Kiprah Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa sudah banyak yang terrekam. Namun apa yang dilakukan setelah beliau ditangkap? Hanya meringkuk di penjarakah? Kualitas kepribadian menentukan apa yang dilakukan di bilik penjara.
Sayid Qutb dan Hamka seorang sastrawan dan budayawan. Maka yang dihasilkannya saat di penjara adalah buku tafsir yang monumental di era modern ini. Yaitu, Fizilalil Quran dan Al-Azhar. Tafsir Al Azhar terkadang mengambil referensi dari Tafsir Fizilalil Quran. Bagaimana dengan Pangeran Diponegoro, yang hanya dikenal sebagai seorang Pangeran?
Mari melihat masa kecil sang Pangeran. Beliau menjauh dari Istana. Hidup dengan rakyat biasa. Hidup sebagai santri. Berguru dengan para Kiyai. Salah satu gurunya adalah Kiai Taptojani. Seorang kiya yang mumpuni dalam ilmu tasawuf. Bila kesendirian di Goa Secang di bukit Selarong bisa mengilhaminya mengobarkan perang Jawa, apalagi bila di penjara?
Tahun pertama di pengasinganya 1931-1932, beliau menulis babad yang kemudian dikenal sebagai babad Diponegoro. Beliau menulis bagaimana kondisi keraton dan masyarakatnya. Dari kondisi inilah gelora perang Jawa digelorakan.
Babad Diponegoro, menurut Peter Carey dalam buku Sisi Lain Diponegoro, memuat keteladanan terhadap Walisongo, Sunan Kalijaga dan Sultan Agung. Juga, konsep tentang Ratu Adil.
Ini menandakan, perjuangan Diponegoro merupakan sebuah mata rantai dakwah. Baik secara Internasional, dimana awal gerakan Walisongo yang terorganisir diprakarsai oleh ulama Timur Tengah dan Utusan Khusus Kekhalifahan Turki Utsmani. Juga dakwah bercorak Nusantara yang diwakili oleh Sunan Kalijaga dan Sultan Agung. Sekarang, buku ini diakui sebagai Memory of the World dan terdaftar di MoW Internasional Register di UNESCO.
Babad Diponegoro tentu saja untuk menjaga keotentikan sejarah, meneruskan dan mewariskan gelora semangat jihad. Agar sejarah jangan ditulis oleh para pemenang perang saja.
Dalam lukisan koleksi Snouck Hurgronje yang disimpan di Leiden Codex Orientalis 7398. Menggambarkan bahwa Pangeran Diponegoro di Penjara Benteng Rotterdam sedang membaca sebuah tekst ilmu Tasawuf bersama keluarganya. Belajar di tengah kukungan penjara, untuk apa? Raga boleh terpenjara namun pemikiran dan jiwa tetap tak bisa terpenjara.
Dari balik penjara, ada satu mimpi yang belum tertunaikan. Yaitu, pergi  haji ke Tanah Suci. Itu yang disampaikannya kepada opsir Belanda yang mengawalnya dari Magelang ke Manado pada Maret-Juni 1830. Gelora rindu kepada Rumah Allah. Rindu ini tetap terjaga hingga beliau menghadap Allah. Kepada siapa rindu kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H