Mohon tunggu...
Natalia Ratna
Natalia Ratna Mohon Tunggu... -

a blessed girl

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik terkait Pornografi pada Berita Media Online

6 Mei 2015   21:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:18 10747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Kemajuan teknologi menjadikan informasi tersebar lebih cepat. Media cetak seperti koran, majalah, surat kabar dan sejenisnya mulai tergeser dengan kehadiran media elektronik seperti radio dan televisi. Terlebih telah hadir teknologi internet di mana kita dapat menjelajahi berita dengan kedalamannya tanpa terikat batasan waktu maupun ruang. Atas nama kecepatan, kini banyak berita di media online yang hanya asal unggah dalam menyampaikan informasi. Standar akurasi, keberimbangan berita, dan pengabaian etika jurnalistik menjadi hal yang tak diperhatikan. Media saat ini cenderung membuka informasi kepada masyarakat seluas-luasnya, dalam bentuk yang sebebas-bebasnya. Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi dalam artikel pada portal republika.co.id menyampaikan bahwa kini banyak insan pers yang tidak mengerti kode etik apalagi memahami UU tentang pers terbukti sebagian besar pengaduan masyarakat kepada Dewan Pers berkaitan dengan pelanggaran kode etik.Banyak kalangan yang menilai bahwa kebebasan pers saat ini sedang “kebablasan” setelah jatuhnya masa orde baru. Ratusan media massa baik cetak maupun online bermunculan dimana-mana, dari tingkat lokal hingga nasional.

Di era teknologi yang serba maju ini tetap dibutuhkan wartawan yang paham dan taat kode etik, di mana ini menjadi sesuatu yang seharusnya menjadi simbol kebanggaan profesinya. Hanya saja, seperti yang telah dikatakan oleh anggota Dewan pers di atas, tidak banyak wartawan yang memahami kode etiknya. Jangankan memahami kode etik, masih banyak wartawan yang belum pernah membaca kode etik. Menjadi wajar apabila wartawan wajib mematuhi kode etik jurnalistik karena kode etik jurnalistik diandaikan sebagai pagar moral dan bentuk tanggung jawab etis wartawan serta integritas profesi wartawan. Kode etik jurnalistik bersifat personal dan otonom, disusun melalui ketentuan-ketentuan tertulis oleh, dari, dan untuk wartawan yang tergabung dalam suatu organisasi kewartawanan, untuk kemudian berikrar melaksanakannya (Wibowo, 2009:71).Pada hakikatnya kebebasan pers adalah kebebasan bersuara bagi masyarakat. Sehingga, upaya mendirikan media pers adalah hak bagi setiap warga negara. Namun, ada tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan pada masyarakat, setidaknya bertanggung jawab kepada pembaca, pendengar, dan penonton media masing-masing.

Dalam penyajian sebuah berita, wartawan menggunakan istilah, kata atau rangkaian kalimat yang terkadang membuat pembaca sulit untuk memahaminya. Tidak  jarang pula pemilihan kata atau diksi yang kurang tepat serta penggunaan istilah dan kata yang berlebihan bahkan terkesan vulgar dalam sajian beritanya, sehingga dapat menimbulkan persepsi atau pemaknaan yang berbeda terhadap informasi yang disampaikan bagi pembaca. Berbicara mengenai kode etik jurnalistik, tentu tidak lepas dari pasal-pasal yang yang berkaitan dengan gender, orientasi seksual, pencabulan maupun pornografi di dalamnya. Gender dalam hal ini perempuan tak jarang mendapat sorotan negatif dari wartawan melalui pemberitaannya di media online. Di sini wartawan berperan cukup penting, mengingat media yang seharusnya menjadi agen sosialisasi perlindungan perempuan malah menyebabkan adanya “cap” buruk bagi perempuan. Seperti dapat dilihat dalam web http://ruangkabar.com/berita-unik-hisap-payudara-menjadi-modus-baru-kejahatan/, berita tersebut merupakan satu dari banyak berita yang biasanya mengumbar berita tentang perempuan yang hanya lelucon murahan, ratu kecantikan, atau bagaimana perempuan diperkosa dan dengan segala penderitaannya. Jarang media massa yang memberitakan tentang keberhasilan perempuan.

Dapat dilihat dari judul beritanya, “Berita Unik – Hisap Payudara, Menjadi Modus Baru Kejahatan”. Dari judulnya saja sudah terlihat bahwa media seolah merendahkan perempuan dengan mengekspose bagian vital perempuan yang seharusnya dilindungi, malah diumbar secara terang-terangan bahkan dimanfaatkan sebagai modus kejahatan. Di kalimat terakhir pada paragraf pertama juga ditulis, “Munculnya dari modus ini di lakukan oleh salah satu cewek yang seksi sekaligus cantik, di mana dirinya sudah berpura-pura untuk menyodorkan payudara seksinya untuk bisa di hisap sang korbannya”. Mengacu pada Kode Etik Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen, jelas di situ wartawan telah melanggar kode etik jurnalistik pasal 16 yang berbunyi, “Jurnalis menolak kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, orang berkebutuhan khusus atau latar belakang sosial lainnya. Pada pemberitaan di media online tersebut, wartawan mengabaikan pasal yang menolak sikap perendahan terhadap gender, namun sebaliknya justru penulis tersebut berperan membangun persepsi tentang perempuan seksi yang rela memberikan payudaranya. Hal ini menimbulkan kecenderungan banyak portal online melalui penulisnya mengabaikan sikap profesional terutama dalam penulisan atau penerbitan berita. Pasalnya, isi dalam berita ini melanggar kode etik jurnalisme di mana berita-berita tersebut tidak memenuhi unsur keberimbangan berita. Dalam kode etik jurnalisme dijelaskan bahwa penulisan berita tidak diperbolehkan menyudutkan satu pihak dan subyektif, melainkan harus bersifat netral.

Selain melanggar pasal 16, penulis berita sekaligus media ini juga melanggar pasal 21 yang berbunyi, “Jurnalis tidak menyajikan berita atau karya jurnalistik dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan psikologis serta kejahatan seksual”. Pada berita tersebut diperlihatkan gambar bagian belahan payudara wanita yang hanya tertutup sebagian. Secara etika hal tersebut tidak layak menjadi konsumsi publik karna semata-mata dapat menimbulkan nafsu birahi. Cara media ini menampilkan gambar atau foto dibuat agar pembaca tertarik mengakses, tanpa menghiraukan norma-norma dan kode etik jurnalistik yang berlaku. Media ini tidak lagi menghiraukan efek yang timbul dari pembacanya dan melupakan kode etik jurnalistik dan undang-undang pornografi yang menjadi pondasi maupun aturan yang telah ada. Selain itu fungsi media bukan lagi sebagai media penyampai informasi kepada publik, melainkan penyebar budaya pornografi kepada publik. Kebebasan pers disinyalir membuat semakin menjamurnya media-media yang dengan sengaja mengekploitasi seks untuk kepentingan komersial. Mereka menulis berita yang bersifat spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik.Hendaknya, setiap pemberitaan kasus kekerasan seksual senantiasa mengacu pada kode etik jurnalistik, bahwa jurnalis tidak menyebutkan hal-hal yang mengundang nafsu birahi.

Lebih lanjut menurut Pamungkas dalam Ashadi (2010:314), media massa, dianggap sebagai salah satu lembaga yang melanggengkan nilai-nilai bias gender, nilai-nilai patriarkal, serta ideologi yang timpang dan diskriminatif terhadap perempuan. Eksploitasi atas tubuh atau bahkan derita perempuan masih dengan mudah kita lihat di media massa cetak dan elektronik. Selama ini banyak media yang mengeksploitasi perempuan sebagai objek seks yang pada akhirnya melahirkan masyarakat yang sarat dengan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini disebabkan antara lain oleh gambaran media tentang perempuan yang selalu terfokus pada aspek fisik dan biologis serta mengabaikan aspek kemanusiaan perempuan. Media cenderung melihat perempuan hanya sebagai makhluk seksual ketimbang mengangkatnya sebagai makhluk manusia yang utuh seperti laki-laki. Artinya media ikut andil dalam melanggengkan konsepsi yang merendahkan perempuan dan kekerasan terhadap perempuan Terlihat pada berita tersebut bahwa wartawan tidak mengindahkan kode etik jurnalistik yang telah diatur dengan jelas. Padahal sebenarnya media juga dapat dijadikan sarana yang efektif untuk mensosialisasikan cara pandang positif terhadap perempuan. Media perlu menggunakan bahasa yang netral, tidak sensasional atau mendramatisir masalah, serta berhati-hati dalam menuliskan detil kasus agar tidak terjerumus dalam pemberitaan yang menyalahkan salah satu gender.

Ashadi Siregar (2006:224) dalam bukunya Etika Komunikasi mengatakan, “Ideologi paling ideal dalam jurnalisme adalah kesadaran eksistensial untuk melayani khalayaknya”. Berkaca pada pernyataan tersebut, seharusnya seluruh wartawan Indonesia menyadari bahwa tindakan tersebut turut mencoreng pihak Pers di Indonesia. Bisa jadi di kemudian hari moral masyarakat menjadi semakin tidak karuan apabila kasus penulisan berita di media online tidak segera diperbaiki. Terlebih, kendali atas informasi kini tak lagi sepenuhnya berada di tangan wartawan dan pemilik media, tapi sedang beralih ke tangan pemirsa dan konsumen. Prinsip hati-hati, empati, dan sikap bijaksana sangat dituntut dalam setiap pemberitaan seputar pornografi seperti kasus berita online di atas. Semua itu perlu dilakukan agar pers dapat berkontribusi melindungi perempuan dan sekaligus tidak kehilangan peran mendorong penegakan hukum serta bersama-sama dengan seluruh elemen masyarakat mencegah terjadinya kasus pornografi dengan modus kriminal lainnya. Sudah seharusnya jrnalis dan perusahaan penerbitan pers Indonesia menaati peraturan main dalam menghasilkan dan menerbitkan karya jurnalistik sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di Indonesia. Demikian juga dengan publikasi informasi yang berkaitan degan masalah kesusilaan.

Fenomena jurnalisme online membuat para pengkaji jurnalisme dihadapkan pada kecenderungan berita online identik dengan berita asal cepat, tak akurat, bahkan terkadang menjurus ke sesuatu yang porno. Dan karena itu, tak seperti berita di media cetak dan televisi, berita online cenderung dianggap tak punya pengaruh signifikan terhadap pengambilan kebijakan. Berita online juga seperti boleh dibuat tanpa mengindahkan prinsip-prinsip dan kode etik jurnalistik. Rumor bisa langsung naik jadi berita, meski belum dicek kebenarannya. Korban di bawah umur tak mengapa disebut terang-terang namanya, bahkan dimuat fotonya. Gambar kekerasan yang berdarah-darah dan begitu grafik dapat langsung diunggah tanpa diedit atau disensor terlebih dahulu. Semua seakan di-sah-kan. asalkan menarik, membuat banyak orang meng-klik, trafik pengunjung menjadi tinggi dan berujung pada banyak pengiklan yang tertarik. Wartawan dan redaksi umumnya berdalih, pilihan kata atau ungkapan-ungkapan konotatif yang dilakukan memiliki alasan untuk menghindari kebosanan publik ketika membaca berita tersebut. Ada juga yang berpendapat untuk memperkaya gaya penulisan berita mereka. Argumen lain adalah agar pembaca tersedot perhatiannya. Pilihan kata yang konotatif tersebut justru akan melahirkan pemahaman yang berbeda dari publik. Khususnya terhadap tindak kejahatan terkait pornografi itu sendiri. Walaupun rambu-rambu bagaimana menjalankan peran dan fungsi pers sudah diatur, namun jika kita lihat saat ini kondisi media di Indonesia belum mampu membuat produk pers yang benar-benar dibutuhkan publik, sebagian media mengotori citra kemerdekaan pers dengan melanggar kode etik jurnalistik, sebagiannya lagi merusak kepercayaan publik terhadap pers.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun