Tak semua anggota DPR setuju dengan dana aspirasi yang diklaim telah disetujui semua anggota dewan. Budiman Sudjatmiko dari PDIP salah satu yang menolaknya. Alasan Budiman sangat waras. Menurut dia, ada tiga fungsi dewan yakni fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan budgeting. DPR tidak punya fungsi melaksanakan anggaran. DPR membahas dan mengontrol anggaran, sedangkan pelaksanaannya ada pada eksekutif. Jadi kalau DPR mulai urus-urus anggaran, urus-urus jembatan yang rusak kemudian mengeluarkan dana, bukankah itu urusannya eksekutif? Kalau eksekutif dianggap lama mengeksekusi perbaikan jembatan yang rusak, misalnya, bukan lalu DPR mengambil jalan pintas dengan menyalurkan sendiri anggaran. Menyalurkan anggaran itu murni tugas DPR.
Kalau DPR mulai mengurus langsung anggaran melalui dana aspirasi, maka DPR akan fokus urus dana aspirasi itu. Mereka sibuk cari jembatan yang rusak, jalan yang rusak di dapilnya masing-masing, untuk menghabiskan dana aspirasi. Lalu yang mengkhawatirkan adalah kinerja anggota dewan diukur dari menghabis dana aspirasi, bukan lagi produk legislasinya atau kualitas pengawasannya.
Adanya dana aspirasi akan membuat anggota DPR semata-mata mewakili rakyat dapilnya, tidak ada lagi yang mewakili rakyat Indonesia secara keseluruhan yang terepresentasi dalam undang-undang. Semua hanya sibuk mengurus dapilnya masing-masing. Padahal sumpah anggota DPR bukanlah mengurus konstituen di dapil masing-masing, tapi seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu dana aspirasi juga akan semakin menimbulkan ketimpangan di Jawa dan luar Jawa karena daerah-daerah di Jawa mempunyai jumlah kursi DPR lebih banyak dibandingkan dengan di luar Jawa. Misalnya jumlah kursi DPR untuk Jawa Barat sebanyak 91 kursi. Jawa Tengah sebanyak 76 kursi, Jawa Timur 87 kursi. Sedangkan provinsi-provinsi di Indonesia Timur tjauh di bawah itu. Artinya dana aspirasi yang terserap di Jawa berlipat-lipat dibandingkan dengan di Indonesia Timur. Kalau dana aspirasi itu disetujui maka DPR ikut menciptakan kesenjangan yang akan semakin menganga.
Menarik pula disimak pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tidak menyetujui dana aspirasi DPR itu. Jika logika DPR itu diiikuti maka bukan mustahil Presiden minta alokasi dana aspirasi sendiri, Wakil Presiden minta sendiri, dan para pejabat lain pun bisa minta sendiri. Tidak ada alasan mereka dilarang. Di tingkat daerah pun demikian. Anggota DPRD II minta dana aspirasi sendiri, DPRD I, gubernur, bupati/wali kota semuanya bisa minta dana aspirasi.
Rupanya DPR meminta dana aspirasi adalah untuk memulihkan kepercayaan rakyat kepada DPR. Selama ini rakyat menganggap DPR tidak berbuat apa-apa, bahkan tidak ada gunanya karena tidak bisa berbuat apa-apa menanggapi keluhan masyarakat. Dengan adanya dana aspirasi maka akan bisa dengan mudah DPR menangapi keluhan publik. Tapi pertanyaannya berbalik, kalau itu alasannya, mengapa ‘hanya’ Rp20 miliar dan bukan Rp200 miliar? Atau mengapa bukan dana Desa yang disalurkan melalui anggota DPR? Dana pendidikan disalurkan melalui anggota DPR.
Jika dana aspirasi itu kemudian disetujui maka rusaklah sistem keuangan negara ini. Kita tidak tahu dari studi banding di mana DPR mendapatkan inspirasi soal dana aspirasi itu.
Sebenarnya DPR sama sekali tidak perlu meminta dana aspirasi sebagai ‘jatahnya’ untuk dapilnya masing-masing. Mereka cukup mengatakan bahwa setiap provinsi harus meningkatkan jumlah ‘dana tak terduga’ untuk digunakan sesewaktu jika ada kebutuhan mendesak. Ketika DPR berpendapat bahwa perlu ada dana aspirasi untuk tiap-tiap anggota dewan, memori publik langsung tersentak menolak karena akan penuh dengan politisasi. Jadi dana itu adalah ‘dana tak terduga daerah’ bukan dana aspirasasi anggota DPR.
Saya berharap DPR kembali berkonsentrasi pada tiga fungsi dewan. Fungsi legislasi sekarang terbengkalai. Selama tujuh bulan sejak dilantik tahun lalu, baru dua RUU yang selesai dari 37 RUU yang ditargetkan tahun ini. Menurut anggota Badan Legislasi DPR Tifatul Sembiring (PKS) DPR terlalu sibuk menghitung uang reses karena frekuensi resesnya terlalu sering sehingga agenda legislasi terbengkalai.
Kalau menyimak pernyataan orang per orang anggota DPR, rupanya masih banyak anggotadewan yang punya nurani untuk tidak meloloskan dana aspirasi itu. Jadi pertanyaannya, siapakah yang mengambil keputusan di DPR sehingga suara-suara anggota itu pun tidak terwakili? Wahai tuan-tuan dan puan-puan anggota DPR, kembali lah..kembali lah ke jalan yang lurus.*
Â