‘Everyone can cook’. Ada yang tahu atau pernah mendengar jargon ini? Kalau Anda sudah menonton film animasi Ratatouille, pasti tidak akan asing lagi. Jargon ini milik Auguste Gusteau, seorang master-chef yang beranggapan bahwa semua orang bisa memasak, hanya tergantung pada kemauan untuk terus belajar.
Dalam dunia jurnalistik, jargon dan anggapan diatas dapat kita sepakati bersama jika diganti menjadi ‘Everyone can be a journalist’. Maksudnya, semua orang dapat menjadi seorang jurnalis, dengan adanya fasilitas dan teknologi yang sudah sangat memadai. Tidak hanya para reporter dan jurnalis dari media massa saja yang dapat memproduksi sebuah informasi menjadi berita. Jika Anda setuju dengan asumsi ini, mari kita bahas lebih jauh.
Berlarinya teknologi yang begitu cepat membuat manusia semakin mudah mendapatkan sesuatu. Mulai dari kemudahan berkomunikasi satu sama lain melalui telepon dan internet, hingga mendapatkan informasi dan berita lebih cepat dan aktual. Hal ini menunjukkan bahwa semakin maju dan canggihnya teknologi, semakin besar pula tanggung jawab manusia untuk mengolah dan menggunakannya secara bijak.
Dengan adanya fasilitas yang mendukung seperti teknologi, bisa dikatakan semua orang dapat menjadi jurnalis. Jurnalis atau wartawan dalam artian luas, yakni orang yang menulis dan mengumpulkan berita (KBBI, 2007). Jika dilihat hanya dalam arti luas ini, dapat kita anggap jika slogan ‘Everyone can be a journalist’ benar adanya.
Melihat bukti dan fakta yang ada jika semua orang dapat menjadi jurnalis diikuti perkembangan teknologi informasi, beberapa orang biasa atau awam dapat memproduksi sebuah informasi menjadi berita. New media, yakni internet telah membuat sebuah tren-tren baru dalam masyarakat. Sering kita sapa dengan citizen journalism yang kian berkembang seiring jaman dan online journalism yang muncul belakangan.
Online Journalism atau jurnalisme online dapat disebut sebagai sebuah seni memadukan teknologi komunikasi yakni internet dengan jurnalisme konvensional, seperti televisi atau surat kabar. Detik.com sebagai pionir jurnalisme online murni pertama di Indonesia, yang tidak memiliki versi cetaknya. Walau dalam perkembangannya pernah menerbitkan versi cetak, namun tidak berumur panjang.
Kehadiran jurnalisme online yang mencukupi kebutuhan informasi secara cepat dan aktual, membuat banyak jurnalisme konvensional, seperti televisi dan surat kabar, mencoba kearah itu. Seperti Harian Kompas yang memiliki Kompas.com, atau TvOne yang memiliki TvOneNews.tv. Situasi ini terlihat sebagai sebuah persaingan dan juga tuntutan bagi industri media massa. Persaingan diantara media itu sendiri, siapakah yang paling up todate terhadap sebuah berita, dan tuntutan dari masyarakat bahwa semua media jurnalisme konvensional harus memiliki versi online-nya.
Citizen Journalism dalam www.educause.eduadalah “a wide range of activities in which everyday people contribute information or commentary about news events”, atau dalam Bahasa Indonesia disebut jurnalisme warga. Tren baru ini semakin gencar dengan maraknya penggunaan internet sebagai media baru saling bertukar informasi. Berbagai jejaring sosial dan media share menjadi alternatif baru para pengguna internet dalam mewarnai jurnalisme warga ini. Walaupun sebelumnya jurnalisme konvensional juga menghadirkan sisi citizen journalism didalam konten beritanya, tetapi masih belum dapat meng-cover banyak wadah untuk berpartisipasi. Masyarakat pun tidak seantusias saat menggunakan internet sebagai medianya. Alasannya? Simpel sekali. Orang lebih mudah dan cepat mem-posting tulisan atau video-nya dari pada harus mengirimkan dahulu ke media konvensional, apalagi belum tentu akan diterbitkan.
You Tube, Twitter, Blog, dan Facebook menjadi jejaring sosial dan website yang lebih digemari oleh masyarakat. Kemudahannya dalam berkomunikasi melalui video dan tulisan, mendukung dalam pengiriman informasi pesan lebih cepat dan aktual, tanpa melihat keakuratan berita. Hanya dengan posting tulisan atau upload video dan foto, semua masyarakat benar-benar dapat menjadi jurnalis, dalam arti luas tadi tentunya.
Beberapa orang awam yang bukan jurnalis pernah membuat geger masyarakat, khususnya pengguna internet karena telah menjadi saksi atas sebuah peristiwa dan menulisnya dalam jejaring sosial. Seperti seorang mantan mahasiswa Fisip, Anwar Riksono, yang memiliki akun di Twitter dengan nama @anwariksono. Ia pernah menjadi salah satu saksi dalam kecelakaan kereta di Petarukan, antara kereta Argo Bromo Anggrekyang menabrak kereta Senja Utama Semarang pada tahun 2010 lalu.
Dalam tweet-nya, Anwar Riksono menuliskan bahwa ia menjadi salah satu korban dalam kecelakaan kereta tersebut. Kemudian, naluri sebagai jurnalis muncul ketika ia memposting kondisi dan suasana yang terjadi saat ia mengalami kecelakaan. Mulai dari listrik mati hingga hentakan yang terjadi, ia tweet dengan pemilihan diksi dan kalimat yang cukup menarik sehingga para Twitter user yang mem-follow akun miliknya.
Informasi disampaikan lebih aktual dan jelas serta terpapar rapi oleh Anwar Riksono mengenai kondisi yang sedang terjadi. Jelas, orang akan lebih memilih informasi yang ia berikan daripada menunggu stasiun televisi menayangkan breaking news untuk kejadian ini. Pesan lebih cepat tersampaikan walau keakuratan masih perlu dipertanyakan.
Tren jurnalisme warga ini juga diadopsi oleh stasiun televisi untuk lebih memperkuat identitasnya. Contohnya adalah MetroTv yang memiliki waktu untuk menampilkan beberapa video jurnalisme warga yang dikirimkan oleh para pemirsanya mengenai suatu peristiwa. Biasanya video yang dipilih untuk ditayangkan adalah video yang dapat mengambil gambar dan momen yang menarik serta aktual. Seperti banjir lahar dingin yang memutuskan jembatan penghubung dua desa. Dalam video ini digambarkan jembatan yang mulai goyah perlahan-lahan akibat banjir lahar dingin yang begitu besar. Atau detik-detik penyelamatan para warga di daerah Cangkringan saat erupsi merapi November 2010 lalu. Bisa jadi, video yang dibuat oleh masyarakat jauh lebih menarik dan aktual dari pada milik para camera-person yang media yang bersangkutan.
Dari sisi lain, jurnalisme warga masih belum dapat dianggap sebagai sebuah bentuk dari hasil jurnalistik. Pasalnya, sebuah berita harus memiliki sisi akurat, bukan hanya aktual saja. Keakuratan sebuah berita sangat penting karena menyangkut kepentingan orang banyak. Poin inilah yang masih dipertanyakan oleh pakar-pakar jurnalis yang belum setuju pesan seperti itu dapat disebut jurnalisme warga. Etika-etika penulisan berita juga belum dapat dipenuhi dalam beberapa tulisan yang di-posting di blog.
Selain itu, jurnalisme warga dianggap masih terlihat begitu datar dan belum memenuhi aspek news value karena tidak didasari pada dasar-dasar jurnalisme. Tetapi pada dasarnya, jurnalisme warga merupakan bentuk dari era baru dunia jurnalistik. Dimana semua lapisan masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembentukan dan produksi sebuah informasi menjadi berita. Bukan hanya sebagai masyarakat yang pasif dan menerima secara mentah produk berita yang diberikan media.
Dapat disimpulkan bahwa jurnalisme warga atau citizen journalism merupakan sebuah tren baru di bidang jurnalistik, apalagi jika berada dalam ranah jurnalisme online. Dengan perkembangan teknologi ini, memungkinkan munculnya para jurnalis baru yang dapat mengolah informasi lebih aktual dan menarik. Karena sisi organization pressure tidak ada, maka para jurnalis baru ini dapat memberikan berita secara lebih humanis dan apa adanya. Jadi, slogan ‘Everyone can be a journalist’ menjadi benar dan karena didukung oleh teknologi informasi yang semakin berkembang. Semuanya ada ditangan masyarakat itu sendiri untuk memunculkan kemauan belajar dan berani menjadi salah satu dari citizen journalism, karena kesempatan itu tidak datang dua kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H