Mohon tunggu...
Natalia Ratna
Natalia Ratna Mohon Tunggu... -

a blessed girl

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Harta di Pinggiran Jogja

16 April 2015   21:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:01 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jogja tidak hanya menyimpan hingar bingar keunikan kuliner atau tempat wisata di pusat kotanya, tapi juga memelihara kesahajaan penduduk pinggiran yang memelihara banyak budaya daerahnya. Di salah satu daerah pinggiran Jogja inilah aku banyak beraktivitas. Dusun Tanen terletak di sekitar kaki Gunung Merapi tepatnya di Jl. Kaliurang km. 21 Hargobinangun, Pakem. Di dusun inilah keluarga besarku tumbuh besar, begitu pun aku semasa kecil sering menghabiskan masa liburan sekolahku di sini. Kini, aku menjadi bagian dari desa ini. Ya, semenjak aku memutuskan untuk melanjutkan studi di Jogja, aku diharuskan tinggal di rumah almarhum Simbah yang memang jarak tempat tinggalnya sangat jauh dari peradaban dan gemerlap kota Jogja.

Aku berasal dari sebuah kota di Jawa Tengah dengan penduduk padat serta tingkat aktivitas yang cukup tinggi. Perpindahan dari kota ke wilayah pedesaan sempat membuatku kaget, pasalnya semasa di Semarang dulu aku bisa santai pulang maupun pergi pukul 10 malam; namun kini ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 8 malam aku sudah mulai panik mencari barengan, teman untuk beriringan pulang. Terang saja demikian, setelah maghrib praktis nyaris tak ada aktivitas apapun di desa, yang terdengar hanyalah suara kodok dan jangkrik. Jalanan gelap yang dikelilingi sawah dan pepohonan rindang membuatku merinding ketika melewatinya di malam hari. Belum lagi setiap hari aku harus berperang melawan hawa dingin yang menyelimuti kaliurang, karna terkadang hawa dingin itulah yang membuatku merasa malas beranjak dari kasur.

Namun semua rasa takut, malas, gelisah yang ada di benakku perlahan mulai pudar. Aku dihadapkan pada realita tentang orang-orang yang ada di sekitar desa ini, terlebih pada sosok-sosok pribadi yang sudah ada dan berjuang jauh sebelum aku lahir: simbah-simbah. Sudah sekian lama simbah-simbah ini memelihara keramahan Jogja dalam kesahajaan mereka. Kesederhanaan mereka, tanpa disadari, menyapa para pendatang dengan cara yang berbeda dan membuat orang terlayani oleh keramahan. Keramahtamahan, keteguhan dan perjuangan mereka seolah mengajakku untuk menilik diri bahwa pergulatanku selama ini tak sebanding dengan apa yang harus dilalui para simbah yang setiap hari melewati jalan depan rumahku.

Simbah-simbah ini berjalan kaki ke sawah yang cukup jauh jaraknya, belum lagi jalannya harus menanjak. Hanya berbekal caping dan serantang bekal, mereka terus berjalan bahkan tanpa alas kaki. Sesekali mereka menyapa orang-orang yang melewatinya dengan senyuman. Ketika matahari mulai turun dari puncaknya, mereka pulang membawa suket (rumput) untuk diberikan kepada ternaknya. Tak jarang pula beberapa ikat kayu kering yang berat juga dibawanya untuk memasak. Belum lagi ketika tiba masa panen dan mereka mencurahkan tenaga untuk menuai kerja keras mereka lalu memanggulnya turun dari sawah menuju tempat tinggalnya. Sekalipun mungkin sangat sederhana dan nyaris tak tampak, mereka ikut memutar roda perekonomian dan kehidupan Jogja.

Ada baiknya kita yang katanya mengaku muda, yang memang punya tenaga lebih dan difasilitasi oleh hal-hal yang serba modern berkaca pada simbah-simbah ini. Mengeluh dan menggerutu setidaknya bukan solusi ketika orang seperti simbah-simbah ini terus berjuang.Di pinggiran Jogja ini, aku menilik diri dan mengingat kembali bahwa ada banyak hal yang dapat aku syukuri setiap harinya. Aku diingatkan untuk bersyukur, dan karenanya aku memperoleh daya untuk belajar berjuang seperti simbah-simbah itu.

Bagiku, Jogja tak harus melulu dengan gemerlap kotanya ataupun kebudayaannya. Jogja juga tentang bagaimana seseorang memperjuangkan hidupnya, menikmati hidup dengan mensyukuri hal-hal sederhana yang membuatnya bahagia. Belajar dari senyum syukur simbah-simbah di tengah kesederhanaan mereka, aku memperoleh harta berharga untuk perjuanganku di Jogja ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun