Oleh: Nasrun Annahar*
Tulisan ini berangkat dari artikel seorang sahabat (http://politik.kompasiana.com/2015/02/15/pmii-pb-jangan-goblok-723586.html tertanggal 15 Februari 2015 ) yang memiliki semangat untuk membangun PMII dengan perspektifnya. Secara pribadi saya sangat menyayangkan tulisan kritik pedas tersebut karena telanjur tersebar luaskan hingga menjadi konsumsi publik, seharusnya hanya menjadi konsumsi internal Keluarga PMII.
Tulisan tersebut membuat saya terperanjat. Analisisnya tajam, namun menurut hemat saya banyak keganjilan dalam argumentasinya, terkesan tercerabut dari akar realitas material kekinian. Pertama, tulisan tersebut menyebutkan bahwa pembatasan umur pada ketetapan PB PMII telah merampas hak-hak kader PMII. Kedua, argumentasi dalam tulisan itu bak pendapat seorang pemuda yang “takut tua”.
Bagi saya, aturan yang dibuat oleh PB PMII (Pasal 10 Ketetapan Pleno PB PMII Nomor: 033.PB-XVIII.01.031.A-I.11.2014 tentang: Strategi Rekrutment Kepemimpinan di Setiap Level Kepengurusan PMII, yang pada intinya mengatur tentang standar kepemimpinan pada umumnya, yang meliputi umur, IPK, batas minimal pendidikan, dan lain sebagainya) timbul dari satu hal yang telah saya sebut di atas, yaitu realitas material. Tiap zaman punya nadanya, tiap waktu punya iramanya. Kita akan bergerak ke mana pada saat tertentu adalah sebuah keputusan. Argumen.
Mutholibin Ulum juga punya masa, tapi sepertinya argumennya adalah argumen masa lalu yang relevansinya telah aus, usang, bahkan telah mengalami kematian. Mari kita berpikir dan merenung tentang PMII ke depan. Ada dua hal yang saya tuliskan di bawah ini menjadi dua bagian subjudul.
Menata Pola Kaderisasi
Pola kaderisasi di PMII diharapkan terstruktur dan rapi agar dapat dengan mudah disinergikan dengan Banom-Banom NU yang lain (Ansor, IPNU, IPPNU, Fatayat, dsb). Saya berpendapat dan masih meyakini bahwa PMII adalah bagian dari NU, meski bentuknya interdependensi. PMII layaknya anak yang sedang merantau dan mencari jati dirinya di luar, namun bukan berarti tidak dalam satu ritme dan barisan. Oleh karenanya kita juga harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi internal keluarga kita. Terlebih lagi potret IPNU yang seyogianya menjadi ujung tombak kaderisasi di tingkat siswa sudah mulai keluar dari relnya (meski menuju stasiun yang sama).
Bentuk standarisasi umur ini salah satu cara kita untuk kembali mendorong agar IPNU (adik ideologis kita) untuk kembali ke sekolah sebagai basis kaderisasinya. Bukan malah membuat komisariat istimewa di kampus. Sebagaimana kita dapat temukan di beberapa Perguruan tinggi hari ini, satu setengah tahun yang lalu, berdiri IPNU PKPT (Pengurus Komisariat Perguruan Tinggi), yang justru di kemudian hari diintervensi organisasi ekstra kampus lain, baik kebijakan program-programnya hingga aktivitas kesehariannya.
Hal lain yang menjadi dasar argumen pembatas umur ini juga sebagai bentuk respon kita melihat perubahan kebijakan pemerintah melalui peraturan Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang membatasi masa pendidikan S1 hanya 5 tahun. Kita tentu harus merespon kebijakan ini dengan arif dan penuh strategi sehingga kader PMII di masa yang akan datang tidak gamang dalam menghadapi tuntutan zaman. Jangan sampai di kemudian hari kita temukan kader PMII masih berjubel di PB, PKC, bahkan di Cabang, sementara angkatan sebayanya sudah terjun di dunia profesional dan birokrasi menguasai posisi strategis dan penting di negeri ini.
Konteks pembatasan umur dalam aturan strategi rekrutmen kepemimpinan sering dihubungkan dengan menghilangkan hak kader dan bertentangan dengan AD/ART. Hal ini tentu persepsi yang terburu-buru. Jika usia maksimal pengurus cabang dalam peraturan PB PMII saat ini adalah tidak lebih dari 24 tahun ( Baca: tidak mencapai 25 Tahun) pada saat terpilih dan dilantik, bukan berarti ini membabat kader-kader usia yang lebih dari 25 tahun untuk tidak aktif lagi di cabang, namun justru sebaliknya yaitu agar mereka teralih ke lahan yang lebih profesional dan lokus yang lebih matang secara mental.
Mutholibin Ulum menyebutkan bahwa mereka yang berumur di atas 23 (Koreksi: 24 Tahun) ternyata “selalu ada di garda depan dan menghidupkan PMII” maka itu juga berarti cukup mumpuni untuk melaju di ranah lain, di luar kepengurusan cabang. Kita tahu, PMII tidak sekedar besar di dalam, tapi juga harus besar di luar.
Coba kita menengok UUD di mana dituliskan dengan tegas bahwa semua warga Negara Indonesia berhak untuk dipilih dan memilih, namun faktanya apakah seorang warga bisa mencalonkan diri sebagai legislatif, eksekutif, yudikatif atau bahkan presiden tanpa ada persyaratan standar umur dan pendidikan? Mari kita renungkan, apakah aturan ini merugikan dan bertentangan dengan UUD? Dengan kata lain, apakah aturan dan strategi rekrutmen kepemimpinan yang PB PMII tetapkan bertentang dengan AD/ART?
Menjaga Marwah Organisasi, Menyiapkan Pemimpin Masa Depan
Poin ini lebih penting dari sub pertama. Kita sudah terlalu tertinggal jauh dalam penataan kualitas kader. Kenyataan atau materialitas dari keadaanlah yang membuat kita berpikir bahwa strategi rekrutmen kepemimpinan yang PB PMII tetapkan ini relevan. Selama ini, kita terlalu menyepelekan dunia akademik dan dampak dari itu adalah kita sangat kesulitan untuk mendapatkan kader yang berkualitas (dalam perspektif dunia profesional dan pendidikan) dan memiliki loyalitas terhadap organisasi.
Ada joke di internal beberapa kader PMII menanggapi isu terkait pembatasan IPK: “Dalam pemilihan presiden BEM saja parameter IPK sudah tidak lagi menjadi perdebatan untuk menjadi salah satu persyaratan dan parameter keilmuan seseorang, tapi di PMII hal itu masih saja diperdebatkan, apa marwah PMII berada di bawah BEM”. Namun bukan permasalahan BEM dan PMII yang mau kita bahas, biarkan Joke itu tetap menjadi Joke yang menggelitik agar otot saraf kita tidak terlalu tegang.
Di era globalisasi menjelang MEA (atau era apapun) ini, Kita menyebutnya hari ini, tentu salah satu sumber data penilaian pokok dalam menilai tingkat profesionalitas seseorang adalah sejauh mana dia menguasai bidang keilmuannya dan pembuktiannya tentu dengan IPK (lainnya bisa berupa prestasi non-akademik yang bisa dibuktikan). Coba kita lihat situs lowongan pekerjaan apapun dan untuk posisi apapun, baik Swasta maupun Lembaga pemerintahan, parameter pokok yang selalu menjadi salah satu penilain adalah IPK. Saya menggambarkan betapa indahnya jika di masa mendatang posisi startegis di negeri ini penuh diisi oleh mantan petinggi petinggi Komisariat dan Cabang yang berkualitas dan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap organisasi.
Aturan tentang umur, tingkat pendidikan, dan IPK, dalam strategi rekrutmen kepemimpinan, sebenarnya adalah bias dari kenyataan terkini yang dihadapi semua organisasi mahasiswa. Saya yakin, PB PMII tidak sekedar ngopy-paste kebijakan organisasi tetangga sebelah. Kalau pun menjiplak, apa salahnya dengan kabijaksanaan menghadapi perbaikan? Bukankah kita kenal dengan al-akhdzu bil jadîdil ashlah. Dengan strategi rekrutmen berupa pembatasan umur, justru kepemimpinan di PMII akan lebih baik, dengan melihat keteraturan pengkaderan itu sendiri.
Justru bukan pembatasan umur itu sendiri yang telah merebut hak politik kader, tapi ada mudlarat lain yang perlu dipikirkan, yaitu perkembangan kaderisasi. Kita ingin ke depan PMII dipimpin oleh kader-kader Muda yang berkualitas, kader-kader yang secara pribadi tuntas menyelesaikan tantangan dirinya sebagai mahasiswa (baca: menghadapi dunia akademiknya). Bukan pribadi yang dengan argumen pengabdian kemudian gagal menata dirinya sendiri. Inilah yang sangat tidak kita harapkan, sudah terlalu banyak oknum di PMII yang gagal dalam menata kehidupannya sendiri (dalam perspektif akademik) namun tanpa sadar mencari kambing hitam dengan kalimat “Waktu habis untuk Mengabdi di PMII”.
Terakhir Penulis sangat menyadari bahwa IPK yang baik dan keahlian dalam dunia akademik seseorang tidak menjamin kesuksesan seseorang di dunia profesional, namun jika itu saja tidak cukup bagaimana sebaliknya?
Sekali lagi Tulisan ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulis yang didapatkan selama berproses mulai menjadi Anggota, Kader hingga menjadi Pengurus di PC PMII Kota Malang. Tentu fakta dan realita ini bisa juga terjadi di luar daerah Kota Malang atau bahkan sebaliknya. Ucapan terima kasih khusus saya sampaikan kepada Sahabat saya Mutholibin, karena beliau telah menginspirasi saya untuk kembali berpikir mengenai PMII dan menghasilkan tulisan ini. Penulis mengharap ada banyak masukan, sharing pengalaman, ide serta gagasan untuk sahabat-sahabat yang membaca Tulisan ini. Bersama Kita Perkokoh Barisan kita, Tangan Terkepal dan Maju Kemuka…!.
* Penulis adalah Pengurus Cabang PMII Kota Malang angkatan 2009, penerima beasiswa Fast Track 2013 untuk program S2 Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H