Ketika Chelsea berhasil melaju ke perempat final Liga Champion,mengalahkan Napoli dalam adu penalty 4-1, sang kapten Frank Lampard mengatakan “Kami seperti memiliki kehidupan baru”. Ya, pernyataan yang tidak mengada-ada, karenakeberhasilan itu tak hanya bermakna bagi Chelsea tapi sekaligus menjaga tradisi Inggris untuk menempatkan klubnya di liga paling bergengsi di Eropa itu.
Chelsea tak hanya menggenggam kehidupan baru dari situ, tapi juga sejarah baru ketika berhasil merebut piala Liga Champion dalam drama yang disuguhkan dalam final melawan Bayern Munchen di Stadion Arena,Munchen. Dalam posisi imbang 1-1, hadiah penalty bagi Munchen setelah Didier Drogba menjatuhkan Frank Ribery tak berhasil dimanfaatkan oleh Arjan Robben. Kedudukan tetap sama hingga perpanjangan waktu menuju adu penalty.
Drogba menjadi pahlawan ketika tendangannya mampu mengecoh kipper Munchen, Manuel Neur dan menjadikan Chelsea mewujudkan mimpinya menjadi Juara Liga Champion untuk pertama kalinya.
Pahlawan memang sering lahir dari sepakbola, seperti halnya pesakitan di dalamnya. Arjen Robben telah merasakan hal itu seperti halnya Bastian Schweinsteiger yang gagal mengeksekusi penalty. Kondisi yang akan berbeda kalau saja di perpanjangan waktu Robben berhasil melaksanakan tugasnya dan Bayern berhasil mempertahankan keunggulan itu hingga pluit berbunyi. Jika itu terjadi, maka Drogba yang akan menjadi pesakitan meski penyerang Pantai Gading ini memberi sumbangan lewat tandukan kepalanya sehingga kedudukan imabang 1-1.
Sosok pahlawan memang selalu dibutuhkan karena itu kerinduan kemanusaian secara universal. Kitapun demikian, bahkan jika bisa yang manusia super (super hero). Ketika sosok itu tak ada dalam dunia nyata, kita mengundangnya dari dunia imajiner. Maka muncul banyak tokoh seperti Gatutkaca atau Godam di dalam dunia tokoh Indonesia atau Hercules dari Yunani atau Spider Man dari Marvel.
Kata Pahlawan sendiri berasal dari bahasa Sanskerta “Phalawan” atau orang yang menghasilkan buah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran ; pejuang yang gagah berani.
Memang tak mudah menjadi sosok yang disebut pahlawan itu. Di masa kini ia bukan lagi sosok gagah perkasa dengan senjata api di tangah membasmi musuh-musuhnya, karena yang dibutuhkan adalah apa yang sudah diperbuat bagi masyarakat lingkungannya, dengan perilaku yang akan menjadi teladan dengan nilai-nilai tersendiri di dalamnya.
Drogba telah memberikan perjuangan dan nilai-nilai itu pada klub dan dunia. Tak Cuma dari gol yang dicetaknya tapi juga keberhasilannya bangkit dari rasa bersalah ketika Chelsea mendapat hukuman penalty akibat ganjalannya ke Ribery. Hal itu tak membuatnya terpuruk dalam menit-menit berikutnya, dan ia mampu menyelesaikan tugasnya dalam drama adu penalty dengan sempurna.
Bagaimana dalam diri kita sendiri? Ketika pengurus PSSI lewat Penanggungjawab Timnas, Bernhard Limbong memberikan julukan pahlawan bagi Tibo dan Okto, hanya karena mereka membela timnas senior ke turnamen Al Nakbah di Palestina, masyarakat justeru merasa geli dan takjub sendiri. Bagaimana bisa seorang pemain yang “menipu” klubnya dianggap pahlawan hanya karena klub itu berada di kompetisi yang mbalelo dan tak mau menyumbangkan pemainnya dengan alasan yang logis.
Maka yang terjadi adalah kontradiksi. Drama di lapangan hijau berbuah kejayaan bagi Chelsea, yang terjadi di dalam negeri dengan peristiwa “penculikan” pemain ISL hingga adanya penciptaan paspor baru justeru keperihan tersendiri bagi kita. Drama pahit yang harus ditelan sendiri. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H