Ketakutan akan sanksi FIFA terhadap Indonesia bukan lagi bahan obrolan, diskusi atau sekedar wacana sana. Dua kepengurusan PSSI yang ada saat ini sudah merupakan sesuatu yang bisa dijadikan legitimasi bagi FIFA untuk menjatuhkan sanksi itu, setelah berulang kali kita terhindar dari itu. Pembentukan Komite Normalisasi (KN) tahun lalu bisa dibilang merupakan sikap murah hati dari FIFA terhadap Indonesia, meski kisruh PSSI saat itu sudah begitu besar dan pemerintah tidak mengakui kepemimpinan Nurdin Halid.
Memang masih ada nada optimis dari Djohar Arifin, Ketua Umum PSSI, bahwa FIFA tak akan membekukan Indonesia, dengan alasan PSSI telah melakukan langkah-langkah mencari solusi dan melaporkannya ke FIFA, tidak lebih dari pernyataan menghibur diri semata. Sekaligus juga makin menunjukkan pengurus PSSI saat ini hanya mencari menang sendiri, dan berusaha menimpakan kesalahan pada pihak lain jika benar-benar terjadi sanksi oleh FIFA.
Solusi yang ditawarkan PSSI, baik sebelum maupun dari hasil Kongres Tahunan di Palangkaraya, 18 Maret lalu adalah mengakui Liga Super Indonesia (LSI) dengan syarat berada di bawah control PSSI dan klub-klub yang terkena sanksi harus menyampaikan permintaan tertulis dan akan diampuni oleh PSSI.
Permasalahan di tubuh persepakbolaan Indonesia saat ini bukanlah semata pada kompetisi ganda antara LSI dan Liga Prima Indonesia (LPI) semata, yang belakangan didengungkan seperti itu, tanpa mau peduli bahwa masalah utama adalah pada organisasi. PSSI telah melakukan pelanggaran Statuta yang menjadi pangkal kegusaran klub-klub yang lalu memilih berkompetisi dalam LSI.
Sebelumnya, ancaman sanksi itu sudah muncul dari surart FIFA dan AFC pada 13 Januari 2012 yang menyarankan PSSI menggelar kongres tahunan demi menyelesaikan kisruh yang terjadi di induk sepakbola tertinggi nasional itu. Kongres tahunan ini digelar selambat-lambatnya sebelum 20 Maret 2012 demi menghindari sanksi FIFA. “Menyadari masalah yang dihadapi sepakbola Indonesia, FIFA dan AFC merekomendasikan PSSI segera menyelenggarakan kongres biasa untuk memastikan sesuai statuta dan menyelenggarakan sebuah forum mencari solusi. Kami juga mengingatkan PSSI akan deadline yang terpapar dalam surat tertanggal 21 Desember 2011 dan kongres biasa digelar sebelum 20 Maret 2012 untuk menghindari sanksi dari Komite Asosiasi FIFA," tulis FIFA dalam surat tersebut .
Saat ini pemerintah baru sebatas mencabut fasilitas bagi tim nasional, dan Menpora tidak datang dalam Kongres Tahunan PSSI, 18 Maret 2012 di Palangkaraya. Namun bukan berarti pemerintah tak bisa melakukan intervensinya, jika hal itu harus dilakukan meski dengan resiko sanksi dari FIFA, karena salah satu rekomendasi KONI (poin 6) menyebutkan “Jika poin, 1,2,3,4 dan 5 tersebut di atas, tidak dapat juga terselesaikan, KONI sebagai induk organisiasi olahraga yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan pembinaan organisasi dan prestasi olahraga bola di Indonesia, akan mengambil alih sementara kepengurusan olahraga sepakbola Indonesia hingga digelarnya KLB. Sebagaimana diatur dalam statuta KONI pasal 30 ayat 9.”
Bila sanksi FIFA dijatuhkan karena adanya dua kepengurusan, maka kasusnya mirip dengan apa yang terjadi dengan Federasi Sepakbola Bosnia-Herzegovina (FFBH) yang terkena sanksi pada 1 April 2011 pembekuan karena memiliki tiga presiden FFBH. Kenapa tiga? Itu sebagai bentuk perwakilan dari tiga etnis utama di sana (Bosnian, Croatia dan Serb). FIFA meminta mereka memilih satu presiden namun ditolak karena (salah satu alasannya) sistem politik di negara mereka demikian. Pemimpin negara dirotasi bergantian supaya tiga etnis itu dapat giliran berkuasa. Dalam hal ini Bosnia melanggar statuta FIFA bahwa presiden federasi hanya boleh dijabat satu orang. Sanksi ini dicabut dua bulan kemudian setelah FFBH mengadopsi Statu FIFA.
Sedangkan intervensi pemerintah terhadap federasinya diberlakukan antara lain kepada Brunei Darussalam sejak 30 September 2009. Saat itu federasi sepak bola Brunei masih bernama BAFA. Tidak hanya itu, BAFA dicoret dari keanggotaan FIFA pada 19 Maret 2010 dan diancam. Brunei dijatuhi hukuman akibat intervensi Kerajaan Brunei terhadap klub DPMM FC di ajang Liga Singapura. Butuh 20 bulan bagi Brunei untuk bebas dari sanksi. Itu pun setelah adanya campur tangan Komisi Darurat FIFA.
Tinggal menanti seperti apa sanksi itu dan kapan tibanya waktu. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H