Mohon tunggu...
Nasywa Ashfiya
Nasywa Ashfiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi melakukan perjalanan berbudaya

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Monumen Yogya Kembali sebagai Perekam Sejarah Kolonial Yogyakarta

8 Desember 2024   18:48 Diperbarui: 8 Desember 2024   19:15 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalian pasti tau bahwa Yogyakarta memiliki banyak sejarah yang mencatat dari berbagai masa. Kali ini, saya mengunjungi tempat seni bersejarah dari masa kolonial yang sangat unik karena bangunannya berbentuk kerucut. Bangunan ini adalah monumen yang dibangun untuk merayakan kembalinya Yogyakarta sebagai Ibu Kota karena sempat direbut oleh Belanda. Lokasinya ada di Ring Road Utara tepatnya Jalan Monjali, Sleman, Yogyakarta. Monumen Yogya Kembali (Monjali) memiliki banyak makna simbolis dari banyak sisi. Bentuknya yang kerucut menggambarkan nasi tumpeng yang merupakan makanan tradisional Indonesia dan biasa dihidangkan untuk acara perayaan besar dengan lauk pauk di sekelilingnya.

            Saya dan empat teman saya mendatangi Monjali pada hari kerja sehingga pada saat kami kesana, hanya sedikit pengunjung yang datang. Beberapa yang kami temui merupakan rombongan pengajar dari luar Yogyakarta dengan seragam ungunya. Harga tiket masuk Monjali sejumlah Rp15.000 untuk semuanya. Parkiran cukup kecil namun karena tidak banyak yang mengunjungi pada saat itu maka terasa luas. Sisi luar Monjali banyak bunga-bunga dari plastik yang merupakan properti dari wisata malam hari di sana, yaitu Taman Lampion. Sesampainya di sana, kami segera menuju pintu masuk karena cuaca diluar sangat terik. Di pintu masuk, kami langsung disambut oleh staf museum yang mengarahkan kami untuk mengelilingi museum yang telah dibagi menjadi empat ruangan.

            Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Monjali, yang pertama ketika saya masih berumur tiga tahun sehingga sudah banyak memori yang hilang dan kunjungan kedua ini tetap terasa seperti pertama kali datang. Susunan ruangan di Monjali berbentuk melingkar seperti bangunannya. Di Museum 1, terdapat koleksi yang menunjukkan masa kemerdekaan Indonesia. banyak koleksi asli seperti foto-foto proklamasi, alat-alat berupa radio, serta atribut-atribut yang digunakan pada masa proklamasi kemerdekaan Indonesia. Perasaan kembali ke tahun 1945 dibangun dalam ruangan hening itu. Setelah cukup lama menikmati koleksi bersejarah, kami lanjut ke Museum 2.

            Pada Museum 2 berisi berbagai koleksi yang berkaitan dengan Perang Gerilya dengan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta. Salah satu koleksi asli yang menggambarkan semangat pejuang pada masa itu adalah tandu yang mengangkut Jenderal Sudirman pada saat Perang Gerilya dari Semanu menuju Gunungkidul tahun 1948. Jenderal Sudirman menggunakan tandu karena kondisinya yang melemah akibat penyakit tuberculosis (TBC). Tetapi, dengan kondisi yang melemah itu, Jenderal Sudirman tidak gentar dan tetap maju memimpin berperang membela tanah air. Tandu ini terpajang bersama dengan sandal miliki Jenderal Sudirman sehingga menambah kesan yang menakjubkan dari koleksi satu ini. Selain itu, ada pula baju asli miliki Jenderal Sudirman dan beberapa koleksi sumbangan lainnya yang berkaitan dengan Perang Gerilya pada masa Agresi Militer II.

            Memasuki Museum 3, kali ini kami disuguhkan suasana Indonesia pada masa peristira Serangan Umum 1949. Terdapat replika dapur dengan dinding omah gedhek yang merupakan tembok dari anyaman bambu. Beberapa properti pelengkap lainnya berupa alat masak dan manekin yang menunjukkan pergerakan sedang memasak di masa-masa perang. Ada pula manekin yang menggambarkan momen saat pejuang sedang terluka dan dibantu oleh medis ditengah terjadinya perang. Di ruangan ini, kebanyakan koleksi berupa manekin yang menggambarkan kejadian pada masa lampau. Koleksi unik lainnya juga berupa surat-surat yang membuat saya tertarik karena dilindungi hingga tiga kali perlindungan. Perlindungan pertama pada surat berupa laminating, kemudian ada frame setiap surat, dan perlindungan terakhir berupa pelindung kaca secara keseluruhan surat-surat yang dipajang.

            Setelah menikmati Museum 3 yang membawa kami kembali ke masa Serangan Umum, Museum 4 membawa kami merasakan ketika Yogyakarta dipilih menjadi Ibu Negara Republik Indonesia.

            Oh iya, di tengah gedung lantai 1 terdapat ruangan serbaguna yang dimanfaatkan untuk berbagai acara dari museum bahkan acara pernikahan yang dapat direservasi oleh peminjam fasilitas. Ruangan serbaguna ini berisi satu panggung yang lebih tinggi dari lantai aslinya dan disediakan kursi-kursi di depan panggung. Jika tidak digunakan untuk acara, staf Monjali biasanya memutarkan rekaman dokumenter yang menceritakan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Ruangan ini menjadi bagian terakhir yang kami kunjungi selepas mengelilingi empat ruangan museum. Setelah menikmati lantai 1 pada Monjali, kami melanjutkan wisata sejarah menuju lantai 2. Untuk mencapai lantai 2, kami harus keluar gedung terlebih dahulu, dan sedikit memutari kolam yang mengelilingi Monjali, kemudian menaiki tangga yang ada di sisi berbeda dari pintu masuk dan pintu keluar Monjali lantai 1. Tangga untuk ke lantai 2 cukup banyak dan terdapat pegangan yang membantu sekaligus membatasi pembagian lantai untuk naik dan turun. Pintu masuk dan pintu keluar pada lantai 2 berada di tempat yang sama, ini berarti kami harus memutari lantai 2 untuk bisa turun ke lantai 1 kembali. Dengan cuaca yang masih terik, kami berlari kecil agar segera bisa berteduh di dalam gedung.

            Kali ini, lantai 2 pada Monjali memberikan pemandangan yang lebih indah, yaitu diorama yang sepertinya ukuran pada manekin merupakan 1:1 atau seukuran manusia asli. Diorama dibagi menjadi 10 diorama yang menggambarkan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi pada masa lalu di Yogyakarta. Pada saat kami sampai di dalam ruangan, lantai 2 Monjali hari itu tidak ada siapapun selain staf di sana. Suasana yang sangat tenang dan gelap itu membuat kami terlalu nyaman hingga hampir satu jam lamanya. Selain suasananya yang tenang, diorama yang dipamerkan juga sangat menarik karena setiap diorama memiliki audio yang berbeda-beda untuk membuat pengunjung penuh perhatian pada kejadian tersebut. Terdapat pula 40 relief di dinding luar lantai 2 Monjali. Relief ini juga bercerita tentang kejadian yang ada di Yogyakarta hanya saja berbentuk relief. Namun, karena relief ini terletak di luar ruangan yang pada saat itu sangat terik, kami berjalan dengan mata sipit dan langkah kaki yang cepat untuk melanjutkan ke lantai 3 yaitu lantai paling atas dari gedung bangunan Monjali.

            Menurut saya, lantai 3 adalah bagian terpenting dari Monjali karena disebut sebagai Ruang Garbha Graha. Ruangan ini digunakan untuk mendoakan para pahlawan yang telah gugur. Jika dirasakan, ruangan lain pada Monjali dibuat senyap agar tidak berisik, sedangkan lantai 3 dibuat kosong dan bergema. Pada ruangan ini hanya berisi tiang bendera, tulisan persembahan dari mantan presiden Soeharto, relief tangan-tangan yang memegang pena di sisi kanan dan tangan-tangan yang memegang bambu runcing. Walaupun di luar sangat terik dan lantai 3 tidak terdapat pendingin ruangan, ruangan ini tetap didesain sedemikian rupa agar tetap sejuk. Monjali selalu memberikan kesan tenang dan hikmat kepada pengunjungnya dengan visualisasi yang beragam. Saya dan teman-teman saya tidak lupa memberikan penghormatan dan mengirimkan doa kepada pahlawan yang telah gugur sebelum meninggalkan ruangan. Inilah akhir dari perjalanan keliling Monjali pada cerita kali ini.

            Monjali yang merupakan bentuk dari rasa bersyukur masyarakat Jogja karena kembalinya Ibu Negara Indonesia memberikan kesan yang membuat kami menjadi lebih bangga kepada tanah air dan pahlawan daripada sedih. Perasaan yang baru dalam menikmati koleksi museum dan tata ruang yang berbeda pada Monjali wajib dirasakan bagi siapapun yang berkunjung atau sedang berada di Yogyakarta. Bentuk simbolis dari masyarakat Yogyakarta dalam mengenang pahlawan ini sangat berharga untuk dapat dirasakan secara langsung. Tertarik kah kalian jika diajak untuk mengunjungi tempat bersejarah seperti Monjali ini saat sedang berada di Yogyakarta?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun