Penyatuan hati, pemikiran lalu penyatuan gerakan. Alangkah sulitnya. Apakah manusia memang kodratnya berpecah-belah untuk menunjukkan keakuan? Menunjuk kehebatan diri? Menunjukkan pengaruh? Menunjukkan kekuasaan?
Bagaimana melihat perpecahan atau keragaman? Apakah melalui perdebatan, perang urat syaraf, perang tulisan yang menyudutkan dan perang komentar di medsos dan media mainstream? Apakah melalui pembentukan gerakan baru? Apakah semua itu hanya sebuah keragaman namun persepsi kita menanggapinya sebuah perpecahan atau perpecahan sesungguhnya?
Apakah gerakan yang baru merupakan sebuah ijtihad untuk menutupi peran kosong yang belum dimasuki oleh umat? Atau sebuah persaingan yang menggairahkan? Apakah sebuah dinamika baru untuk menghadapi tantangan baru?
Para Imam Mazhab hadir untuk menyelesaikan beragam kesulitan umat agar mudah, tidak membebankan dan menyulitkan, sesuai dengan eranya, dan solutif sesuai tempat dan waktunya, namun sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Ketika kesulitan dan tantangan baru bermunculan, maka harus dijawab dan pecahkan. Namun mengapa pengikutnya justru saling berargumentasi bahwa pemikiran mereka yang terbaik dengan tidak melihat beragam kondisi dan kasusnya?
Para Sufi, ahli Tasawuf, melihat ruang kosong dari pemikiran imam Mazhab fiqh yang solusinya hanya dari aspek hukum formalitas, namun tak menyentuh aspek kejiwaan. Ibadah hanya memenuhi aspek hukum sahnya formalitas gerakan dan aturan tetapi tidak menyentuh aspek hati dan kejiwaan. Ibadah menjadi gerakan fisik tanpa jiwa.
Tasawuf membongkar pemahaman, ibadah itu bukan hanya raga tetapi juga jiwa. Ini sebuah penekanan baru, bukan sesuatu yang baru. Karena ibadah Rasulullah dan para Sahabat merupakan perpaduan ibadah yang memenuhi aspek formalitasnya dan juga hatinya.
Penyatuan raga dan jiwa dalam beribadah dan memecahkan masalah. Namun mengapa kedua pengikutnya saling beradu argumentasi bahwa mereka yang terbaik dan paling mengikuti aturan Allah dan Rasul-Nya? Hanya melihat dirinya. Hanya melihat pemikirannya. Tidak melihat helikopter view itulah titik masalahnya.
Apakah setiap perbedaan harus membentuk organisasi dan gerakan baru? Apakah organisasi baru untuk menterjemahkan visi dan baru sehingga menjadi batu bata yang akan menyempurnakan gerakan umat Islam secara keumatan? Itulah yang perlu dipertanyakan dalam memandang sebuah organisasi dan gerakan yang baru. Seperti hadirnya para Imam Mazhab dan para Sufi?
Apabila organisasi baru hanya sebuah jawaban atas sebuah tindakan organisasi, bukankah imam Hasan Al Banna dalam kitabnya Majmu Arrasail telah mengajarkan Ta'aruf, Tafahum dan Tafakul untuk menyatukan hati yang mudah terusik? Untuk mengusir hawa nafsu yang terus membisik? Pondasi kebersatuan sudah dibuat, namun mengapa perpecahan lebih mudah nikimati dari pada persatuan?
Padahal banyak dalil Allah dan Rasul-Nya yang menekankan persatuan dan kerusakan sebuah perpecahan?  Atau karena semua itu menandakan  kodrat manusia, sehingga Allah dan Rasul-Nya mewanti-wanti soal persatuan dan perpecahan?