Kasus pemerkosaan adalah salah satu isu sosial yang paling mendesak dan kompleks di seluruh dunia. Setiap tahun, jutaan perempuan dan laki-laki menjadi korban tindak kekerasan seksual, yang tidak hanya merusak fisik tetapi juga meninggalkan dampak mendalam pada kesehatan mental dan emosional mereka. Data dari Lembaga pemerintah dan organisasi nonpemerintah menunjukkan bahwa banyak kasus yang tidak dilaporkan, disebabkan oleh stigma sosial, ketakutan akan pembalasan, dan kurangnya dukungan hukum yang memadai.
     Â      Budaya patriarki dan norma sosial yang sering kali memperburuk situasi, membuat korban merasa tertekan untuk tidak melaporkan kejadian yang dialaminya. Dalam konteks ini, penting untuk memahami berbagai aspek yang mempengaruhi penanganan kasus pemerkosaan, termasuk aspek hukum, psikologis, dan budaya. Melalui artikel ini, kita akan mengekspolarsi apa saja penyebab dan solusi yang bisa kita lakukan dalam menghadapi kasus pemerkosaan, serta pentingnya Pendidikan dan perubahan kebijakan untuk menciptakan ligkungan yang lebih aman dan mendukung bagi korban pemerkosaan.
      CATAHU 2023 mencatat jumlah kekerasan terhadap permpuan di Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 289.111 kasus.  Data ini menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan mengalami penurunan (55.920 kasus, atau sekitar 12%) dibandingkan tahun 2022 (informasi lengkap tentang Data CATAHU Komnas Perempuan dapat dilihat dalam Lampiran Lembar Fakta). CATAHU 2023 juga mencatat karakteristik korban dan pelaku masih menunjukkan tren yang sama, yaitu korban lebih muda dan lebih rendah pendidikannya daripada pelaku. Selama tiga tahun terakhir jumlah pelaku sebagai pihak yang seharusnya menjadi panutan, pelindung, dan simbol kehadiran negara naik 9%, melampaui dari rata-rata Catahu 21 tahun sebesar 5% (informasi lengkap data kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2023 dapat dilihat dalam Lembar Fakta CATAHU Komnas Perempuan Tahun 2024).
      Sebagai contoh adalah kasus pemerkosaan seorang wanita penjual gorengan di Sumatera Barat bernama Nia Kurnia Sari pada 6 September 2024. Diketahui motif pelaku adalah nafsu saat melihat korban dan berniat melakukan pemerkosaan. Bahkan baru-baru ini juga terjadi sebuah kasus pemerkosaan di India dimana korban adalah seorang dokter. Korban ditemukan dalam keadaan tak bernyawa dan dengan sperma sebanyak 150 ml yang ditemukan ditubuhnya. Rata-rata dari kasus seperti ini motifnya adalah karena adanya hawa nafsu yang tidak bisa mereka kendalikan.
      Korban dari tindak pemerkosaan pasti mengalami gangguan psikologi. Mereka merasakan adanya trauma, PTSD, depresi, gangguan kecemasan, rasa bersalah, malu, serta juga bisa berakibat pada kesulitan menjalin hubungan. Oleh karena itu, diperlukan bantuan dari pemerintah agar dapat membantu penyembuhan psikologis dari korban. Dengan adanya terapi psikologis, dukungan dari lingkungan, serta dengan lingkungan yang aman dapat menjadi penyembuh dari psikis korban. Selain itu kita juga harus mencegah agar tidak terjadi kasus pemerkosaan dengan cara memberikan pendidikan seksual, mempertegas hukum, dan menegaskan adanya pemberdayaan perempuan.
      Dampak pemerkosaan pada psikologi korban sangat mendalam dan bervariasi. Namun, dengan dukungan yang tepat dan strategi pemulihan yang efektif, korban dapat menemukan jalan menuju penyembuhan. Kesadaran dan empati dari masyarakat sangat penting dalam membantu korban mengatasi trauma dan memulai proses penyembuhan.Pencegahan pemerkosaan memerlukan pendekatan yang holistik dan melibatkan semua elemen masyarakat. Dengan pendidikan, pemberdayaan, dan kesadaran, kita dapat bekerja bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua individu. Kesadaran dan tindakan kolektif adalah kunci untuk mengurangi dan akhirnya mengakhiri kekerasan seksual di masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H