Mohon tunggu...
Nasywa Shellena Oktavira
Nasywa Shellena Oktavira Mohon Tunggu... Mahasiswa - A college student, majoring in International Relations.

i'm a college student who have so much things to achieve in near future

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strategi Pertahanan Tiongkok Terhadap Taiwan di Bawah Kepemimpinan Xi Jinping

17 April 2022   22:42 Diperbarui: 17 April 2022   22:44 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelum membahas lebih lanjut terkait strategi pertahanan negara Tiongkok dalam menghadapi Taiwan, akan dijelaskan secara singkat terkait apa yang menyebabkan terjadinya konflik yang melibatkan kedua negara tersebut yang mana terjadi pada tahun 1927 hingga 1949. Inti dari konflik ini sebenarnya adalah bahwa Tiongkok menganggap Taiwan merupakan bagian dari wilayahnya, namun Taiwan bersikeras bahwa ia merupakan negara berdaulat yang terpisah dari Tiongkok. Awal memanasnya konflik ini adalah pada saat kekalahan Partai Nasionalis Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-Shek melawan Partai Komunis Tiongkok di bawah pimpinan Mao Zedong dalam perang saudara di tahun 1949. Pasca kekalahan Partai Kuomintang tersebut, Tiongkok mulai melancarkan usahanya dalam mengambil alih kekuasaannya. Partai Kuomintang yang tidak setuju untuk menjadi bagian dari Tiongkok akhirnya melarikan diri ke Taiwan (Pulau Fermosa) dan membentuk pemerintahannya sendiri di pulau tersebut.

Kemudian, di tahun 1950, muncul keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik ini, di mana mereka bersekutu dengan Taiwan dan membantu rakyat Taiwan dalam melawan Tiongkok jika sewaktu-waktu muncul ancaman atau bahkan terjadi serangan dari negara tersebut. Amerika Serikat telah dengan terang-terang menunjukkan keterlibatannya dalam melindungi Taiwan, mereka memberikan pasokan senjata kepada negara tersebut dengan jumlah yang besar. Kedua negara yang berseteru, Tiongkok dan Taiwan, kemudian saling menaruh curiga satu sama lain dan mulai mengerahkan usahanya dalam mempertahankan negaranya serta untuk mencapai kepentingan nasionalnya masing-masing. Konflik antara kedua negara tersebut semakin memanas tatkala munculnya sebuah konsensus “One China Policy” pada tahun 1992 di mana Tiongkok menegaskan bahwa Taiwan merupakan bagian dari negaranya, dan bahwa setiap negara yang menjalin kerjasama dengannya tidak boleh melakukan hubungan diplomatik dengan Taiwan.

Pada masa kepemimpinan Xi Jinping, Tiongkok bersikeras untuk menggagalkan upaya Taiwan dalam memisahkan diri dari Tiongkok dan mendirikan negaranya sendiri. Ia terus menjunjung kebijakan “One China Policy” dan menegaskan bahwa negara-negara lain yang bekerjasama dengannya harus menghormati kebijakan tersebut. Xi Jinping juga terus meningkatkan kekuatan negaranya dan membatasi pemerintahan Taiwan yang dipimpin oleh presiden Tsai Ing-Wen, ditambah lagi hubungan erat antara Amerika Serikat dan Taiwan yang bahkan telah terikat dalam undang-undang membuat Tiongkok merasa ancaman yang diberikan oleh Taiwan kian membesar. Xi Jinping meningkatkan kekuatan negaranya tak hanya dalam sektor militer, namun juga pada sektor ekonomi dan politik.

Dalam sektor militer, Tiongkok turut meningkatkan kekuatan militernya berkali-kali lipat tatkala melihat ancaman dari Taiwan-Amerika Serikat yang dirasa sangat serius. Amerika Serikat tidak hanya mengirimkan pasokan persenjataan kepada Taiwan, ia juga kerap mengirimkan kapal selam kepada negara tersebut. Melihat ancaman yang begitu besar datang dari Taiwan yang dibantu oleh Amerika Serikat, People’s Liberation Army (PLA), tentara di bawah pemerintah Tiongkok (dengan banyak anggota sekitar 0,18% dari warga Tiongkok atau lebih dari 2 juta anggota), akhirnya mengeluarkan beberapa strategi kebijakan, antara lain: 1) Maritime Blockade, dalam strategi ini, PLA melancarkan serangan rudal serta menyita pulau-pulau lepas pantai Taiwan. Mereka juga turut mengancam kapal-kapal yang keluar masuk dari Pelabuhan Taiwan menggunakan armada kapal selam angkatan laut terbesar di kawasan Asia Timur; 2) Limited Force or Coercive Options, strategi ini dijalankan oleh Tiongkok dengan menyerang infrastruktur dan kepemimpinan di Taiwan dengan tujuan untuk menurunkan rasa percaya masyarakat Taiwan terhadap pemimpinnya; 3) Amphibious Invasion, di mana PLA melakukan kampanye pendaratan pulau secara bersamaan dengan tujuan untuk menerobos pertahanan pantai di Tawian dan membangun tempat untuk pendaratan; dan 4) Air and Missile Campaign, dalam strategi ini, Tiongkok telah mempersiapkan rudal DF-16 yang dapat menyerang Taiwan dari jarak 1.000 hingga 1.500 km. Rudal-rudal balistik tersebut kemudian diarahkan untuk menyerang negara tersebut.

Selanjutnya, dalam sektor politik, Tiongkok tidak ingin Taiwan menjadi negara yang merdeka dan berdaulat yang dapat menjalin hubungan kerjasama ataupun berdiplomasi dengan negara lain. Atas alasan tersebut, Tiongkok kemudian mengeluarkan beberapa strategi dan kebijakan, antara lain kebijakan “A United Front”, “Interfence in Taiwan Politics”, serta “Isolated and Alone”. Di antara ketiga strategi tersebut, Tiongkok melihat bahwa strategi “Isolated and Alone” merupakan strategi yang paling efektif dan dengan itu mereka mendorong terus kebijakan tersebut dengan tujuan untuk menghilangkan pengakuan dari forum-forum resmi internasional terhadap kedaulatan Taiwan. Terlebih, Xi Jinping juga terus menegaskan tentang kebijakan “One China Policy” untuk mencegah negara-negara lain bekerjasama dengan Taiwan. Strategi ini yang dikerahkan oleh Tiongkok ini dapat dikatakan berhasil, melihat status Taiwan yang hingga saat ini masih belum diakui sebagai negara berdaulat oleh dunia internasional, termasuk PBB.

Kemudian, yang terakhir adalah dalam sektor ekonomi, di mana Taiwan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap ekonomi Tiongkok. Dalam hal ini, Tiongkok telah mempersiapkan strategi jika Taiwan benar-benar akan memisahkan diri dari Tiongkok. Strategi yang telah disiapkan Tiongkok adalah, yaitu: 1) pengurangan jumlah wisatawan ke Taiwan, di mana pada tahun 2015, jumlah pengunjung yang mengambil penerbangan antara Taiwan dan Tiongkok mencapai sekitar 900 orang per-minggu, di mana angka tersebut bukanlah angka yang kecil. Namun, setelah Tiongkok menerapkan kebijakan pengurangan wisatawan, pada tahun 2015 hingga tahun 2016, jumlah pengunjung dari Tiongkok ke Taiwan menurun sebanyak 20%; 2) strategi Tiongkok untuk meyakinkan Taiwan bahwa sektor perekonomian Taiwan tidak akan maju tanpa bantuan Tiongkok. Karena, walaupun kedua negara tersebut berkonflik, tetapi mereka tetap menjalin kerjasama yang bagus dalam sektor perekonomian sejak tahun 2002, di mana Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar bagi Taiwan; 3) Tiongkok mempermudah warga Taiwan yang bekerja di negaranya. Dilansir dari China Taiwan Affairs, bahwa Tiongkok telah membuat 31 kebijakan preferensi baru dengan tujuan untuk menarik warga Taiwan untuk bekerja, berinvestasi, serta tinggal di Tiongkok.

REFERENSI

Inneke Firsana Dewi dan Karina Utami Dewi. 2019. “Strategi Pemerintahan Xi Jinping terhadap Taiwaan dalam Mengamankan Kedaulatan Tiongkok”. https://journal.umy.ac.id/index.php/jhi/article/view/5631 diakses pada Kamis, 14 April 2022.

Firsana Dewi, Inneke. 2018. “Strategi Keamanan Tiongkok terhadap Taiwan di Masa Pemerintahan Xi Jinping”. https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/13313 diakses pada Jum’at, 15 April 2022.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun