Mohon tunggu...
Nasrullah Mappatang
Nasrullah Mappatang Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Alumni Fakultas Sastra UNHAS dan Pascasarjana UGM - Pegiat Sekolah Sastra (SKOLASTRA) - Mahasiswa Doktoral/ PhD di University of Malaya, Malaysia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pemburuhan Dosen

11 Mei 2023   09:20 Diperbarui: 11 Mei 2023   09:41 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hasil survei tentang gaji dosen Indonesia mengguncang jagat maya. Banyak pihak, selain dari kalangan dosen sendiri tentunya, yang baru tahu persisnya bagaimana kondisi dan nominal gaji dosen sebenanrya.

Bukan apa - apa, selain dosen nya sendiri kadang tak menunjukkan penampilan yang mencerminkan kondisi upahnya, kebanyakan pihak memang menganggap bahwa ketika seseorang itu diterima menjadi dosen, maka serta - merta dianggap "sukses". Padahal, di balik punggung seorang dosen, yang variasi status dan model pengupahannya juga beragam, tersimpan beban kerja yang "berat", dengan upah yang nyaris "sekarat", alias tak layak dan tidak sepadan.

Wacana yang beredar juga dalam merespons kondisi model pengupahan dan aturan baru mengenai jenjang karir dosen berikut tunjangan yang menyertainya adalah pembentukan serikat dosen. Hal ini tentunya adalah sebuah langkah maju dengan anggapan bahwa dalam relasi kerja sekarang ini, dosen tak ubahnya sebagai buruh pekerja kasar. Seringkali memang diperlakukan kasar meski dengan penampakan yang dihalus - haluskan.  

Dosen sebagai buruh tentu banyak benarnya.  Namun, menyederhanakan seorang dosen sebagai buruh semata seperti mengesampingkan "kompetensi" dan "tugas profetik" seorang dosen sebagai intelektual yang memungkinkannya tak sesederhana menganggapnya atau mendakukan diri sebagai "buruh" sebagaimana dipahami banyak kalangan.

Mengemukakan dosen sebagai sebuah "profesi" tentu bukan pula untuk memisahkan diri dengan status buruh apalagi memisahkan diri dari perjuangan buruh. Tidak sesederhana itu juga. Akan tetapi, selain relasi kerjanya dengan "tuan kampus" tempatnya bekerja, yang menjadikan posisi dosen memang tak ubahnya sebagai buruh upahan, dosen juga mesti dipandang, dan juga sepatutnya memandang diri sebagai profesi yang memiliki kompetensi dan tugas profetik di masyarakat. Dari dua poin ini saja memang, sungguh amat keterlaluan jika negara dan swasta masih saja mengupah dosen secara rendah. Sungguh terlalu.

Dosen sebagai profesi juga nantinya akan berimplikasi pada tunjangan profesi yang menyertainya dan pembayaran gaji per jam yang pantas bagi setiap dosen yang mengajar di kelas dan membimbing mahasiswa, melakukan penelitian dan pengabdian di luar kelas. Hal ini juga tentu tak sesederhana dengan tunjangan "sertifikasi dosen" yang makin dibuat rumit dan makin diribet-ribetkan belakangan ini, yang kesannya hanya supaya tidak banyak dosen yang mendapatkannya dan negara tidak keluar duit banyak.

Teranglah, bahwa efisiensi sebagai jangkitan neoliberalisme beroperasi di sini. "Pelitisme" anggaran menjadi dasar kebijakan hingga rumitnya aturan dan pelaksanaannya yang seperti dibuat - buat sedemikian rupa. Memalukan sekali, karena ujung-ujungnya ketahuan juga. Negara memang "pelit" kepada dosennya. Tapi, taga saja membebankan kerja yang beratnya tak ketulungan.

Apa pemerintah melihat dosen tak ubahnya seperti romusha di jaman penjajahan?

Upah tak pantas

Hasil riset kolaborasi sejumlah akademisi yang dirilis pada artikel di conversation.com bertajuk Berapa gaji dosen? Berikut hasil survei nasional pertama yang memetakan kesejahteraan akademisi di Indonesia, pada 4 Mei 2023 baru - baru ini mencuat di percakapan sehari - hari bak cendawan di musim hujan. Kenyataan ini seperti menampar muka pemerintah, terutama kementerian pendidikan, kementerian keuangan, dan kementrian aparatur sipil negara, beserta instansi terkait. Mereka, para pejabat di kementrian ini, juga atasan tertingginya, seperti merayap tak berani bersuara merespons "kegaduhan" yang terjadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun