Kasus penyerangan kantor polisi oleh massa telah berulang kali terjadi dengan korban variatif. Ada kalanya korban lebih banyak jatuh di pihak penyerang dan ada kalanya korban lebih banyak jatuh di pihak yang diserang.
Selama ini, Komnas HAM dan sejenisnya cenderung bersikap seperti seorang ayah yang menghukum anak sulungnya gara-gara anak bungsunya menangis setelah bertengkar dengan kakaknya. Sang ayah tidak peduli dengan sepak terjang si bungsu yang nyaris mencelakai si sulung.
Dalam kasus penyerangan Kantor Polsek Moeanemani (Kab. Dogiyai, Papua), Komnas HAM Papua hanya melihat adanya korban tewas di pihak massa penyerang, tanpa mempedulikan kronologis dan kerugian lainnya seperti pasar, Gereja GKI, masjid, BTS, serta kendaraan roda empat dan roda dua yang dibakar oleh massa penyerang.
Polisi tidak akan secara tiba-tiba menembak seseorang kecuali ada alasan tertentu yang logis dan dibenarkan oleh hukum.Logis dalam artian, siapapun yang terancam keselamatannya pasti akan membela diri.Dibenarkan oleh hukum dalam artian, tindakan membela diri untuk mempertahankan keselamatan dibenarkan oleh hukum.
Persuasif adalah istilah yang paling sering dikampanyekan oleh Komnas HAM.Istilah ini memang terkesan bijaksana, namun jika massa secara tiba-tiba menyerang Kantor Komnas HAM Papua tanpa permisi, apakah pengurus kantor tersebut bisa bersikap persuasif ? Apabila Komnas HAM Papua dipersenjatai revolver, pasti akan lebih banyak lagi korban tewas dibanding dengan yang terjadi di Kantor Polsek Moanemani.
“Jangan Merasa Bisa, Namun Bisalah Merasakan” mungkin bisa digunakan Komnas HAM sebagai starting point dalam melaksanakan tugasnya.
Lihat :
Komnas HAM Papua Sesalkan Kasus Moanemani
Friday, 15 April 2011 22.49
http://tabloidjubi.com/index.php/daily-news/jayapura/11789-komnas-ham-papua-sesalkan-kasus-moanemani
JUBI --- Komnas HAM Perwakilan Papua sangat menyayangkan kasus penembakan terhadap warga sipil di Moanemani, ibukota Kabupaten Dogiyai, Rabu dan Kamis (13-14/4) lalu.
Menyikapi tragedi berdarah tersebut, Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Matius Murib, Jumat (15/4), mengingatkan aparat keamanan agar senantiasa mengedepankan pendekatan persuasif dalam menangani suatu persoalan.
Dikatakan, aparat seharusnya memahami karakter dan kultur budaya orang asli Papua. Pendekatannya harus persuasif, bukan dengan cara kekerasan, pemaksaan, penyiksaan dan diakhiri dengan pembunuhan.
Matius menegaskan, “Orang asli Papua menjadi korban dengan berbagai alasan. Lantas, mengapa polisi dengan begitu mudah memakai senjata api menembak mati warga sipil? Semua warga punya hak yang sama untuk hidup. Kematian harus atas kehendak Tuhan!.”
Kasus yang terjadi Rabu (13/4) dan berlanjut Kamis (14/4) menewaskan tiga orang sipil. Beberapa warga menderita luka-luka, termasuk Kapolsek Kamuu, Mardi Marpaung terkena bogem mentah.
Laporan terakhir, situasi secara umum di Moanemani masih belum kondusif. Aparat Polri dan TNI dari Paniai, Nabire dan Timika kabarnya sudah dikerahkan ke Dogiyai untuk mengamankan situasi. (Markus You)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H