Tercuatnya berita mengenai seorang MedRep (Medical Representatif) di tribunnews.com yang membeberkan adanya permainan resep dan komisi dokter yang diberikan perusahaan Farmasi melalui Medrep seolah cerita lama yang terungkap kembali yang seperti biasanya akan menjadi angin lalu. Judul di atas saya munculkan praktisi kesehatan karena bukan hanya tenaga kesehatan yang bisa terlibat semua orang yang berkaitan dengan pengadaan obat bisa terlibat disini. Di tulisan kali ini saya coba memberikan lebih detil kepada orang awam bagaimana sebenarnya skenario dari praktik permainan resep dan komisi terhadap praktisi di bidang pengadaan obat (praktisi kesehatan). Sebelum membahas lingkaran terlarang dari perusahaan Farmasi - (Pedagang Besar Farmasi) - MedRep - (Apotek) - Praktisi Kesehatan ada baiknya mengenal lebih jauh peranan mereka dan sedikit pengertian mengenai jalur distribusi obat yang sesuai peraturan saat ini.
Sisi aturan
Di dunia distribusi obat, penyaluran obat di atur oleh peraturan terbaru dari menteri kesehatan NOMOR 34 TAHUN 2014 sebagai perubahan dari NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi, akan tetapi disini hanya membahas izin dan sistem alur distribusi dengan tujuan melindungi masyarakat dari peredaran obat dan bahan obat yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat/manfaat. Pasal 21 (1) PBF dan PBF Cabang hanya dapat menyalurkan bahan obat kepada industri farmasi, PBF dan PBF Cabang lain, apotek, instalasi farmasi rumah sakit dan lembaga ilmu pengetahuan. (2) Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker pengelola apotek atau apoteker penanggung jawab. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) surat pesanan untuk lembaga ilmu pengetahuan ditandatangani oleh pimpinan lembaga
Prinsip Penjualan Obat
Di dunia penjualan obat dikenal 2 jenis obat berdasarkan sistem peresepan, obat resep atau dikenal ethical drug dan obat non resep atau dikenal dengan OTC serta obat lainnya yang dijual tanpa resep. Obat dengan resep inilah yang sering menggunakan sistem komisi, karena harga eceran tertinggi yang harus nya di terapkan sesuai peraturan tidak berlaku karena bergantung pada kesepakatan pelaku.
Sistem Komisi
Sistem komisi atau bonus yang normal adalah bonus yang tertulis pada faktur penjualannya (on faktur). Bisa berupa diskon pengurangan harga karena pembelian obat dalam jumlah banyak atau produk promo yang digelar oleh perusahaannya. Sistem ini wajar, tak wajar jika terjadi sistem komisi off faktur alias tidak ada hitam di atas putih.
Apa itu Lingkaran Terlarang Distribusi Obat dan Siapa yang Terlibat
Sebetulnya disini lingkaran terlarang adalah lingkaran distribusi obat sesuai aturan berlaku tetapi diatur sedemikian rupa sehingga munculah sistem komisi tanpa faktur. Di dalam lingkaran ini semua sebetulnya mengakui apa yang terjadi dalam hal ini. Yang lebih parah apabila perusahaan Farmasi atau PBF memotong jalur distribusi tidak sesuai aturan yang berlaku, tapi hal ini jarang terjadi karena semua bermain aman alias tahu sama tahu. Dalam hal ini seolah-olah distribusi berjalan dengan sesuai aturan, dimana industri farmasi akan menyalurkan ke PBF kemudian Apotek dan akhirnya ke Dokter dengan berbagai 'mekanisme'. Berikut adalah sistem distribusi obat ideal yang di dapat dari handout salah satu mata kuliah di farmasi.unud.ac.id.
Opini :
Dalam hal ini saya tidak menyalahkan profesi kesehatan tertentu, hanya memang membenarkan pada umumnya tenaga kesehatan atau praktisi yang terlibat dalam pengadaan obat tahu tentang hal ini. Tidak akan menjadi masalah apabila Dokter meresepkan yang rasional, menjadi masalah besar apabila dokter meresepkan yang tidak rasional seperti obat-obatan bonus tambahan atau memasukan merk tertentu sesuai kontrak di resepnya dengan alasan menutupi omzet yang bonus nya telah diterimanya. Di Jepang tidak ada praktek seperti ini, sepenuhnya yang mengeluarkan adalah Apotek dibawah pengawasan langsung Apotekernya alias tidak ada dispensing (penyimpanan dan pemberian) obat oleh Dokter. Di dalam tulisan ini hanya diibaratkan satu perusahaan Farmasi, seperti kita ketahui satu macam kandungan obat bisa memiliki beberapa merk dari beberapa perusahaan Farmasi. Persaingan ketat ini membuat komisi yang diluar akal sehat bisa terjadi. Semakin tinggi komisi yang didapat semakin besarlah omzet atau obat yang harus diresepkan dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, disini diberikan contoh dengan praktek individu, bagaimana dengan Rumah Sakit atau Klinik yang skalanya lebih besar? Harapan tulisan ini, marilah bersama-sama membangun Indonesia terutama dalam hal pendistribusian obat etichal dengan baik walau tetap diprediksi hanya angin lalu kembali apabila pemerintah dan para tenaga kesehatan tetap membiarkan ini. Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan dan pelengkap dari berita di tribunews.com. Â Walaupun di tulisan tersebut menyudutkan profesi Dokter tapi saya yakin TIDAK SEMUA dokter tergoda oleh perusahaan farmasi. Silahkan share jika tulisan ini dianggap penting untuk mengurangi atau menghentikan hal hal yang tidak diinginkan seperti peresepan obat tidak perlu terutama untuk golongan antibiotik dengan spektrum terkuat yang bisa menimbulkan resistensi atau jenis obat lainnya serta mengembalikan fungsi apotek dan apoteker yang sebenarnya. Sumber dari nasrulwathoni.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H