Pak Lurah tiba-tiba saja berang. Ia memanggil semua pegawainya, terutama Parmin, tukang kebun yang diberi tugas menjaga kodoknya. Kodok itu penting baginya karena merupakan hiburan di kala senggang.
“Kenapa kodok saya tiba-tiba semua hilang?” sergah pak Lurah sambil menunjuk-nunjuk semua bawahannya dengan kuku telunjuk yang mulai panjang.
Namun mata pegawai lain justru kompak mengarah ke Parmin seolah minta pertanggungjawaban.
Parmin pun—dengan terbata-bata—menjawab, ”Anu… Pak Lurah. Kodok-kodok itu lompat ke luar dari kolam. Karena tidak ada air maka saya menduga kalau semua kodok itu sudah mati….”
“Mana bisa?” sanggah Pak Lurah. “Kodok itu binatang ampibi. Mereka bisa hidup meski tak ada air. Kodok itu pasti masih ada!”
Parmin dan pegawai kelurahan terdiam.
***
Hansip yang diberi tugas menyelidiki hilangnya kodok Pak Lurah berkeliling kampung mencari tahu. Mereka menanyai semua warga. Tak satu pun rumah warga yang terlewat namun tetap saja hasilnya nihil. Tak ada yang mengetahui keberadaan kodok kesayangan Pak Lurah.
Para warga yang mulanya tak tahu kalau kodok yang belasan jumlahnya itu hilang kini jadi menyayangkan hilangnya kodok-kodok itu. Bukan karena kasihan pada Pak Lurah yang tak lagi punya hiburan melainkan hilang lagi satu topik pembicaraan di warung kopi.
“Tolong dibantu ya?” harap para hansip itu ke warga. Mereka memohon seperti kalau Pak Tarno, pesulap tradisional itu meminta bantuan penontonnya. “Ini permohonan yang sifatnya perintah!”
“Iya Pak. Kami pasti berusaha mencari kodok-kodok itu”. Warga itu memastikan bukan tanpa sebab. Kalau kodok itu ditemukan maka warung kopi akan kembali riuh dengan cerita kodok Pak Lurah.
***
“Lihat itu”, seru Hansip Diman kepada Parjo, rekan sejawatnya.
“Ada apa, Man?”
“Itu. Dekat sepatu larasmu. Awas!”
“Ha? Kodok Pak Lurah?” Parjo dan Diman kaget.
Mereka menyaksikan kodok-kodok yang mereka cari itu dalam posisi terbalik. Kodok itu tewas mengenaskan. Isi perutnya tak utuh lagi. Kulit bagian bawah kodok itu telah tersayat membentuk huruf T teat di area dada hingga perut. Dan, selembar silet yang tidak utuh—karena sudah terpotong—berada di dekat kodok-kodok naas itu.
***
Parmin dan Diman kemudian melaporkan temuan mereka ke atasannya.
“Kalau melihat caranya mengeluarkan isi perut kodok”, kata Pak Lurah menganalisa, “Pelakunya seperti anak sekolahan yang lagi praktikum.”
Parmin dan Diman diam saja. Mereka tak paham dengan metode membuka perut kodok.
“Saya pikir pelakunya memberi isyarat Pak Lurah”, ujar Diman.
“Isyarat apa maksudmu, Man.”
“Dari sayatannya yang membentuk huruf T serta silet yang ada dekat korban, saya menduga pelakunya berinisial T. Dan dari silet yang digunakan maka saya berkesimpulan kalau pelakunya bernama Tiger”.
“Itu merek silet, Diman”, terang Pak Lurah. “Tapi tak apa. Beri tahu warga kalau pelaku yang menghilangkan nyawa kodok saya sudah diketahui. Namanya Tiger”.
Kedua hansip itu kemudian menyebarkan berita tersebut. Warga pun lega. Tak ada lagi perintah mencari kodok Pak Lurah.
***
Di ruang kerjanya, Pak Lurah tampak santai. Meskipun tak lagi punya kodok peliharaan namun kini ia sungguh lega. Sepi sudah obrolan para warga tentang hobinya memelihara kodok. Warga pun lambat laun pasti melupakan hewan peliharaannya itu.
Apa yang salah dengan memelihara kodok? Apa bedanya dengan hewan peliharaan lain? Lurah itu tak berusaha mencari jawaban. Ia hanya melanjutkan merapikan kukunya menggunakan silet Tiger yang tidak utuh, yang satu sisinya sudah terpakai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H