Masa kanak-kanak adalah masa yang seru dan menyenangkan, perilakunya dalam bermain dan berbicara bisa menjadi hiburan bagi orang dewasa disekitarnya. Permainan sederhana, seperti kuda-kudaan dengan ayahnya, atau “membantu” ibunya masak di dapur adalah hal yang menyenangkan. Bagi orang tua membimbing anak bagi bermain sangat penting. Takariawan (2013) menyatakan bahwa orang tua harus meluangkan waktunya bermain dengan anak-anak nya, baca [1].
Bagi anak-anak sendiri bermain sangat penting karena dapat melatih aktivitas motorik kasarnya, khususnya bermain dialam terbuka Elhasani (2013), baca [2]. Jenis permainan yang menjadi favorit bagi sebagian anak-anak terkadang tidak jauh dari keadaan sekitar lingkunganya. Keadaan yang dilihat langsung dikeseharian keluarga mereka, acara yang ditonton melalui media televise, ataupun kejadian alam terkadang menjadi sumber inspirasi mereka menciptakan permaianan. Salafi (2012) menyatakan bahwa bermain hujan-hujanan memiliki sensasi sendiri bagi anak-anak, tentunya dengan pengawasan seperlunya, baca [3].
Saya masih sangat mengingat ketika masih anak-anak (7-10 tahun), mencari ikan di kali belakang rumah dan bermain layangan di ladang adalah permainan favorit, walapun seringkali berujung pada hukuman berupa jaweran kuping oleh ayah karena ke kali tanpa minta ijin atau menginjak padi. Hukuman itu tidak sebanding dengan kepuasan akan hasil pancingan, atau sensasi menyaksikan “tarian” layang-layang diudara. Bahkan luka lebam akibat tertumbuk batu kali adalah hal biasa.
Permainan itu yang menemani saya melewati masa kanak-kanak, lingkungan sebuah desa di Ujung Utara Pulau Buton, Sulawesi Tenggara saksinya. Kami sekeluarga sempat tinggal beberapa tahun disana karena Ayah memilih bertugas di desa ketimbang harus menetap di kota Kendari waktu itu. Ayah menjadi semacam Pembina warga transmigran lokal yang pada saat itu menjadi program pemerintah. Dia mengabdikan diri di dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang waktu itu masih bernama Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan.
***
Riuh anak-anak bermain disebelah rumah kontrakan di Kota Jogja mengusikku. Saya coba mendekati dan memperhatikan, ternyata mereka bermain memerankan suasana di terminal, “lho…. disinikan jauh dari terminal” gumanku dalam hati. Seorang anak, sebut saja Ardi dengan apik memerankan tokoh kondektu angkutan, dengan lincah dia meneriakkan “Ayo ayo… jogja-jogja… berangkat, ayo ayo…” sambil kaki kanan disandarkan pada gerobak, kaki kirinya berpijak ditanah dan tangannya melambai kea rah teman yang lang lain. Luasan tempat bermain kira-kira 10 x 10 meter, sebidang tanah lapang yang terluas di kompleks sini.
Mereka menikmati permainan, sesekali temannya bertanya, “jogja ya…?” dan dia dengan sigap menjawab… “ya ya… ayo masuk, jogja … jogja, ayo ayo…, berangkat”. Temanya pun naik di atas “mobil” tersebut.
Sementara teman lain dengan begitu lincah memainkan tokoh penjual tahu, sesekali dia menawarkan dagangannya “tahu tahu… seribu seribu…”. Suasana ini menghibutku sore itu.
Permainan ini kemungkinan terinspirasi oleh mereka ketika melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman saat mudik. Ya, karena disaat itulah peluang terbesar mereka menyaksikan kehidupan terminal. Sederhana, tapi raut kebahagian terpancar jelas diwajah anak-anak lugu ini. Begitulah anak-anak, mereka akan menirukan apa yang mereka saksikan…
Salam anak-anak
YaNa
Referensi
[2] http://edukasi.kompasiana.com/2013/03/02/pentingnya-bermain-bagi-anak-539363.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H