Mohon tunggu...
Natalie Aurellia
Natalie Aurellia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi menonton film dan mendengarkan musik.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Patriarki dan Krisis Identitas : Bagaimana Stereotip Gender Merusak Kesehatan Mental Laki-laki dan Perempuan

14 Desember 2024   23:35 Diperbarui: 14 Desember 2024   23:35 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya bahwa laki-laki lebih memiliki kuasa yang lebih besar daripada perempuan atau yang biasa disebut dengan 'patriarki' sudah merupakan rahasia umum, bahkan sejak jaman manusia belum mengenal tulisan budaya patriarki ini sudah diterapkan. Peran laki-laki sebagai penguasa Tunggal, pusat, dan segalanya disebut dengan patriarki yang berasal dari kata 'Patriarkat' (Alfian Rokhmansyah, 2013). Kebebasan Perempuan menjadi terbatas karena adanya budaya ini, laki-laki diberikan kekuasaan dan otoritas lebih besar dibandingkan wanita. Selain itu patriarki juga menimbulkan tekanan yang cukup besar kepada kedua gender. Salah satu dampak terbesarnya adalah munculnya stereotip gender yang kaku, yang pada akhirnya merusak kesehatan mental baik pria maupun wanita.

Beban Tak Terlihat yang Disebabkan Stereotip Gender

Stereotip gender adalah sebuah keyakinan yang berkaitan dengan perilaku yang membedakan perempuan dan laki-laki. Keyakinan tersebut berupa pelabelan yang sudah lama terbentuk dalam kehidupan masyarakat (Ramadhani, 2020). Misalnya, laki-laki diharuskan untuk menjadi tulang punggung keluarga, tidak boleh menunjukkan emosi (sedih, menangis), dan harus kuat dalam segala hal. Sebaliknya, perempuan diharuskan untuk berada satu tingkat dibawah laki-laki, diharapkan untuk menjadi lemah lembut, pengertian, bahkan fokus pada peran domestik. Memang terlihat sangat sederhana, namun hal ini sangan mempengaruhi cara setiap individu untuk melihat diri mereka sendiri.

Tidak sedikit laki-laki yang merasa bahwa menunjukan kerentanan mereka adalah sebuah kelemahan, sehingga kebanyakan mereka memilih untuk memendamnya. Hal ini juga menjadi teknan bagi laki-laki untuk selalu terlihat tangguh dan akhirnya menjadi sulit untuk mengungkapkan emosi mereka. Karena sulit untuk mengungkapkan emosi, laki-laki menjadi lebih rentan terhadap masalah Kesehatan mental sepeerti depresi, kecemasan, dan resiko bunuh diri. Dilansir dari UCLA News Room, Angka bunuh diri pada pria sekitar empat kali lebih tinggi daripada pada wanita. Meskipun pria merupakan 50% dari populasi, mereka menyumbang 80% kasus bunuh diri. Namun, risiko bunuh diri pada pria sering kali tidak disadari. Ini menunjukkan bahwa dampak dari 'toxic masculinity' sangatlah berbahaya.

Sedangkan di sisi lain, tidak jarang para perempuan ditekan untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis atau menjalani beberapa peran yang bahkan tidak mereka inginkan. Perempuan memiliki beban ganda karena dianggap harus mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus rumah tangga, membuat perempuan mengalami kelelahan fisik dan mental secara bersamaan.

Krisis Identitas dalam Konteks Patriarki

Budaya patriarki memaksa individu untuk memenuhi peran tertentu dan memperkuat hierarki yang kaku. Krisis identitas mulai terjadi Ketika seseorang mulai merasa tidak cocok dengan peran yang diberikan masyarakat, merasa terasing dari diri sendiri karena tekanan untuk memenuhi ekspektasi oranglain.

Contohnya pria yang lebih menyukai pekerjaan kreatif seperti fashion, design, bahkan merawat anak sering merasa dikucilkan karena disebut "tidak maskulin". Begitu pula Perempuan yang mandiri dan suka mengejar karier akan di cap egois dan melawan kodrat. Krisis identitas ini lambat laun akan memunculkan perasaan bersalah, malu, kebingungan, bahkan kehilangan diri sendiri.
Menuju Kesetaraan dan Kesehatan Mental
Penting bagi masyarakat untuk memahami betul mengenai kesetaraan gender dan membangun Kembali stereotip yang ada, untuk mengatasi dampak buruk patriarki. Selain itu masyarakat juga perlu memberikan ruang bagi setiap individu untuk menjadi diri mereka sendiri tanpa adanya tekanan dari manapun. Dengan begitu, baik pria maupun wanita dapat hidup berdampingan dengan lebih bahagia, bebas, dan memiliki keunikannya masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun