Pancasila merupakan ideologi yang hanya diterapkan di Indonesia, berbeda dengan negara lain yang menganut ideologi liberalisme, sosialisme, atau komunisme (Wiratama, Budianto & Sumarwoto, 2022). Selain menjadi dasar negara, Pancasila berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi rakyat Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mencerminkan karakter khas bangsa Indonesia yang mengedepankan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Berbeda dengan ideologi lain yang lebih menitikberatkan pada aspek ekonomi atau politik tertentu, Pancasila mengakomodasi berbagai aspek kehidupan secara seimbang (Almahdali, et al., 2024). Hal ini menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang unik dan tidak memiliki padanan di negara lain. Keberadaan Pancasila sebagai ideologi yang eksklusif tidak terlepas dari sejarah dan budaya Indonesia yang beragam. Proses pembentukan Pancasila melibatkan berbagai kelompok masyarakat dengan latar belakang yang berbeda, sehingga menghasilkan suatu ideologi yang mampu menyatukan perbedaan tersebut (Huda, 2018). Faktor politik dan sosial juga turut berperan dalam mempertahankan eksklusivitas Pancasila, karena implementasinya disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia. Keunikan ini menimbulkan pertanyaan mengapa Pancasila hanya dianut oleh Indonesia dan tidak diadopsi oleh negara lain. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis faktor historis, filosofis, dan politik yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi eksklusif.
Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang, terutama dalam konteks perjuangan kemerdekaan. Perumusannya secara resmi dimulai pada sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei--1 Juni 1945. Dalam sidang tersebut, berbagai tokoh nasional mengemukakan gagasannya mengenai dasar negara, termasuk Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Pada 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidato yang memperkenalkan konsep dasar negara yang ia namakan "Pancasila." Pancasila yang diusulkan Soekarno terdiri atas lima prinsip: kebangsaan, internasionalisme atau perikemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Setelah melalui berbagai diskusi dan penyempurnaan, konsep ini kemudian diformalkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara Republik Indonesia (Brata & Wartha, 2017).
Secara filosofis, Pancasila tidak hanya sekadar kumpulan nilai atau norma, tetapi juga mencerminkan pandangan hidup bangsa Indonesia yang bersumber dari budaya dan kearifan lokal. Menurut Notonagoro, Pancasila adalah suatu sistem filsafat yang terdiri atas lima sila yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila bukan hanya sekadar kumpulan asas yang berdiri sendiri, melainkan suatu kesatuan yang membentuk kerangka berpikir masyarakat Indonesia dalam menjalankan kehidupan bernegara. Kaelan (2013) menjelaskan bahwa Pancasila merupakan filsafat yang bersifat khas karena dirumuskan berdasarkan nilai-nilai sosial dan budaya yang telah lama berkembang dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, Pancasila memiliki karakteristik yang berbeda dari ideologi lain, seperti liberalisme yang menitikberatkan pada kebebasan individu atau sosialisme yang menekankan kepentingan kolektif negara di atas individu.
Dalam kajian ideologi negara, Pancasila sering dibandingkan dengan sistem ideologi lain yang dianut oleh negara-negara di dunia. Menurut Francis Fukuyama (1992), ideologi negara dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis utama, yaitu liberalisme, sosialisme, dan fasisme. Liberalisme, yang banyak dianut oleh negara-negara Barat, menekankan kebebasan individu dan ekonomi pasar bebas. Sosialisme, seperti yang diterapkan di beberapa negara Eropa dan Asia, mengedepankan kesejahteraan kolektif dan peran besar negara dalam ekonomi. Sementara itu, fasisme menitikberatkan pada supremasi negara dan kepemimpinan otoriter. Pancasila tidak sepenuhnya sejalan dengan salah satu dari ketiga ideologi tersebut, karena memiliki keseimbangan antara hak individu dan kepentingan kolektif, serta menekankan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan. Oleh karena itu, Pancasila sering disebut sebagai ideologi yang khas dan unik karena menggabungkan berbagai aspek yang tidak ditemukan dalam ideologi lain.
Eksklusivitas Pancasila sebagai ideologi yang hanya dianut oleh Indonesia telah menjadi kajian akademik yang menarik bagi para peneliti di bidang ilmu politik, filsafat, dan sejarah. Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa Pancasila memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan ideologi lain yang dianut oleh negara-negara di dunia. Penelitian yang dilakukan oleh Kaelan (2013) menegaskan bahwa Pancasila bukan sekadar dasar negara, tetapi juga merupakan sistem filsafat yang berakar kuat pada nilai-nilai budaya dan sejarah bangsa Indonesia. Ia menjelaskan bahwa Pancasila tidak dapat dipisahkan dari jati diri masyarakat Indonesia, sehingga sulit untuk diadopsi oleh negara lain yang memiliki latar belakang historis dan sosial yang berbeda.
Kajian lain yang dilakukan oleh Notonagoro menyatakan bahwa Pancasila bersifat unik karena tidak sekadar mengambil unsur dari satu sistem ideologi tertentu, melainkan merupakan sintesis dari berbagai konsep ideologis yang disesuaikan dengan realitas sosial Indonesia. Notonagoro menegaskan bahwa tidak seperti liberalisme yang menekankan kebebasan individu atau sosialisme yang mengutamakan kolektivisme negara, Pancasila menawarkan keseimbangan antara hak individu dan kepentingan bersama. Oleh sebab itu, Pancasila sering kali dianggap sebagai ideologi jalan tengah yang khas dan tidak memiliki padanan di negara lain.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Alfian (1986) juga mendukung gagasan bahwa Pancasila memiliki karakter unik yang membuatnya sulit diterapkan di negara lain. Menurut Alfian, dalam banyak negara, ideologi berkembang secara alami sebagai hasil dari perubahan sosial dan politik yang terjadi dalam jangka waktu panjang. Namun, Pancasila merupakan ideologi yang secara eksplisit dirumuskan dan ditetapkan sebagai dasar negara sejak awal kemerdekaan Indonesia. Hal ini menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang terstruktur dengan nilai-nilai yang disesuaikan secara khusus dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.Beberapa penelitian telah membahas bahwa Pancasila memiliki elemen-elemen yang membedakannya secara fundamental dari sistem ideologi lainnya.
Eksklusivitas Pancasila juga dapat dilihat dari bagaimana ideologi ini berkembang di Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa Pancasila bukan hanya ideologi formal yang tertuang dalam konstitusi, tetapi juga telah mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari nilai-nilai gotong royong, musyawarah untuk mufakat, serta sikap toleransi yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat (Aminullah, 2023). Kajian ini menegaskan bahwa Pancasila lebih dari sekadar teori politik, tetapi juga merupakan refleksi dari karakter bangsa yang sulit ditemukan di negara lain.
Penelitian yang dilakukan oleh menyoroti bahwa Pancasila tetap bertahan sebagai ideologi negara meskipun Indonesia mengalami berbagai tantangan politik, seperti era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi (Pellokila, 2021). Dalam beberapa negara, pergantian sistem pemerintahan sering kali diikuti oleh perubahan ideologi, seperti runtuhnya komunisme di Uni Soviet atau transisi dari fasisme ke demokrasi di beberapa negara Eropa. Namun, Indonesia tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, yang menunjukkan bahwa ideologi ini memiliki fleksibilitas dan daya adaptasi yang tinggi terhadap perubahan zaman.