Mohon tunggu...
Nasywa Raya Zakya Jauhari
Nasywa Raya Zakya Jauhari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang

-

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Aspek Yuridis Perjanjian Utang Piutang Tidak Tertulis Berdasarkan Hukum Perdata

19 Desember 2024   15:25 Diperbarui: 19 Desember 2024   15:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ASPEK YURIDIS PERJANJIAN UTANG PIUTANG TIDAK TERTULIS BERDASARKAN HUKUM PERDATA 

Perjanjian merupakan hal yang umum dalam kehidupan manusia, bahkan menjadi kebiasaan. Menurut Aristoteles manusia menjadi makluk sosial dengan artian lain, Zoon Politicon yg tidak lain mempunyai pengertian bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yg selalu berhubungan atau bergantung dengan manusia lainnya. Menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, "perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih." Dari pasal tersebut bisa digambarkan dengan adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Ada dua bentuk perjanjian yang dapat dibedakan, yaitu perjanjian tertulis merupakan perjanjian yg dibuat oleh pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian tidak tertulis merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk lisan dengan kesepakatan para pihak. Perjanjian lisan yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tanpa kita sadari yaitu perjanjian utang piutang.

Perjanjian adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika para pihak saling berjanjiuntuk melaksanakan perbuatan tertentu. Istilah perjanjian sering juga diistilahkan dengan istilah kontrak. Kontrak atau contracts (dalam Bahasa Inggris) dan overeenkomst (dalam Bahasa Belanda) dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak dengan perjanjian merupakan istilah yang sama karena intinya adalah adanya peristiwa para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan dan berkewajiban untuk menaati dan melaksanakannya sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut perikatan (verbintenis).[1] Menurut Subekti "perjanjian adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau lebih, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak lain, dan pihak yang lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu."[2] Dalam pasal 1314 KUHPerdata bahwa suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu perjanjian dengan cuma-cuma merupakan suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu menaruh suatu keuntungan pada pihak lain, tanpa mendapat suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (prestasi). Yang dimaksud dengan pihak di sini adalah suatu badan hukum yang terdiri dari dua orang atau lebih. Salah satu pihak mempunyai hak untuk melaksanakan prestasi, atau disebut kreditur atau orang yang berpiutang, dan pihak lain mempunyai kewajiban untuk melaksanakan prestasi, disebut juga debitur atau si berutang.[3]

Hutang Piutang adalah proses antara orang yang berhutang atau debitur dengan orang lain atau pihak lain kreditur yang memberi hutang, dimana kewajiban untuk melakukan suatu prestasi yang dipaksakan melalui suatu perjanjian atau melalui pengadilan. Yang dimaksud dengan prestasi yaitu suatu kewajiban yang harus dipenuhi, dalam ilmu hukum kewajiban adalah suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang bersifat mengikat. Menurut Gatot Supramono, Utang piutang adalah perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dan objek yang diperjanjikan biasanya merupakan uang. Kedudukan pihak yang satu sebagai pihak yang menaruh pinjaman, sedangkan pihak yang lain mendapat pinjaman uangnya. Uang yang dipinjam akan dikembalikan pada jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan atau perjanjian.[4]

Dasar dalam sebuah perjanjian pinjam-meminjam secara lisan yaitu rasa kepercayaan kreditur yang meminjamkan uangnya, kreditur memberi kepercayaan bahwa uang yang ia pinjamkan akan di kembalikan atau dibayarkan kembali oleh debitur dalam jangka waktu yang telah di sepakati oleh para pihak. Namun, perjanjian lisan yang umum sering kali menimbulkan dampak merugikan terhadap kreditur, karena debitur gagal membayar atau mengingkari janjinya (wanprestasi) karena pembayaran tidak dilakukan dengan lancar. Wanprestasi dengan istilah ingkar janji yaitu "Kewajiban yang tidak dipenuhi atau kelalaian yang dilakukan oleh debitur baik karena tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan maupun melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan."[5] Wanprestasi dapat disebut juga sebagai ingkar janji atau kelalaian (melanggar perjanjian). Oleh karena itu wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang debitur tidak memenuhi atau tidak melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditentukan dalam suatu perjanjian. Debitur seringkali gagal memenuhi kewajibannya untuk membayar kembali uang kreditur sehingga mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Keterlambatan pembayaran tentu merugikan salah satu pihak, dan pihak yang menimbulkan kerugian wajib  memenuhi kewajibannya melalui ganti rugi sesuai syarat yang disepakati dalam KUHPerdata.[6]    

Perjanjian tidak tertulis merupakan perjanjian yang sering dipilih atau digunakan pada saat pelaksanaan suatu kegiatan karena lebih sederhana atau tidak memakan banyak waktu dalam pembuatan suatu perjanjian. Keabsahan perjanjian yang tidak tertulis atau lisan tidak diatur secara tegas dalam KUHPerdata, namun hal ini dapat dipertimbangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi," Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."[7] Perjanjian tidak tertulis atau lisan mempunyai kekuatan hukum, namun tidak sekuat perjanjian tertulis dalam membuktikan bahwa seseorang telah melakukan wanprestasi. Oleh karena itu, perjanjian lisan bergantung pada pembuktian kebenaran para pihak. Dalam KUHPerdata terdapat syarat dalam Pasal 1320 yang memuat empat syarat sahnya, yaitu:[8]

  • Kesepakatan untuk suatu pengikatan diri,
  • Adanya suatu cakap atau kecakapan untuk membuat suatu perjanjian,
  • Adanya suatu hal tertentu yang mengikat,
  • Suatu sebab yang halal.

Para pihak dalam perjanjian lisan wajib menjalankan prestasi yang disepakati. Hingga ketentuan-ketentuan sah dalam perjanjian ini dipenuhi, maka dengan itu perjanjian bisa disebut sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak. Jika debitur melakukan wanprestasi berdasarkan pada ketentuan perikatan akan menerima akibat hukum atau sanksi hukum, yaitu:[9] 

  • Menurut ketentuan pasal 1243 KUHPerdata, debitur diwajibkan membayar ganti rugi yang telah diderita oleh kreditur;
  • Menurut ketentuan pasal 1266 KUHPerdata, apabila perikatan tersebut bersifat timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan malalui hakim di pengadilan;
  • Dalam pasal 1237 ayat (2), prestasi yang berarti untuk memberikan sesuatu, resikonya berpindah kepada debitur sejak terjadi wanprestasi;
  • Dalam pasal 1267 KUHPerdata, dinyatakan bahwa debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian; 
  • Debitur wajib membayar biaya perkara jika debitur dinyatakan bersalah oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri.

Perjanjian lisan tidak sama dengan perjanjian tertulis dari segi akibat hukumnya. Perjanjian lisan tidak memiliki bukti tertulis, sehingga sulit untuk mengumpulkan bukti di pengadilan karena para pihak dapat menolak perjanjian tersebut. Pada tahap pembuktian suatu perjanjian lisan apabila salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi), Pasal 1866 KUH Perdata mengatur secara rinci alat bukti hukum perdata yang terdiri atas alat bukti surat, alat bukti saksi, dan alat bukti dugaan atau persangkaan, alat bukti pengakuan dan alat bukti sumpah.[10] 

Dalam pasal 1905 KUHPerdata yang berbunyi, "Apabila keterangan hanya terdapat dari satu orang saksi saja tanpa adanya suatu alat bukti dari perjanjian tersebut maka keterangan dari saksi tidak dapat dikatakan sah." Sehingga pada suatu perjanjian hutang piutang wajib menyertakan bukti ataupun menyertakan saksi pada masalah yang terjadi, akibat perjanjian lisan harus lebih dari satu orang apabila masih tidak ada bukti yang konkrit.[11] Dalam pasal 1866 KUHPerdata dimana disitu mengatur mengenai alat bukti dalam hukum perdata yang terdiri dari atas bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Oleh karena itu perjanjian dibuat hanya dalam bentuk lisan, maka alat bukti berupa tulisan tidak dapat digunakan untuk membuktikan perjanjian yang tidak dibuat secara tertulis. Jenis alat bukti selanjutnya yang dapat digunakan dalam situasi tersebut adalah alat bukti berupa keterangan saksi. Hal ini dapat digunakan apabila saksi pada saat kesepakatan para pihak ada di tempat, alat bukti berupa pengakuan, atau pembuktian, dibuat di bawah sumpah. Artinya, ketika seseorang bersumpah mengakui apa yang telah dikatakan atau dilakukannya dengan menyebut nama tuhan.[12]  

Keterangan saksi adalah alat bukti yang diberikan langsung secara lisan oleh seorang saksi yang bukan pihak dalam perkara untuk meyakinkan hakim di pengadilan mengenai perkara yang sedang dihadapi. Saksi adalah seseorang yang memberikan keterangan tentang apa yang diketahuinya tentang suatu peristiwa yang terjadi. Pasal 1905 KUHPerdata juga memuat pasal yang berbunyi, "keterangan satu saksi saja tanpa alat bukti lainnya dimuka pengadilan tidak boleh dipercaya."[13] 

Kekuatan saksi ini dapat digunakan sebagai alat bukti yang kuat dalam hal perjanjian hutang dan piutang yang tidak tertulis. Sebab, saksi memberikan keterangan dan alasan mengenai hal-hal yang diketahui, dan keterangannya dianggap mempunyai nilai pembuktian tersendiri seiring dengan putusannya yang akan diserahkan kepada hakim.[14] Seiring dengan perkembangan zaman alat bukti yang dapat digunakan dalam perkara perdata perjanjian utang piutang tidak tertulis yaitu alat bukti surat elektronik. Menurut Pasal 6 UU ITE, "suatu informasi elektronik atau dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan, dimana sistem elektronik yang dimaksud adalah sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhui persyaratan." Oleh karena itu, alat bukti elektronik surat dapat menguatkan keterangan saksi yang hadir dalam sidang tersebut. Dalam perkara perdata, perjanjian mengenai utang piutang yang tidak tertulis tidak hanya mengandalkan saksi saja tetapi juga bukti-bukti pendukung berupa surat elektronik seperti percakapan melalui WhatsApp, rekaman audio dan foto/gambar yang ada di dalamnya. Bisa juga berupa bukti transfer jika dilakukan secara online dan bukti foto/video kedua belah pihak yang menerima kiriman uang tersebut dengan bentuk uang.[15]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun