Mohon tunggu...
Nasril Aril
Nasril Aril Mohon Tunggu... -

seorang anak bangsa yang tak henti berusaha mengejar cita cita...senang menulis dan fotografi...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kota Mati (bagian ke-4)

29 Oktober 2013   19:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:52 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

SEBUAH JANJI

“ sekarang kita harus gimana man ?” tanya Sari

“kita tunggu orang tua mu sampai mereka datang. Siapa tau mereka nanti akan datang”

Mereke berdua  beristirahat sembari menunggu orang tua Sari datang. Sari masuk kedalam kamarnya sementara Irman berkeliling dirumah bertingkat tiga itu, mungkin saja ada yang bisa digunakan

“man kamu tunggu diluar dulu aku mau ganti baju”

“baiklah Sar”

Sari pun keluar dari kamarnya. Sari menuju sebuah kulkas besar didapurnya. Sementara itu Irman naik kelantai paling atas rumah itu. Dia menukan sebuah radio komunikasi milik ayah Sari.

“eh sari…. Maaf aku tidak bermaksud menggeledah ruangan ini”

“tidak apa apa Man. Ini ruangan favorit ayah ku. Setiap habis pulang dari kerja pasti ayah ku keruangan ini. Ini “ sari memberikan segelas jus dingin kepada Irman

“terima kasih sar…..itukan radio komunikasi?”

“ia man…kamu bisa gunakan radio itu ?”

“coba aku lihat dulu. Dirumah aku juga punya radio komunikasi.” Irman menyalakan radio itu dan mencari frekuensi mungkin saja ada yang bisa mendengarkan mereka

“chekin chekin..ada yang bisa mendengarkan..ganti” Irman mencoba memancar

Berulang kali dia coba tetap saja tak satu pun yang mendengarkannya. Irman masih berusaha mencari frekuensi radio. Sementara itu Sari menyalakan TV untuk melihat berita. Tak ada satupun stasiun TV yang aktif. Semua telah mati. Tiba tiba seorang berbicara di radio

“roger…roger…ada yang bisa mendengarkan” kata seseorang di radio itu

“roger…di copy..ini dengan siapa ?”  tanya Irman kepada orang itu

“saya Rahman….” Mendengar nama itu Sari langsung berlari kearah Irman dan mengambil alih

“ini ayah ?” tanya Sari kepada orang itu

“ini dengan siapa ?

“aku Sari yah…..” kata Sari terburu buru

“Sari…syukurlah kamu selamat. Bapak masih ada dikantor sekarang. Mereka ada dimana mana. Ayah tidak bisa keluar dari tempat ini. Kamu harus pergi dari kota ini”

“aku tidak akan pergi kalau ayah tidak ikut”

“ayah tidak bisa nak…ibu mu sudah tiada” sontak sari meneteskan air mata mendengar berita yang di sampaikan oleh ayahnya

“kamu dengan siapa disitu?” tanya ayah Sari

“dengan teman yah….”

“coba berikan padanya ayah ingin bicara dengannya” Sari pun memberikan mic radio itu kepada Irman

“roger….” Kata Irman

“nak..kamu harus bawa anak ku keluar dari kota ini. Kamu harus janji menjaganya dengan baik” tangisan Sari semakin tak tertahankan.

“baik pak…” tiba tiba komunikasi mereka putus. Ayah sari mungkin tak terselamatkan lagi

Mereka berdua bersiap siap meninggalkan kota mati itu. Sari mempersiapkan tas besar untuk menyimpan pakaian dan bahan makanan yang akan dibawah selama perjalanan meninggalkan kota itu. Sementara Irman mencari alat apapun untuk melawan para kanibal itu.

“Irman,, aku tidak bisa pergi dari kota ini sebelum melihat ayah dan ibu ku untuk terakhir kalinya” kata Sari

“tapi Sar,,itu sangat berbahaya kita tak bisa melakukan itu. Itu sama saja membawa kita kelubang nereka. Aku sudah berjanji pada ayah mu untuk menyelamatkan mu”

“kalau kamu tak mu pergi, biar aku sendiri saja kekantor ayah ku”

Irman tak bisa mengelak kemauan keras Sari. Tak ada jalan lain lagi. Irman harus menemani Sari untuk menemui ayahnya untuk terakhir kalinya sebelum  mereka meninggalkan kota.

“man ini…kamu mungkin bisa menggunakannya” Sari memberikan sebuah pistol ayahnya kepada Irman

Dengan berjalan perlahan lahan mereka berdua menuju kantor ayah Sari. Jarak ke kantornya cukup jauh. Irman berusaha mencari kendaraan yangbisa mereka gunakan untuk cepat sampai di kantor itu.

Senja di ufuk barat mulai memancarkan cahayanya yang keemasan. Dari ufuk timur malam sudah mulai menjelang. Ini semakin menambah kekhawatiran mereka berdua. Akhirnya mereka sampai di sebuah kantor yang besar. Itulah kantor polis

“itu kantor ayahku”

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun