Saya pernah beruntung (atau sial?) nonton pas banget di sebelah Nicholas Saputra, dan pengalaman itu mengubah hidup saya.
Nonton apaan? Kapan? Di mana? Kok bisa? Terus apa pelajaran hidupnya?
Tenang, semua akan dijawab di bawah ini.
(Oke, sudahlah, cukup dong cari perhatiannya)
Di tahun 2013 lalu saya berkesempatan menonton Twenty Feet From Stardom di sebuah festival film, Erasmusindocs, dan saya tuliskan di tulisan ini. Yang belum saya ceritakan dalam tulisan saya itu, sebenarnya kebetulan banget saya duduk di sebelah kirinya Nicholas Saputra! Huwoohh! Iya, saya ingat banget ada di sebelah kirinya, karena deg-degannya memang patut dikenang di sebelah kiri saya ada seorang teman saya.
Tempat kami menonton adalah ruang auditorium di Erasmus Huis, dan barisan saya menonton adalah barisan tengah, pas setelah ada undakan naik. Buat yang belum tahu seperti apa auditoriumnya Erasmus Huis, kalau saya tidak salah ingat daerah penontonnya menyerupai 'setengah segi enam' dan kursi yang digunakan adalah kursi biasa. Kondisi lantai nyaris rata, tetapi tiap 3-4 baris ada undakan naik. Jadi posisi saya duduk adalah di kursi setelah undakan naik, dan ini memang posisi yang enak sekali buat menonton ke arah panggung karena tidak ada kepala orang (selama bukan manusia yang sangat tinggi) yang akan menghalangi saya.
Saya sudah menulis di tulisan saya bertanggal November 2013 tadi, kalau filmnya mengena banget dan bahkan mengiris hati (bagi saya). Itu adalah kesan akhir setelah nonton film tersebut. Tapi di bagian awal menonton, saya sempat gak enak hati dan kesal sendiri, gara-gara terjadi insiden antara saya dan Nicsap. Tepatnya saya kena teguran dan tatap sinis Nicsap!
Gara-gara apa? Gara-gara saya masih membuka dan mengecek handphone saya padahal film telah dimulai di bagian pembuka, dan Nicsap terganggu dengan pendar sinar layar handphone saya. Padahal saya sudah melakukan pengaturan cahaya agar yang paling minimal lho.
Awalnya saya gondok.
Tapi saya mana berani dong dengan seorang Nicsap (halah). Jadi handphone saya simpan, kondisi silent, dan tidak saya tengok-tengok lagi.
Nah, masih ada lanjutannya. Di tengah-tengah menonton film, gantian teman di sebelah kiri saya yang membuka handphone dan entah scrolling-scrolling apa.
Coba kamu bayangkan seorang Nicholas Saputra menengok ke arah (sebelah) kamu, dalam ruangan bersuasana bioskop yang remang-remang, lalu tatapan matanya dingin menusuk tajam, bahkan sangat tajam dan melelehkan hati (padahal bukan ke arah kamu).