Peluh, Doa, dan Keberkahan
Hamzah melangkah perlahan menyusuri jalan setapak menuju kebun kecilnya di tepi desa. Langit pagi itu memerah, tanda bahwa matahari segera menampakkan diri. Di bahunya tergantung cangkul yang sudah usang, sementara di tangannya tergenggam sebuah kantong berisi bibit jagung “Bismillah,” gumamnya sebelum melangkah masuk ke ladang kecil yang telah diwariskan ayahnya.
Hamzah adalah seorang pemuda desa yang dikenal sederhana, rajin, dan taat beragama. Meski hanya seorang petani kecil, ia percaya bahwa rezeki yang halal dan berkah lebih baik daripada limpahan harta yang diraih dengan cara yang tidak diridai Allah. Keyakinan ini berakar pada hadis Rasulullah SAW yang sering ia dengar dari ustaz di masjid desanya: “Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Dawud AS makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri.” (HR. Bukhari).
Namun, tidak semua orang di desanya sepaham dengannya. Banyak pemuda di desa itu yang memilih bekerja dengan cara mudah, seperti berjudi atau menjadi rentenir. Mereka memandang Hamzah dengan sebelah mata.
“Hamzah, sampai kapan kau akan mencangkul ladang itu? Hasilnya paling hanya cukup untuk makan sehari!” ejek Hasan, seorang pemuda yang kerap menghabiskan waktunya bermain judi di warung kopi.
Hamzah tersenyum tipis. “Aku yakin, Hasan, sedikit tapi halal itu lebih baik daripada banyak tapi tidak berkah.” Hasan mendengus, lalu berbalik sambil menggelengkan kepala. “Kau terlalu polos, Hamzah. Dunia ini butuh uang, bukan keyakinan kosong.”
Namun, ejekan seperti itu tak pernah menggoyahkan tekad Hamzah. Ia percaya, kerja kerasnya adalah bentuk ibadah. Bahkan, setiap tetes peluhnya ia niatkan sebagai penghapus dosa-dosa kecilnya.
Awal Ujian
Hamzah menjalani hari-harinya dengan penuh kesabaran. Pagi hingga siang ia bekerja di ladang, sementara sore harinya ia membantu ibunya menjual hasil kebun di pasar. Tapi suatu hari, ujian datang menghampiri. Hujan deras yang turun berhari-hari mengakibatkan banjir besar melanda desanya.
Hamzah berdiri di tepi ladangnya, menatap hamparan tanaman jagung yang kini terendam air. Hatinya terasa sesak. Seluruh jerih payahnya selama beberapa bulan terakhir musnah dalam sekejap. “Kau lihat sendiri, Hamzah,” ujar Hasan yang kebetulan lewat. “Usahamu sia-sia. Kalau saja kau mau mendengarkan kami, kau tidak akan menderita seperti ini.”
Hamzah menghela napas panjang. “Rezeki itu bukan hanya soal hasil, Hasan. Prosesnya pun akan dihitung oleh Allah. Mungkin kali ini aku belum berhasil, tapi aku yakin Allah punya rencana yang lebih baik. "Hasan tertawa mengejek. “Rencana Allah? Kau benar-benar naif, Hamzah.”
Hamzah memilih diam. Dalam hatinya, ia terus berdoa agar diberi kesabaran menghadapi ujian ini.
Pencerahan di Tengah Kegelapan
Keesokan harinya, Hamzah memutuskan pergi ke masjid untuk mencari ketenangan. Di sana, ia bertemu dengan Ustaz Karim, seorang ulama yang dihormati di desanya. Setelah salat, Hamzah menceritakan semua kesedihannya.
“Ustaz, kadang saya merasa lelah. Saya sudah berusaha sekuat tenaga, tapi hasilnya tetap saja tidak memuaskan. Apakah ini tanda Allah tidak meridai usaha saya?” tanya Hamzah dengan suara bergetar.
Ustaz Karim tersenyum bijak. “Hamzah, ingatlah bahwa Allah tidak melihat hasil akhir semata, tapi juga niat dan usaha kita. Ada sebuah hadis yang perlu kau ingat: ‘Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bekerja keras dan bersungguh-sungguh.’ (HR. Al-Baihaqi). Jangan pernah menyerah, karena kerja kerasmu adalah ibadah. Hasilnya akan datang di waktu yang tepat.
Kata-kata Ustaz Karim membekas dalam hati Hamzah. Ia kembali merenungi perjalanan hidupnya. “Kalau Allah mencintai hamba yang bekerja keras, maka aku tak punya alasan untuk berhenti,” pikirnya.
Hari-hari berikutnya, Hamzah mulai bangkit. Meski ladangnya rusak akibat banjir, ia tak membiarkan kesedihan berlarut-larut. Ia membersihkan puing-puing yang tertinggal di ladang, mengganti bibit yang hilang, dan mulai menanam ulang dengan sisa benih yang ada. Ia tak mengeluh, meskipun kini pekerjaannya jauh lebih berat dari sebelumnya.