Nenek. Yah, itulah sebutan yang sejak dulu selalu kuberikan kepadanya. Nenek yang kumaksud adalah seorang pria penjual ikan keliling yang selalu datang setiap sore hari di kompleks perumahan kami dan rumah – rumah sekitarnya. Aneh kan, padahal dia adalah pria namun di sebut nenek. Karena memang di daerahku, kata kakek tidak begitu familiar. Kami menyebut kakek dan nenek kami dengan nenek laki – laki dan nenek perempuan.
Nenek itu kurang bisa berbicara lancar selayaknya orang kebanyakan. Namun hal tersebut tidak menghalangi ibu – ibu kami untuk bertransaksi membeli hasil laut yang selalu dibawanya berkeliling dengan sebatang bambu di pundaknya, dimana ikan - ikan itu diikat sesuai jenis dan ukurannya untuk kemudian ditawarkan rumah ke rumah. Termasuk ke rumahku.
Sejak aku kecil, usia SD seingatku, nenek sudah selalu berteriak di kompleks rumahku. “ Baleee..!! Baleee..!!”, yang berarti ikan dalam bahasa daerahku. Terkadang dia berdiri di depan rumah tiap orang bila terlihat sunyi dan menunggu beberapa lama hingga ada orang yang membalas teriakannya entah mengatakan “ Tunggu sebentar ! “ atau “ Enggaaak ! “ terhadap hasil – hasil laut yang dibawanya hari itu. Bahkan terkadang dia sengaja menyandangkan bambu panjangnya di pohon jambu mete depan rumahku lalu duduk di tanah sembari berteriak ” Balee balee!! ” sembari mengipas – ngipaskan beberapa lembar koran yang dilipat ke tubuhnya sekedar mengurangi gerah.
Aku ingat, bila aku berada di dalam rumah, entah sedang bermain di ruang tengah atau menonton TV serial Elang Perak atau kartun lainnya, aku langsung lari keluar melihat Nenek datang dan sekedar berdiri di depan pintu memandanginya dan nenek itu bertanya : “ Apakah ada mama di rumah ? “ atau hanya sekedar berkata : “ Bale bale ? “ kepadaku dan biasanya aku langsung menghambur kembali masuk ke dalam rumah mengabarkan ke ibuku kalau ada nenek ikan datang. Dan bila ibuku bermaksud membeli ikan, aku kemudian berlari kembali keluar dan dari depan pintu berteriak membalas “ Balee..!! “ kepada nenek itu. Entah itu sambil tetap memegang mainan robotku atau hanya berpegangan pada daun pintu.
Dan bila transaksi akan berlangsung, dia akan menyandarkan bambunya di dinding setengah tembok teras rumahku dan mulai menawarkan hasil laut yang dibawanya. Ada ikan segar atau cumi segar. Terkadang, aku mendekati ikan ikan itu dan menusuk nusuknya dengan jari tanganku atau ranting kayu kering yang jatuh dari pohon jambu mete di halaman rumahku. Dan dengan bahasa yang terbata – bata dia tetap gigih bertahan dengan harga yang ditawarkannya kepada ibuku.
Nenek ikan tak pernah mengenakan alas kaki. Aku masih ingat betapa kaki itu terlihat hitam legam dan jari – jarinya besar – besar. Terkadang dia menggaruk punggung kakinya, entah kanan atau kiri, ketika sedang asyik bertransaksi dengan ibu – ibu itu. Disela – sela jari kakinya bahkan masih menempel sisa – sisa tanah yang agak sudah mulai mengering. Mungkin tadi dia melewati pematang empang atau jalan becek dan terus berjalan tanpa mengindahkan untuk membersihkan kakinya.
Terkadang ibu – ibu tetangga yang mendengar suaranya akan keluar dengan sendirinya mencari dimana nenek itu berhenti bertransaksi dan mendatangi tempat itu. Takut kehabisan ikan yang diinginkan kayaknya. Dan kalau itu terjadi, biasanya aku akan senang karena biasanya teman – temanku juga datang mengikuti ibunya..
Atau juga misalnya kalau sore itu kami sedang bermain di lapangan kecil kompleks rumah kami, dan suara nenek itu mulai terdengar, kami akan berhenti sejenak melihat ke arah nenek itu datang dengan tanpa alas kaki, berpeluh keringat oleh beratnya hasil laut di pundaknya dan melihatnya berdiri di hadapan rumah kami berteriak : ” Balee..Balee !!..” begitulah akhirnya nenek itu akrab dengan panggilan dari kami , nenek ikan.
Hingga aku tamat SLTP, kami pindah ke rumah baru namun berjarak tidak begitu jauh dari kompleks perumahan itu. Aku tidak pernah begitu memperhatikannya lagi nenek ikan itu. Nenek itu tetap datang hingga ke rumahku untuk menawarkan ikan dengan cara yang sama. Namun kali ini kadang datang dengan menawarkan bebagai produk seperti gelas, piring dsb. Sepertinya itu titipan orang untuk dijualkan olehnya. Tak dapat aku bayangkan bagaimana dia harus berkonsentrasi membawa batang bambu dengan beragam ikan di gantungkan disana lalu juga masih membawa barang pecah belah itu.
Ibuku sering memesan berbagai peralatan rumah tangga kepadanya, tentunya dengan menuliskankan pada secarik kertas dengan segala rinciannya. Beberapa hari kemudian nenek ikan pasti akan datang akan membawa pesanan ibuku. Ketika kutanya kenapa ibu tidak membeli di pasar atau di toko saja, ibuku menjawab tidak apa – apa. Membantu nenek ikan saja..
Hingga kemudian abangku menikah dan punya 2 orang anak, kebiasaan kecil kami, saya dan abangku, ternyata menular kepadanya. Anak – anaknya juga memanggilnya dengan sebutan nenek ikan. Dengan tingkah polah yang sama begitu nenek ikan datang ke rumah kami. Terkadang nenek ikan ini bercerita, tentunya setelah bertahun – tahun menjadi teman ibuku, mereka telah membangun sebuah komunikasi yang baik, terkadang nenek ikan bercerita banyak hal kepada ibuku. Entah itu tentang keluarganya atau perilaku orang – orang yang terkadang ”meminjam ikannya” tanpa mengembalikannya. Meminjam ikan ternyata adalah istilah tetangga yang mengambil ikannya tanpa membayar alias menghutang kepadanya. Dia hanya dijanjikan besok – besok tanpa ada kejelasan. Hhh.. perilaku penindasan rakyat kecilpun tidak hanya oleh para pejabat korup busuk itu rupanya..