Mohon tunggu...
Natalia Irma
Natalia Irma Mohon Tunggu... -

walking, reading,writing

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Rekonsiliasi Lipstik

3 April 2012   04:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:06 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Rekonsiliasi memiliki arti yang bukan sekedar "mendamaikan, mengatasi, membereskan, mencocokkan" tapi dalam bahasa inggris lebih dalam lagi artinya resolve peacefully, bring near, bring together, harmonise. Pengertian mendalam itulah yang mestinya jadi pegangan bagi PSSI di bawah kepemimpinan Djohar Arifin dalam menyelesaikan masalah kisruh persepakbolaan saat ini.

Hal wajar saja jika soal itu dialamatkan ke Djohar Arifin dan kawan-kawan, karena mereka memegang mandat dari Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Solo, 9 Juli 2011 lalu dan oleh FIFA diperintahkan melakukan rekonsiliasi dalam mengatasi permasalahan yang ada, terutama dualisme kompetisi dengan adanya Liga Prima Indonesia (LPI) dan Liga Super Indonesia (LSI).

Tentunya soal bagaimana menangani rekonsiliasi tak perlu diajarkan lagi. Di kepengurusan PSSI ada professor yang menjadi Ketua Umum, ada ahli perbankan dan bidang lainnya yang pasti lihai soal itu.

Dalam memanajemeni rekonsiliasi langkah awal harus didahului dengan analisa, melakukan diagnosa terhadap konflik yang terjadi. Akar-akar konflik harus diidentifikasi secara jelas. Akar konflik ini perlu ditelusuri secara mendalam untuk mengetahui latar belakang dan sejarah konflik sebagai bagian upaya untuk mencari solusinya. Dalam hal dualisme kompetisi akar konflik ini sudah jelas ada, bukannya lalu disisihkan atas nama “kepentingan nasional” yang sebenarnya tak lain kepentingan kelompok atau perorangan.

Akar masalah itu, salah satunya yang krusial ketika menetapkan kompetisi dengan nama Liga Prima Indonesia yang diikuti oleh 24 klub. Bagi klub peserta LSI keputusan ini tak hanya melanggar Statuta yang telah menetapkan nama LSI atau Indonesia Super League dengan 18 tim tapi juga ketidakadilan dan semangat berkompetisi dengan memberi tiket gratis bagi 6 klub untuk turut dalam kasta tertinggi kompetisi.

Ke 6 klub itu adalah Persebaya Surabaya, PSMS Medan, dan Bontang FC yang seharusnya berlaga di Divisi Utama, serta PSM Makassar,yang akibat hukuman Komisi Disiplin PSSI, seharusnya bermain di Divisi I,Persema Malang dan Persibo Bojonegoro yang melalui Keputusan Kongres telah diberhentikan dengan tidak hormat dari keanggotaan PSSI. Persema dan Persibo mendaftar ulang menjadi anggota PSSI dengan memulai berlaga di Divisi III.

Sayangnya, melihat langkah yang dilakukan PSSI, akar itu sepertinya tak digubris. Merasa memiliki legitimasi yang masih diakui oleh FIFA, PSSI terkesan seenaknya saja menjalankan rekonsiliasi dengan mengundang datang tapi sudah dengan draft penyelesaian rekonsiliasi. Perkara yang diundang tidak datang sepertinya itu tak penting, karena bisa jadi bahan laporan ke FIFA nantinya soal “itikad baik” ini.

Dari aspek politis, ketidakhadiran klub-klub LSI memenuhi undangan ini akan dimanfaatkan oleh PSSI sebagai alasan atau alibi jika nantinya FIFA harus menjatuhkan sanksi kepada Indonesia. “Mereka yang tak punya itikad baik, tidak mau berekonsiliasi, jadi jangan salahkan kami”, begitu alibi yang pasti diusung.

Semestinya, sebelum menawarkan rekonsiliasi, PSSI harus menunjukkan ketulusan dan itikad baiknya lewat langkah-langkah nyata seperti menjadi mediator menyelesaikan kasus klub kloningan. Tapi hal itu rupanya tak terjadi, malah tebaran ancaman pada pemain asing yang tidak akan diberi rekomendasi perpanjangan visanya seperti tambahan bensin di kobaran api yang masih menyala. Belum lagi dampak pada citra negatif yang akan muncul jika gaya premanisme ini tersiar di negara asal para pemain asing itu.

Menggelikan, sekaligus mengenaskan, ketika para pemain yang hanya tahu bagaimana bermain sebaik mungkin untuk klubnya harus dilibatkan dalam proses rekonsiliasi ini. Sesuatu yang makin menunjukkan kengawuran dan kebingungan Djohar Arifin dan kawan-kawan dalam menyikapi permasalahan organisasi yang dipimpinnya.

Tak heran jika sodoran rekonsiliasi yang ada tak lebih dari sikap asal saja, cari muka ke FIFA dan jadi sisa-sisa perlawanan mempertahankan kekuasaan yang digenggamnya. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun