Menurut Johan Galtung ada tiga tahap dalam penyelesaian konflik. Pertama, peacekeeping yaitu proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral. Kedua, peacemaking yaitu proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan stategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan. Ketiga, peacebulding yaitu proses implementasi perubahan atau rekonstruksi social, politik, dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng. Melalui proses peacebuilding diharapkan negative peace (atau the absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat merasakan adanya keadilan social, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif.
Dari teori diatas, dapat saya simpulkan bahwa resolusi konflik yang terjadi pada kasus pertikaian antara warga Kendeng dengan PT Semen Indonesia adalah peacemaking, karena upaya yang digunakan untuk menyelesaikan konflik tersebut berupa mempertemukan atau merekonsiliasi kedua belah pihak yang bertikai dengan dimediasi oleh Tim Kajian LIngkungan Hidup Strategis (Tim KLHS). Bulan April lalu, Warga Kendeng dan PT Semen Indonesia bertemu dalam sebuah kesempatan bersama dengan Tim KLHS bentukan Presiden Joko Widodo untuk mengkaji ulang kegiatan penambangan semen di daerah Rembang tersebut. Melalui mediasi ini diharapkan masyarakat Rembang dan PT Semen Indonesia dapat mencapai sebuah konsensus bersama agar pertikaian segera selesai. Jika KLHS telah selesai disusun semua pihak harus mematuhi aturan yang terterda lama Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tersebut.
Menurut saya, penyelesaian konflik yang digagas oleh Joko Widodo mengenai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) nantinya akan cukup efektif karena dalam forum tersebut semua pihak diberikan memberikan suara dan opini mereka sehingga diharapkan keputusan-keputusan yang kemudian diambil tidak merugikan pihak manapun (win-win solution). Di samping itu, peristiwa demonstrasi warga Kendeng mengecor kaki mereka di depan Istana Merdeka hingga ada seorang petani yang meninggal akibat kelelahan saat melakukan demonstrasi tersebut membuat mediasi menjadi jalan terbaik yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik ini, karena selain dianggap lebih humanis dan kekeluargaan, dalam menyelesaikan kasus Kendeng ini tidak bijak jika hanya menggunakan jalur hokum. Kita harus menyadari bahwa pada kenyataannya dalam berpolitik kekuasaan (power) yang dimiliki oleh kedua pihak ini pun berbeda.
Kesimpulannya, kurangnya komunikasi yang terjalin antara warga Kendeng dan PT Semen Indonesia menjadi pemicu konflik ini, sehingga penyelesaiannya pun harus diselesaikan dengan proses komunikasi juga yaitu mediasi. Warga Kendeng tidak terima dengan kegiatan penambangan semen di daerah mereka dan kemudia melakukan pemberontakan karena PT Semen Indonesia tidak melakukan sosialisasi mengenai kegiatan tersebut dan dampak yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut kepada masyarakat Kendeng.Â
Jika PT Semen Indonesia sebelumnya mengadakan pertemuan dengan warga Kendeng untuk membahas mengenai perencanaan penambangan yang akan mereka lakukan, masyarakat akan mengerti dampak yang akan ditimbulkan dari kegiatan penambangan tersebut sehingga masyarakat bias lebih menghargai keputusan PT Semen Indonesia dan bersama-sama mengawasi kegiatan tersebut dengan tertib dan damai. Namun, konflik sudah terjadi secara berkepanjangan. Jokowi pun mengambil langkah untuk membentuk Tim Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk mengkaji ulang kegiatan tersebut melalui proses mediasi yang dilaksanakan bulan April 2017 lalu. KLHS diharapkan dapat menjadi win-win solution dan pedoman bagi kedua belah pihak dalam mengambil setiap keputusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H