Mohon tunggu...
Nasrullah Abdullah Umar
Nasrullah Abdullah Umar Mohon Tunggu... -

Pekerja lepas. Menulis. Fotografi. Lari gunung.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pelarian singkat ke Wedang Ronde

15 Agustus 2012   04:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:45 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapa yang tidak kenal dengan Wedang Ronde? Minuman tradisional yang berasal dari Tanah Jawa ini sangat digemari oleh mereka yang ingin mencari kehangatan yang berbeda namun tidak menyukai minuman beralkohol. Wedang Ronde adalah minuman seduhan air jahe yang berisi bola – bola tepung ketan yang berisi kacang tanah dan gula merah. Biasanya disajikan dengan kacang yang sudah disangrai, kolang kaling dan potongan roti. Namun dibeberapa tempat, dapat ditemukan variasi tambahan yaitu potongan agar-agar yang diberi pewarna.

Karena merasa bosan menghabiskan waktu seharian di rumah dengan menonton televisi dan tidur, malam harinya saya putuskan untuk mengeluarkan motor dan bermaksud berkeliling kota tanpa tujuan yang jelas. Namun, ketika hampir tiba di persimpangan lampu merah jalan raya, saya putuskan membelokkan kendaraan menuju arah selatan yaitu menuju kota Ungaran. Tanpa tahu hendak melakukan apa, yang pasti saya harus melakukan sesuatu.

Sudah lama saya tidak merasakan mengendara motor sendirian di malam hari dan menikmati jalan jalan ramai oleh kendaraan besar truk pengangkut kontainer atau bis malam. Sudah lama pula saya tidak melakukan hal secara spontan seperti ini J. Mungkin karena setiap hari kehidupan saya selalu diisi dengan bekerja lalu melupakan hal kecil yang dulunya sering saya lakukan hehehe.

Nah, yang cukup mengganggu adalah karena ini ‘acara” spontan, saya tidak memakai jaket yang cukup menahan udara dingin malam hari. Setelah 15 menit menikmati udara malam Ungaran, saya lalu menepikan kendaraan dan membuka bagasi motor lalu mengeluarkan rain coat. Tidak terlalu menghangatkan namun cukuplah untuk menahan angin menusuk malam itu. Motor lalu saya geber lagi terus menuju ke Selatan tanpa belum tahu akan berhenti dimana (dan melakukan apa).

Tidak terasa, saya tiba di tanjakan sebelum Terminal Bawen. Sekilas penanda bahan bakar di motor menunjukkan tanda tinggal separuh tangki. Saya lalu seketika teringat acara jalan jalan spontan beberapa tahun lalu bersama mantan pacar (yang kini menjadi istri hihihi) di seputaran pelosok kota Ungaran yang membuat pacar saya itu panik melihat bahan bakar di motor kami hampir habis dan waktu menunjukkan hampir gelap hahaha.

Setelah mengisi tangki motor, saya lalu putuskan untuk meneruskan perjalanan ke kota Salatiga. Tidak alasan khusus, namun kota ini sudah lama tidak saya datangi. Seingat saya, terakhir adalah ketika bersama seorang karib sekitar 10 tahun lalu, masa masa menikmati bus berkeliling kota di Jawa Tengah. Kami putuskan untuk menggelandang dari Semarang hingga Wonogori. Dan di Salatiga kami menikmati secangkir Wedang Ronde dalam dinginnya malam.

Melewati Tuntang dengan jalan mulus naik turun pikiranku berputar secara acak. Seperti pita film yang dimainkan secara tak beraturan oleh penonton. Ingatanku kembali pada pertanyaan “eh sepertinya pernah duduk menikmati es kelapa muda deh disitu” ketika motor melintasi sederetan penjual kelapa muda dan ujung mataku menangkap sebuah lapak. Atau ketika melintasi sebuah restoran yang terkenal dengan warung kopi dan permainan outbondnya “dulu sama siapa ya kesitu? kayaknya rame rame deh?” Perjalanan ini seperti memutar kembali pita kenangan dalam hidup. Tapi bukankah hidup memang seperti itu? Ada repetisi dalam beberapa masanya? Apalagi ketika kita melewati atau mendatangi tempat yang sebelumnya sudah pernah kita kunjungi?

Di atas motor yang sedang melaju, diantara terpaan udara dingin, aku selalu tersenyum. Mungkin ini yang disebut salah satu dari momen bahagia dalam hidup? Atau sekedar dampak dari adrenaline dalam deru kendaraan? Persetan apalah itu alasannya, yang penting aku merasa senang. Senyum kurasakan tak henti-hentinya tersungging dan tanpa sadar, dalam laju motor dan jari jari yang membeku oleh dingin, aku membuka kaca helm dan berteriak bebas seperti adegan dalam film ketika pemain membuka kaca jendela dalam mobil yang sedang melaju dan berteriak disela sela angin mengacak rambutnya J

Setelah satu jam, aku tiba di kota Salatiga. Seketika itu juga, kuputuskan untuk mengarahkan motorku menuju pasar di tengah kota. Aku ingat tentang warung Wedang Ronde tepi jalan di depan pasar.

Aku belum pernah melihat bagaimana rupanya pasar ini kalau siang hari. Tapi pasti tidak jauh beda dengan pasar di kota manapun. Ramai (ya iyalah!!) dan sesak dimana mana. Namun, malam ini, sabtu malam, terlihat sepi meskipun sepanjang jalan banyak penjual makanan masih membuka warungnya. Ada sate sapi, warung pecel lele, sampai angkringan. Warung Wedang Ronde yang kudatangi tidaklah begitu ramai. Hanya ada satu dua pengunjung yang sedang duduk lesehan disamping gerobak.

Berukuran seperti gerobak mi ayam biasanya, penjualnya menyediakan delapan kursi plastik berwarna biru dan selembar tikar anyaman plastik untuk pengunjung yang ingin menikmati wedangan sambil lesehan. Diatas tikar tersebut ada meja kecil dua buah untuk meletakkan mangkok wedang ronde. tidak hanya menyajikan wedang, aneka jajanan pasar seperti onde-onde, lumpia dan gorengan lainnya tersedia.

Segera setelah memesan semangkok untuk sendiri, aku mulai memperhatikan sekelilingku. Ada sekumpulan anak muda yang sedang menikmati malam minggu dengan berkumpul dan sekedar bernyanyi dengan alat musik seadanya. Ada beberapa mobil yang sedang parker di depan sebuah warung tenda soto sapi. Di udara dingin seperti ini, semangkok kuah soto panas sangat pas untuk dinikmati.

Aku teringat karibku yang sekarang tinggal di Bandung. Semasa kami kuliah dulu, dia adalah orang yang paling sering bersamaku menikmati kegiatan tidak jelas seperti ini hahaha. Kadang ketika sedang bosan di kos, kami dengan santainya berangkat menuju tempat bis dan memutuskan akan kemana berdasarkan bis yang menarik hati kami. Atau kali lain, kami angkat ransel yang mendaki gunung berhari-hari. Kukirimkan pesan singkat kepadanya. Tidak berapa lama dia membalas singkat pula. sebuah kata mengumpat khas Jawa Timuran hahaha. Aku tertawa puas berhasil membuatnya panas. Oh iya, dia sekarang sudah berkeluarga dengan seorang anak laki-laki manis seperti ibunya (untunglah tidak seperti kawanku itu).

Isi di mangkokku sudah tandas habis. Aku meminta semangkok lagi kepada penjualnya. Seorang pemuda berambut sebahu yang ramah menyapa orang-orang. Kutaksir umurnya sekitar 35an. Bila tidak sedang melayani pembeli atau sedang mencuci mangkok2, dia tenggelam dalam telepon genggamnya. Bukan telepon dengan beraneka ragam fitur tapi telepon genggam yang hanya bisa menelpon dan pesan singkat.

Kulirik jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 malam. Sempat terbersit di benakku untuk meneruskan perjalanan ke kota Solo, menikmati sahur disana lalu pulang kembali ke Semarang. Tapi aku tahu pasti bahwa bila sudah terserang rasa kantuk, aku tidak akan bisa melawan :D. Jadi kuputuskan untuk pulang kembali ke Semarang.

Sekali lagi, aku masih ingin menikmati berkeliling tanpa arah sehingga ketika melihat papan penunjuk jalan tertera kata Ambarawa, setelah tersenyum aku lalu mengikuti papan arah tersebut.

Jalan sepi dan gelap. lampu penerang dijalan berjarak jauh satu sama lain. rumah masih banyak tapi tidak padat. Sesekali ada motor lewat dengan kecepatan tinggi. Sempat kulirik plat nomernya. sama sepertiku. Mungkin orang yang juga mencari jalur alternative untuk ke Semarang karena jalur utama padat oleh pengerjaan perbaikan jalan.

Tepat dipertigaan menuju ke Ambarawa atau kembali ke Ungaran, otak kecilku lalu mengingatkan bahwa jangan lewat situ. Entah mengapa perasaan itu muncul. Aku lalu berhenti sejenak melihat dipersimpangan tersebut dan memilih mengikuti naluriku kembali menyusuri jalur alternatif menuju ke Ungaran. Bukan apa apa sih tapi kadang kadang logika tidak bisa berjalan kalau intuisi (eh ini lebih cocok buat perempuan ya kata intuisi ini? atau nggak?) mengatakan jangan. It’s just like that.

Jalan alternatifnya masih berkelok kelok. Sekitar 10 menit, aku tiba di jalur utama. Mobil dan truk besar sedang perlahan merayap. Aku lalu mulai mengikuti irama jalanan. masuk perlahan. tancap gas. zig zag diantara truk besar.

Tanganku seperti kaku oleh dinginnya udara. Jaket tipis dan rain coat yang kupakai tidak mampu menahan angin dingin. Tapi satu hal yang aku tahu. Hatiku hangat oleh apa yang sedang aku rasakan saat ini. Senyum bahagia aku rasakan di bibirku. Perjalanan singkat ini telah mengingatkanku akan salah satu cara bagaimana rasanya menikmati hidup dan membahagiakan hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun