Mohon tunggu...
Natalia
Natalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa yang tertarik pada isu sosial dan lingkungan, selain itu saya juga suka membaca atau menonton film yang sedang ramai atau baru dirilis.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Fenomena Childfree di Indonesia: Antara Pilihan dan Tantangan

6 Desember 2024   17:19 Diperbarui: 6 Desember 2024   17:29 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Childfree adalah istilah untuk menggambarkan Keputusan pasangan suami istri atau seseorang yang tidak ingin memiliki anak setelah menikah. Childfree sendiri sudah menjadi sebuah budaya di negara-negara maju yang berada di Eropa dan Amerika. Fenomena childfree mulai  marak di Indonesia sejak tahun 2020, dan prevalensinya sempat menurun pada saat terjadi pandemi. Namun, setelah masa pandemi angka childfree mulai kembali meningkat, pada saat ini tercatat bahwa 71 Ribu Perempuan di Indonesia mengaku tidak ingin memiliki anak. Pilihan ini paling sering ditemukan pada perempuan dengan tingkat pendidikan tinggi, yang beranggapan bahwa menjadi orang tua membutuhkan pengorbanan besar, baik dari sisi emosional maupun finansial.

Beragam faktor turut memengaruhi peningkatan fenomena childfree di Indonesia, dan prevalensinya kini diperkirakan mencapai 8 persen. Salah satu faktor utamanya adalah trauma masa kecil, khususnya akibat fenomena fatherless. Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat fatherless yang tinggi, bahkan berada di peringkat ketiga dunia. Kondisi fatherless yang tinggi ini merupakan salah satu faktor dari meningkatnya angka childfree di Indonesia. Anak yang tumbuh tanpa peran seorang ayah berkemungkinan besar memiliki trauma dalam kehidupan berkeluarga. Hal tersebut berakibat pada psikis anak dan menyebabkan anak cenderung sulit dalam menentukan pilihan hidupnya. Selain itu, fatherless juga berakibat pada kesulitan anak dalam menentukan identitas seksualnya, dan menjadikan anak cenderung lebih mudah untuk terlibat LGBT. Secara statistik, orang yang memilih jalan hidup ini memiliki kemungkinan lebih kecil untuk memiliki anak.

Fenomena fatherless juga diperparah oleh meningkatnya angka perceraian, yang berkontribusi pada penurunan angka pernikahan di Indonesia. Pada tahun 2023, angka pernikahan turun sebesar 7,51 persen. Akibatnya, semakin banyak perempuan yang memilih menjadi independen dan fokus pada karier. Sebagian dari mereka menganggap memiliki anak sebagai hambatan dalam mengejar karier. Kondisi ini diperburuk oleh diskriminasi di beberapa perusahaan yang melarang karyawan perempuan menikah atau memiliki anak selama masa kontrak kerja.

Selain pertimbangan dari aspek sosial, childfree juga disebabkan oleh faktor psikologi. Saat ini Indonesia didominasi  oleh generasi Z yang Sebagian besar dari mereka cenderung memiliki pikiran terbuka terhadap budaya baru. Generasi Z juga sering disebut sebagai generasi stroberi yang maknanya adalah generasi ini lembut dan rapuh, mirip  dengan buah stroberi yang mudah  membusuk dan hancur. Generasi Z sering kali dinilai memiliki mental yang lemah, hal ini dikarenakan pada saat ini mereka mendominasi media sosial untuk membagikan atau mengekspresikan keluhan di hidup mereka. Istilah “mental health” merupakan kata yang sering muncul di kalangan Generasi Z, banyak dari mereka yang beranggapan bahwa childfree adalah salah satu cara untuk menjaga mental health. Mereka kerap menjadikan mental health sebagai prioritas, dengan anggapan bahwa memilih untuk tidak memiliki anak dapat membantu menjaga stabilitas emosional. Selain itu, tren seperti "marriage is scary" semakin populer di kalangan Generasi Z, yang menganggap pernikahan dan memiliki anak sebagai sumber stres besar. Faktor fisik dan sosial juga memengaruhi keputusan perempuan untuk childfree. Standar kecantikan yang menuntut tubuh ideal membuat banyak perempuan enggan menghadapi perubahan fisik yang terjadi selama kehamilan. Persepsi ini diperkuat oleh maraknya kasus perselingkuhan, di mana sebagian pria mengaku kehilangan ketertarikan pada pasangan mereka setelah melahirkan. Kombinasi tekanan sosial ini menjadikan childfree semakin relevan di kalangan perempuan muda Indonesia.

Namun, fenomena childfree juga dapat dilihat dari sudut pandang positif. Dengan angka kelahiran yang masih relatif tinggi, keputusan untuk tidak memiliki anak dapat membantu menekan laju pertumbuhan penduduk. Hal ini relevan di tengah tantangan sosial dan ekonomi yang dihadapi Indonesia. Childfree juga membuka peluang bagi generasi muda untuk fokus pada pengembangan diri, keterampilan, dan karier, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam konteks program Indonesia Emas 2045, ini bisa menjadi langkah strategis untuk menciptakan generasi yang lebih produktif. Namun demikian, jika fenomena ini terus berkembang tanpa pengelolaan yang tepat, dampaknya bisa menjadi tantangan serius bagi demografi Indonesia di masa depan. Penurunan angka kelahiran dapat menyebabkan ketidakseimbangan populasi, di mana jumlah penduduk produktif lebih sedikit dibandingkan penduduk non-produktif. Hal ini dapat memengaruhi stabilitas ekonomi, khususnya ketika Indonesia menghadapi transisi menuju negara maju.

Fenomena childfree adalah refleksi perubahan nilai-nilai dalam masyarakat modern. Meskipun ia membawa potensi untuk perbaikan kualitas hidup, dampak jangka panjangnya perlu diantisipasi. Dibutuhkan pendekatan yang seimbang, baik dalam kebijakan pemerintah maupun dukungan sosial, untuk memastikan bahwa keputusan childfree tidak hanya menjadi tren, tetapi juga bagian dari transformasi sosial yang bertanggung jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun