Mohon tunggu...
Nastiti Lestari
Nastiti Lestari Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist, runner, proud mother❤

Mahasiswi Doktoral Kriminologi, Universitas Indonesia dan Penulis Buku Kumpulan Cerpen Apple Strudel

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukuman Mati: A Legitimate Murder?

4 Januari 2023   18:00 Diperbarui: 4 Januari 2023   17:59 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selasa, 3 Januari 2023 Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Herry Wirawan, pimpinan pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat yang melakukan kekerasan seksual terhadap 13 santriwati. Putusan MA terhadap HW adalah final, dan berkekuatan hukum tetap. 

Bagi pendukung hukuman mati tentu sangat lega dengan putusan itu. Tapi apakah kemudian menciptakan rasa aman di diri masing-masing dan mencegah kejahatan yang sama tak terulang lagi? Camus (1957) pernah menulis, tak akan ada perdamaian abadi sampai kematian akibat hukuman mati tak diberlakukan lagi.

Hukuman Mati 

Semakin banyak penelitian yang menunjukkan hukuman mati tak memberikan keadilan, dan tak memiliki dampak apapun terhadap kejahatan. Ia hanya sebuah tindakan keji yang memberikan kepuasaan sesaat, tak ada efek jera dan tak menghentikan agar kejahatan serupa tak terjadi lagi. Negara dan siapapun tak punya hak untuk merenggut nyawa orang lain. Hak untuk hidup adalah Hak Asasi Manusia paling fundamental, dijamin oleh Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Sebanyak 170 negara di dunia telah menghapus atau setidaknya menangguhkan hukuman mati sejak lebih dari 10 tahun lalu.

Di AS, vonis hukuman mati turun tajam selama hampir 30 tahun terakhir. Vonis hukuman mati baru, turun 85 persen sejak pernah mencapai puncaknya pada 300 lebih jumlah hukuman mati per tahun di pertengahan 1990-an. Sementara eksekusi mati mengalami penurunan 75 persen sejak pernah memuncak pada tahun 1999 (deathpenaltyinfo.org). 

Banyak negara bagian AS yang menghapus hukuman mati dan menggantinya dengan hukuman seumur hidup. Eksekusi mati terakhir terjadi pada Januari 2021 terhadap Dustin Higgs, pelaku pembunuhan 3 perempuan di Maryland. Meski locus nya terjadi di negara bagian Maryland yang telah menghapus hukuman mati, namun karena diklasifikasikan sebagai tanah federal, Higgs diadili oleh pemerintah federal AS. Kasusnya menjadi subyek dari banyak kontroversi. Ia menjadi orang ke-13 sekaligus orang terakhir yang dieksekusi pada masa kepresidenan Donald Trump, setelah eksekusi federal jeda selama 17 tahun. "I'd like to say I am an innocent man. I did not order the murders", kata-kata terakhir Higgs sebelum disuntik mati.

Sebuah survei yang dilakukan terhadap kriminolog terkemuka AS menyebutkan 80 persen kriminolog mengatakan hukuman mati tidak memiliki penggentar-jeraan seperti yang diharapkan. Tingkat pembunuhan tidak terpengaruh oleh adanya hukuman mati (Berns et al, 1997).

Di Uni Eropa, hukuman mati merupakan suatu kebijakan bagi pelanggaran pidana. Namun sejak 1996 hampir seluruh negara di Eropa telah menghapuskan hukuman mati terhadap narapidana dengan kasus seberat apapun. Hanya Belarusia dan Ukraina yang masih menerapkan, sementara Rusia sebatas moratorium. Ketiganya pun bukan anggota Uni Eropa. Traktat Roma yang mengatur mengenai Pengadilan Kriminal Internasional untuk kejahatan perang, genosida, agresi dan kejahatan terhadap kemanusiaan juga tidak memberlakukan hukuman mati. Indonesia menandatangani perjanjian internasional tersebut.

Cesare Beccaria seorang kriminolog Italia, salah satu pemikir terbesar Zaman Pencerahan dalam buku "On Crimes and Punishments" and other writings (1995) menyebutkan; Hukuman mati tidak manusiawi dan tidak efektif. Sebaliknya, hukuman mati justru kontraproduktif jika tujuannya adalah untuk memberikan konsepsi moral tentang kewajiban warga negara satu sama lain. Jika negara melakukan pembunuhan untuk memaksakan kehendaknya, hal itu hanya akan melegitimasi perilaku yang berlawanan dengan hukum, dengan penggunaan kekuatan mematikan dalam menyelesaikan perselisihan.

Pasal 28A UUD 1945 berbunyi, "setiap orang berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28i, "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun." 

Dalam literatur Hak Asasi Manusia, hak-hak dalam pasal ini disebut non-derogable human rights, hak asasi manusia yang paling fundamental. Juxtapose dengan pasal-pasal hukuman mati yang di antaranya terdapat dalam KUHP, UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU tentang Pengadilan HAM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun