Seperti teka - teki yang bisa ditebak jawabannya, penolakan dua Gubernur PDIP, Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah dan I Wayan Koster, Gubernur Bali, terhadap Timnas Israel U-20 untuk datang ke Indonesia, tak bisa tidak terkait situasi politik. Situasi politik dalam negeri tepatnya.
Apakah yang sebenarnya terjadi? Dan, apa sinyal politik di balik ketegasan dua Gubernur berlatar partai PDIP tersebut? Lalu, apa pula konsekuensi dari sikap penolakan itu?
Rupanya, jika sudah sampai ke pertanyaan demikian, jawabannya tidak mudah lagi. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab dan konsekuensi terhadapnya.
***
Ada setidaknya tiga alasan mengapa penolakan ini dapat terjadi.
Pertama, melanjutkan sikap dan garis politik Bung Karno terhadap kemerdekaan Palestina. Ini yang mencuat di media. Namun, jika menegakkan ajaran dan melanjutkan sikap politik Bung Karno, rasa - rasanya terlalu berlebihan. Karena, berapa banyak ajaran Bung Karno yang tidak dijalankan oleh PDIP dan kadernya, atau pemerintah hari ini, dimana PDIP diam saja. Sebagai contoh, penggusuran  kaum Marhaen di Wadas. Contoh lain, keberpihakan kepemilikan lahan, dimana ketimpangan masih merajalela seperti di Kalimantan, khususnya masyarakat adat di Kalimantan Timur, Kutai Barat yang baru - baru ini ramai. Belum lagi di Kinipan dan Gunung Mas, Kalimantan Tengah, kriminalisasi dan peminggiran kaum Marhaen, "wong cilik" kerap terjadi di sana. Namun, para Gubernur PDIP ini diam saja, padahal itu jelas - jelas "menghina" ajaran Bung Karno.
Kedua, Erick Tohir menjadi sasaran. Sebagai ketua PSSI, sepertinya Erick Tohir akan mendapat panggung megah jika agenda Piala Dunia U-20 ini lolos diadakan di Indonesia. Lalu, apakah ini membuat "risih" PDIP, khususnya Ganjar Pranowo? Jika benar, apakah ini sinyal kalau Ganjar - Erik tidak jadi diusung KIB dan Ganjar lebih memilih berusaha untuk "terlihat" loyal kepada PDIP agar nantinya mendapat tiket darinya? Atau, apakah Erick Tohir sebagai "anak emas" Jokowi sedang menjadi sasaran tembak? Wah, jadi ramai akhirnya. Lagi-lagi politik.
Ketiga, ini adalah langkah mendahului kaum islam politik, dalam menolak timnas Israel. Tujuannya, mencegah Indonesia dicap sebagai negara dengan kelompok "islam kanan" yang berpengaruh. Sehingga. ketika ditolak duluan, karena barangkali diprediksi akan terjadi penolakan besar - besaran dan menjadi "komoditas politik" jelang pemilu 2024, maka PDIP mengambil langkah kuda. Menolak duluan dengan alasan "ideologis". Dengan begitu, langkah mereka yang dilabel "islam kanan" menjadi terkinci.
Dengan langkah itu, partai lain, khususnya PKS, tidak bisa mengambil keuntungan elektoral dengan memanfaatkan momen ini. Begitupula penolak lain seperti barisan Alumni 212, juga tak dapat bersuara lebih. PDIP meng-counter  terlebih dahulu dan seolah ingin menegaskan bahwa PDIP tegas menolak dan "bukan bagian dari penyelenggara" yang menerima kedatangan Israel. Sekaligus, tidak juga seperti penolak lain dari kalangan "islam kanan".
***
Konsekuensi penolakan ini setidaknya bisa berdampak pada dua aspek: sepakbola dan politik tanah air.
Di aspek sepakbola, Indonesia pasti mendapat catatan buruk dari FIFA dan para anggotanya. Di benak mereka, negara mestinya tak boleh kalah oleh kecaman dan penolakan apapun. Suruh siapa bilang siap di awal, lalu tak tegas belakangan.
Di aspek politik, ketua Umum PSSI merangkap Menteri BUMN, Erick Tohir, yang digadang - gadang menjadi cawapres di pemilu 2024 nanti, sedang mengalami tantangan. Kalau, yang menolak dari kalangan "islam kanan", islam tengah boleh diajak bergandengan. Yang ini, Gubernur PDIP. Repot dah. Erick dan pendukungnya seperti diam mematung. Tak bisa berkata apa - apa, belum bisa berbuat banyak lagi. Kaget tak menduga barangkali. Mau dilawan, kawan. Dibiarkan, bisa merugikan. Maju kena, mundur kena.