Mohon tunggu...
Nasrul Pradana
Nasrul Pradana Mohon Tunggu... Human Resources - Praktisi Manajemen, Sarjana Psikologi, Magister Manajemen.

Praktisi HRM sejak 2010. Sarjana Psikologi dari Universitas Esa Unggul, Magister Manajemen dari Universitas Esa Unggul. nasrulpradana01@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Metamorfosis "Lifestyle" Wisatawan

9 September 2020   15:00 Diperbarui: 9 September 2020   15:32 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: freepik.com

“Travelling — it leaves you speechless, then turns you into a storyteller.” – Ibn Battuta 

Sebagai pandemi baru, wabah Covid-19 meletus pada Desember 2019 di kota Wuhan, provinsi Hubei, China dan menyebar dengan cepat melalui penularan dari manusia ke manusia. Wuhan adalah pusat transportasi utama di Cina, terletak di persimpangan antara jalur kereta api yang menghubungkan Beijing dan Guangzhou dan Sungai Yangtze yang menghubungkan Chongqing dan Shanghai (Zhong et al., 2020). Mobilitas manusia telah menyebabkan Covid-19 menyebar ke negara-negara lain, episentrum penyebaran Covid-19 pada awalnya di China kemudian bergeser ke Eropa dan kini berpindah ke Amerika Latin (Kompas, 2020).

Pandemi  COVID-19 relatif tidak dapat dikendalikan karena muncul secara tiba-tiba, apalagi jika penyebarannya yang begitu cepat meluas diseluruh dunia. Wen, Jun, et al. (2020) mengatakan sektor pariwisata sangat rentan terhadap perubahan faktor eksternal mengingat parawisata bersifat global dari sistem ekonomi dan politik dunia. Industri pariwisata terlibat dalam kolaborasi langsung dengan lebih dari 50 sektor dan berkontribusi pada perkembangan sektor-sektor ini dalam berbagai tingkat; Oleh karena itu, nilai pariwisata tidak dapat diabaikan (Wen, Jun, et al., 2020).

Negara-negara tertentu telah mengambil langkah-langkah khusus, seperti memberlakukan larangan perjalanan yang ketat, untuk mencegah penyebaran penyakit. Meski begitu, Covid-19 telah membawa potensi kehancuran ekonomi pada Bali, Roma, Singapura, Barcelona dan destinasi lain yang menjadi magnet wisata (Neubauer, 2020). Dampak wabah ini pada industri pariwisata global telah menjadi perdebatan intensif di kalangan akademisi, praktisi industri dan pemerintah akhir-akhir ini (Wen, Jun, et al., 2020).

Di Indonesia sendiri, pukulan Covid-19 bagi parawisata sangat besar, khususnya bagi Bali yang merupakan magnet utama parawisata di kawasan nusantara. 

Seperti yang dilansir oleh Kompas (2020), Wakil Gubernur Bali Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati mengatakan, wabah Covid-19 memukul dunia pariwisata Bali. Hal ini karena mayoritas mata pencarian masyarakat Bali berkaitan dengan pariwisata. Pria yang disapa Cok Ace ini menjelaskan, karena wabah ini, kerugiaan pariwisata Bali mencapai Rp 9,7 triliun setiap bulan. "Jika dilihat dari masa tinggal para wisatawan di Bali per bulannya, maka kerugian pariwisata Bali per bulan di masa pandemi ini sekitar Rp 9,7 triliun per bulan," kata Cok Ace.

Pemerintah Indonesia telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menghambat penyebaran Covid-19, namun, kebijakan ini juga mengubah gaya hidup masyarakat Indonesia untuk sementara waktu, bahkan mungkin saja perubahan gaya hidup itu akan bersifat permanen. Demikian pula dengan gaya hidup wisatawan mancanegara pada umumnya akibat dari kebijakan pemerintah masing-masing.  Industri perhotelan global harus mempertimbangkan modifikasi ini dan keseluruhan nuansa perilaku konsumen dan merancang rencana pemulihan pascabencana yang efektif di industri pariwisata.

Industri pariwisata harus menyiapkan formula yang tepat untuk menyesuaikan diri dengan perilaku konsumen pada masa Covid-19. Wen, Jun, et al. (2020) mengatakan wisatawan (setidaknya dalam jangka pendek) bepergian secara mandiri atau dalam kelompok kecil selama pandemi karena merasa tetap aman yaitu di luar kelompok yang besar terutama dengan orang yang mereka tidak kenal sama sekali. Mereka mungkin juga menghindari mengunjungi tujuan wisata yang ramai, lebih memilih destinasi wisata yang kurang terkenal.

Penelitian telah menunjukkan bahwa persepsi risiko berdampak negatif terhadap persepsi destinasi pengunjung (Khan et al., 2017; Loureiro dan Jesus, 2019). Risiko ini sebagian besar berkaitan dengan keselamatan dan keamanan, termasuk masalah yang berhubungan dengan kesehatan. Oleh karena itu, wisatawan lebih cenderung mencari destinasi dengan infrastruktur mapan dan fasilitas medis berkualitas tinggi setelah wabah Covid-19.

Saat beberapa bagian dunia mulai pulih dari krisis ini, pengaturan perjalanan individu harus diatur dengan cermat untuk mengurangi potensi risiko kesehatan dan meminimalkan stres wisatawan. Misalnya, wisatawan harus diharuskan membeli asuransi perjalanan saat memesan tiket perjalanan untuk memastikan pertanggungan jika ada penyakit, termasuk Covid-19. Polis harus dapat mengamanatkan bahwa asuransi perjalanan otomatis dimasukkan kedalam pemesanan tiket perjalanan sebagai biaya (Wen, Jun, et al., 2020).

Zhang (2020) mendesak wisatawan untuk menghindari makan atau minum di restoran, bar dan food court yang menampung 50 orang atau lebih; cara optimal untuk mendukung restoran selama pandemi ini adalah dengan memesan pengiriman atau pengantaran untuk meminimalkan interaksi antar personal. Ketersediaan berbagai pilihan transportasi juga membantu wisatawan memutuskan tempat untuk dikunjungi. Misalnya, pengunjung mungkin ingin mengujungi tempat-tempat yang dapat dijangkau dengan sepeda atau sepeda motor daripada yang membutuhkan perjalanan dengan bus, kereta, dan sebagainya.

Wen, Jun, et al (2020) mengatakan wisatawan yang bepergian di era pasca Covid-19 tidak akan mau berpartisipasi dalam pariwisata massal dan lebih memilih perjalanan yang disengaja dengan penekanan pada pengalaman. Menurut Losada dan Mota (2019) dan Oh et al. (2016), konsep “slow tourism” secara bertahap diterima oleh wisatawan sebagai pendekatan perjalanan kontemporer. Slow tourism berfokus pada populasi lokal, masa tinggal yang lebih lama, dan pengalaman wisata yang lebih memuaskan. Wisatawan karenanya memprioritaskan kualitas perjalanan daripada kuantitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun