Mental pemenang berbeda dengan mental pecundang. Bagaimana Rasulullah saw dan Sahabat bisa membalikkan keadaan di Uhud, Khandaq dan Hunain. Bagaimana Jabal Al Thariq bisa menembus Eropa ?
Para pemenang tak pernah takut dan mundur walau kabar kekalahan deras mengepung telinganya. Walau tersiar kabar bahwa Rasulullah saw telah wafat. Walau di perang Mu'tah, 3 panglima perangnya sudah gugur syahid secara beruntun. Karena kekuatannya ada dalam jiwanya tidak tergantung dari kabar gembira yang berasal dari luar.
Para pemenang tak pernah gentar menghadapi banyaknya dan kuatnya persenjataan lawan. Alp Arselan mampu mengalahkan 350.000 tentara Eropa padahal pasukannya hanya sekitar 27.000 orang saja. Apa yang menyebabkan keberanian luar biasa? Mereka tak takut kalah, yang ditakutkan bila hidup hanya diam tak berbuat apa pun. Mereka tak takut dengan apa pun, dia malu pada Sang Pencipta bila jiwanya takut menghadapi selain Allah.
Husein bin Ali, cucu Rasulullah, seorang diri tetap bersuara lantang dan menggentarkan nyali para penghianat  yang mengepungnya,  yang berjumlah ribuan orang. Seperti tak ada ketakutan sedikitpun. Karena seorang mukmin itu kalah dan menang sama saja. Hidup dan mati sama saja. Yang ditakutkan bila jiwanya ketakutan menghadapi kenyataan yang harus dijalani.
Kaum Muslimin harus menunggu 800 tahun untuk bisa menaklukan Konstatinopel. Sejak masa Utsman bin Affan Khalifatur Rasyidin, hingga Kekhalifahan Bani Ummayah dan  Abbasiiyah, tak bisa menembusnya bahkan terus dipukul mundur oleh Byzantium. Mengapa kekalahan tak pernah menghentikan langkah untuk menaklukkan Konstatinopel? Itulah mental pemenang. Setiap kekalahan bukan kekalahan, tetapi menemukan cara baru untuk menang.
Mengapa para Sahabat bisa menaklukan negara adi daya Persia dan melemahkan Romawi Timur? Padahal tak memiliki pasukan sebanyak dan sehebat mereka? Tak memiliki persenjataan secanggih mereka? Pemenang itu tidak hanya mengandalkan sarana. Tetapi yang lebih utama adalah karakter yang berpondasi pada Allah. Kita kalah bukan karena kalah sarananya, tetapi lemah mentalnya.
Umat Islam secara kacamata keilmuan seharusnya sudah hancur di abad ke 10 Masehi. Diserbu Eropa dan Tartar. Diserbu Syiah dan Mutazilah dari dalam. Berseteru meributkan kekuasaan antar penguasa. Oleh karena itulah Nurudin Zanky, Shalahuddin, al Qhutuz dan Baibars lebih banyak berperang dengan internal daripada Eropa dan Tartar.
Umat Islam secara keilmuan seharusnya sudah hancur diawal abad 20 an. Runtuhnya Turki Utsmani. Dijajahnya seluruh negri Islam oleh Eropa. Namun mengapa masih bertahan hingga sekarang? Mengapa Palestina tidak bisa dijajah total oleh Israel padahal Israel diback up oleh seluruh kekuatan dunia? Sekarang justru menggeliat kebangkitan? Â Ini soal mental. Ini soal ada keimanan dan semangat yang terus terjaga walau dalam kondisi kehancuran. Kita punya kekuatan besar yang harus dibangunkan.
Semua ini adalah parameter yang membuat terbelalak para penggenggam kekuatan dunia. Umat Islam diam saja sudah menggoyang kekuatan dunia. Apa lagi bergerak dan terbangun untuk memperbaiki keadaan?
Mari kita mulai. Dimulai dengan memilih #2018SudrajatSyaikhuMenang di Jawa
Barat sesuai arahan para ulama. Mari kita mulai dari Jawa Barat. Kemudian ke Pilpres 2019. Jangan pedulikan berita-berita diluar. Fokuskan pada aksi kemenangan.