Penelitian psikologis tentang krisis finansial masa lalu dapat menjadi panduan tentang bagaimana orang akan menanggapi bencana ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 menyebabkan banyak pelaku usaha harus menutup sementara bisnisnya, bahkan banyak diantaranya terancam tidak akan dapat membuka kembali bisnis mereka setelah pandemi berakhir, akibatnya jumlah karyawan yang di PHK atau dirumahkan meningkat. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat hingga 31 Juli 2020, jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja ( PHK) maupun dirumahkan mencapai 3,5 juta lebih (Kompas, 2020).
Pappas (2020) mengatakan terlepas dari perbedaan antara krisis ekonomi sekarang dan resesi sebelumnya, penelitian psikologis tentang krisis finansial dimasa lalu dapat menambah wawasan tentang dampak kerugian finansial pada kesehatan mental dan perilaku di masa Covid-19.Â
Studi yang dilakukan oleh Forbes dan Krueger (2019) menemukan bahwa secara keseluruhan kesehatan mental populasi meningkat setelah resesi dibandingkan dengan sebelumnya. Namun, bagi individu yang terdampak, mereka yang mengalami kesulitan pribadi selama resesi baik secara finansial atau terkait pekerjaan menunjukkan peningkatan gangguan panik, kecemasan, kekhawatiran berlebihan, depresi, dan penggunaan narkoba.Â
Resesi hebat terjadi di Amerika terjadi dari tahun 2007 hingga 2009, dan dampak kesehatan mental ini bertahan hingga 2013, hingga pemulihan ekonomi. Hal Itu menjadi sinyal bahwa ekses kesehatan mental akan berlangsung lama.
Efek pada kesehatan mental setiap orang juga berbeda, seperti yang di sampaikan oleh Goldman et al (2018). Penelitian ini berfokus pada warga kulit putih -Non Latin-, mereka menemukan bahwa status sosial ekonomi yang tinggi menunjukkan hampir tidak ada penurunan, dan bahkan terdapat beberapa perbaikan sederhana dalam ukuran kesehatan mental seperti kepuasan hidup dan kesejahteraan.Â
Semakin rendah status sosial ekonomi seseorang, semakin besar kemungkinan penurunan kesehatan mental, penurunan terbesarnya adalah dalam kepuasan hidup, serta kesejahteraan psikologis. Menurut Pappas (2020), dalam penelitian lain mengenai resesi finansial terbukti memperlebar kesenjangan kesehatan antara si kaya dan si miskin.Â
Psikolog Carol Ryff, PhD, dan rekan menemukan hasil yang lebih buruk dalam kesehatan umum, kondisi kronis, indeks massa tubuh, keterbatasan fungsional dan gejala kesehatan fisik untuk populasi secara keseluruhan ketika membandingkan orang dewasa dari titik waktu sebelum (1995 hingga 1996) dan setelah (2011 hingga 2014) resesi (Kirsch et al., 2019).
Laporan mengenai dampak krisis ekonomi global 2008 pada bunuh diri yang dilakukan di 54 negara oleh The British Medical Journal (2013) menemukan bahwa terdapat lebih banyak 4.884 kasus bunuh diri pada masa resesi dibandingkan sebelum krisis ekonomi.Â
Studi tersebut menemukan korelasi antara bunuh diri dan pengangguran pada pria, terutama di negara-negara yang memiliki pengangguran yang relatif rendah sebelum resesi. Meningkatnya jumlah kasus bunuh diri hanyalah sebagian kecil dari tekanan emosional yang disebabkan oleh penurunan ekonomi (Gunnell, 2013).