Â
Malam itu, di sebuah kedai kopi, aku duduk di bangku pojokan menunggu seorang teman. Setengah jam menunggu, dia akhirnya datang. Sang teman pun duduk dan kami memesan secangkir kopi, segelas susu kocok vanilla, dan sepiring kentang goreng. Dia pun membuka obrolan kami dengan canggung, ya, karena memang malam itu adalah perjumpaan pertama kami. Berbagai topik kami obrolkan sampai tiba pada sebuah pertanyaan yang dia ajukan kepadaku, "benarkah dengan filsafat hidup kita makin rumit?", katanya begitu.
Aku menempuh studi filsafat baru sekitar satu setengah tahun, pertanyaan itu berbeda dari pertanyaan-pertanyaan lain yang aku terima. Yah, pertanyaan klise yang sering aku terima semacam, "kalau belajar filsafat, besok lulus kuliah kerja apa?", aku jawab sengenanya aja hehehe. Di Indonesia, memang filsafat dan beberapa ilmu sosial humaniora yang dianggap "aneh" sering dipandang sebelah mata. Aku tidak akan membahas masalah itu seolah-olah aku menjadi orang termarjinalkan. Cukup tahu rasanya di posisi seperti ini.
Kembali ke filsafat, kenapa filsafat? Karena ada yang tidak beres dengan diriku. Lantas, apakah filsafat bisa jadi obatnya? Tidak sepenuhnya, tapi memang efeknya bisa menyembuhkan sakitku ini. aku terpesona dengan filsafat, dengan pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh manusia yang disebut filsuf. Belajar filsafat seperti belajar sejarah pemikiran manusia---terus berevolusi mengikuti perkembangan zaman.
Rasa Kagum yang Merubah Hidupku
Berawal dari rasa kekosongan yang aku dera sewaktu SMA, aku mulai gelisah. "Apa sebenarnya tujuan hidupku?". Pada 2013, ketika aku ke toko buku, tidak sengaja aku menemukan buku yang menarik perhatianku. Buku itu mengisahkan tentang kebobrokan manusia dan aku pun membelinya.Â
Buku itu adalah buku Sabda Zarathustra, karya Nietzsche. Berat! Aku belum sanggup memahami isi buku itu. Akhirnya, aku hanya menyisipkannya di antara buku-buku lain. Dua tahun setelahnya, aku baru mengetahui bahwa Nietzcshe adalah seorang filsuf. Mulailah dari situ, aku penasaran dengan yang namanya filsafat.
Setelah mengulik, filsafat itu belajar tentang aku sebagai aku di dunia, alam semesta, sosial, politik, dan sampai masalah yang disebut "ada". Sebegitu detil dan rinci tapi memerlukan perungan yang mendalam. Jadi, selama ini yang aku butuhkan jawabannya adalah filsafat. Dengan sangat yakin, aku ingin mendalami filsafat. Caranya dengan menempuh pendidikan di universitas, tapi di Indonesia hanya beberapa universitas yang menyediakan jurusan tersebut.
Seiring berjalannya waktu, aku semakin yakin dengan filsafat setelah membaca buku Dunia Sophie karya Jostein Gaarder dan Memoar Seorang Filosof: Perjalanan Menuju Belantara FIlsafat karya Bryan Magee. Pikiranku semakin terbuka dengan dua buku itu. Mungkin di lain waktu aku akan membahas buku itu.
Menapaki Jalan dengan Filsafat
"Mereka (para filosof) yain bahwa manusia tidak dapat hidup dengan roti semata. Sudah pasti setiap orang membutuhkan makanan. Dan, setiap orang membutuhkan cinta dan perhatian. Namun ada sesuatu yang lain---lepas dari semua itu---yang dibutuhkan setiap orang, yaitu mengetahui siapakah kita dan mengapa kita di sini."Â (Dunia Sophie, hlm. 41)