yang mengungkapkan fakta-fakta lain(walaupun tidak berada/di dekat lokasi saat kejadian) yang ada hubungannya dengan kejadian tersebut.
Dalam hukum acara pidana dikenal adanya adagium yang populer yaitu "unus testis nullus testis".Â
Adagium ini memiliki arti bahwa satu saksi saja tidak dapat dikatakan sebagai saksi.
Tentunya ini akan berdampak pada kekuatan pembuktian saat di persidangan.Â
Seperti yang termaktub di dalam pasal 185 KUHAP ayat (2) yang berbunyi "Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya".
Pertanyaan lanjutannya ialah bagaimana jika saksi yang dihadirkan merupakan saksi yang benar-benar merupakan saksi fakta yang berada/di dekat lokasi kejadian?Â